TERRY Hull, ahli kependudukan dari Australian National
University itu pun ikut heran. Kenapa rekan-rekannya di Jakarta
ribut soal misteri angka 2,34%, yaitu angka ajaib yang
menunjukkan tingkat pertumbuhan rata-rata penduduk Indonesia
selama dekade 1971-1980, berdasarkan hasil Sensus Penduduk
1980? Bukankah angka itu, maupun angka jumlah penduduk yang
l47,4 juta, mendekati sekali dengan berbagai ramalan yang pernah
dibuat oleh ahli Indonesia sendiri maupun asing?
Biro Pusat Statistik misalnya telah membuat proyeksi itu sejak
tahun 1973, berdasarkan hasil sensus 1971. Saat itu angka
penduduk Indonesia pada bulan Oktober 1980 diramal sebanyak
147,7 juta. Proyeksi BPS lain, yang mencoba mencoba
memanfaatkan data tingkat kelahiran dan kematian terbaru
(1976) "memperbaiki" proyeksinya menjadi 141.6 juta.
Lalu ada suatu proyeksi yang dibuat oleh Prof N. Iskandar,
Pendiri Lembaga Demografi Universitas Indonesia. Setelah
disesuaikan waktu rujukannnya, penduduk Indonesia pada bulan
Oktober 1980 menurut Prof. Iskandar berada di antara 145,5
juta sampai 147.4 juta.
prof. Widjojo juga membuat ramalan, ketemunya Oktober 1980
Indonesia dihuni penduduk antara 145,1 juta sampai 152,7 juta
PBB memperkirakan 151,2 juta.
Lembaga Ekonomi dan Kemasyarakatan Nasional LIPI, antara 149,9
juta sampai 152,7 juta. Lee Jay Cho dan kawan-kawan antara 151.0
juta sampai 153,7 juta. Sedang Suhardja Djuhadi antara 144.5
juta sampai 144,8 juta.
Ramalan ini memang macam-macam, karena beranjak dari praduga
yang berbeda-beda pula. Malah beberapa disertai pendukunan
(adjusment) terhadap angka hasil sensus untuk maksud
mempercermat ramalan tentunya.
Walhasil, dari semua angka yang dihasilkan dari jerih payah para
ahli itu dibanding dengan hasil sensus, sepertinya tidak perlu
ada yang terkejut atau terbelalak. Cukup mengangguk saja. Hasil
sensus 147,4 juta. Ahli meramal antara 141,6 juta sampai 155,3
juta. Bukankah itu hampir persis di tengah-tengahnya?
Duduk Perkara
Yang menjadi persoalan sekarang bagaimana menerangkan angka
147,7 juta dari hasil sementara yang bahannya masih amat
terbatas itu. Begitu juga angka 2,34% sebagai tingkat
pertumbuhan rata-rata penduduk selama dekade 1971-1980.
Penjelasan pertama tentu yang amat mudah dulu, yaitu soal
jumlah. Angka jumlah penduduk hasil sensus 1980 sudah memasukkan
penduduk Timor Timur dan seluruh Irian Jaya. Padahal
proyeksi-proyeksi di atas semuanya didasarkan angka penduduk
Indonesia hasil sensus 1971 yang belum menghitung Timor Timur,
dan hanya menghitung penduduk Irian Jaya yang di
kota-kota/pinggir pantai saja. Bila kedua angka dari Tim-Tim dan
dari pedalaman Irian Jaya disisihkan, sudah meliputi lebih dari
1,5 juta (Timor Timur 552.954 orang, Irian Jaya pedalaman kurang
lebih satu juta orang).
Penjelasan kedua, tentang tingkat pertumbuhan, bertumpu pada
soal berbedanya angka pertumbuhan antara provinsi di Indonesia.
Indonesia amat luas dan sungguh beragam ciri-ciri sosial
demografinya. Menurunkan satu kesimpulan untuk Indonesia
rasanya terlalu menyederhanakan masalah.
karena itu ada baiknya ditengok tingkat pertumbuhan provinsi
demi provinsi. Malah kalau mungkin kabupaten demi kabupaten. Ada
provinsi-provinsi yang sudah lamban pertumbuhannya: Yogyakarta
1,1%, Jawa Timur 1,5. Jawa Tengah, Bali dan Sulawesi Selatan
masing-masing 1,7%. Ada pula yang sedang-sedang, dan ada
yang tinggi sekali, tetapi diduga karena ditopang oleh arus
migrasi (Lampung dan Kal-Tim 5,8%, Bengkulu, Jambi, DKI
Jakarta, Sul-Teng 4,7, 4,1, 4,0%, 3,9%)
Malah laporan sementara dari Jawa Timur, menunjukkan adanya
beberapa angka kabupaten yang jempolan. Pacitan hanya tumbuh
0,02%, Ponorogo 0,63%, Trenggalek 0.88%. Banyuwangi dan
Bangkalan 0,94, Blitar 0,96% dan Magetan 0,98%
Tetapi jangan sangat buru-buru bersorak hore! Sebab perlu dicek
dulu dengan angka asal migrasi keluar Jawa Timur. Menurut
laporan Gubernur Jawa Timur. selama ini yang berhasil
ditransmigrasikan oleh program pemerintah (selama Pelita I, II
dan III tahun pertama dan kedua) saja sudah hampir '55 ribu
jiwa. Padahal transmigrasi, menurut sementara studi,
kontribusinya sekitar 12% saja dari seluruh kejadian
perpindahan.
Kalau hal ini benar juga untuk Jawa Timur, maka 2,5 juta
diperkirakan hijau dari Jawa Timur ke daerah lain selama
periode itu. Angka ini membantu "merendahkan" pertumbuhan
daerah-daerah tujuan utama perpindahan penduduk, Seperti
Sumatera, DKI Jakarta (dan luber ke Jawa Barat), Kal-Tim, dan
lain-lain.
Bagaimana KB?
Sesungguhnya saya menafsirkan terkejut dan terbelalaknya
sementara ahli sebagai cara paling sopan untuk mengatakan:
"Saya bilang apa". Sebab mereka semua sudah mengatakan
sebelumnya angka penduduk Indonesia berada di sekitar 147 juta
juga.
Yang diberitahu sebelumnya ada yang berkilah untuk mengatakan
angka yang lebih rendah dari itu. Namun kilah mereka tidak
sepenuhnya tanpa alasan. Mereka juga punya dasar biarpun dasar
itu berbau primbon dan berangkat dari pengandaian yang goyah.
Misalnya mereka percaya, jumlah penduduk lebih rendah dari itu
karena rendahnya angka kelahiran. Hal ini didasarkan pada
laporan tentang meningkatnya akseptor di banyak daerah. Padahal
menurut primbon tentang hubungan tingkat kelahiran dengan
tingkat penerimaan KB (prevalence rate) yang dibuat oleh
Nortman, angka 30% akseptor di antara pasangan subur sudah
"menurunkan angka kelahiran kasar menjadi 34,3 per 1.000, angka
55% menyeret ke bawah angka kelahiran kasar menjadi 23,8 per
seribu. Dan sebagainya.
Alangkah eloknya gambaran ini bila benar. Sayang, primbon
Nortman itu kurang cukup meyakinkan untuk dicontek di Indonesia.
Pertama karena primbon disusun berdasarkan pengamatan hanya di
32 negara di luar Indonesia. Kedua, kecermatan angka laporan
tingkat akseptor di Indonesia memang memerlukan pengkajian yang
sungguh.
Ambillah contoh, Yogyakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah dan Bali,
yang mempunyai tingkat pertumbuhan sudah rendah tadi (antara 1
1% - 1,7% setahun), dilaporkan memang telah mempunyai tingkat
akseptor KB yang tinggi juga (antara 46,4% - 56,1% dari pasangan
subur).
Tetapi kita perlu ingat, pada saat tingkat akseptor KB di
keempat daerah ini masih amat rendah pun (yaitu sebelum ada
program nasional Keluarga Berencana, tahun 1961-1971) tingkat
pertumbuhan mereka juga sudah rendah serendah tingkat yang
sekarang (antara 1,06% di Yogya - 1,75% di Bali). Kenyataan ini
dapat menggoyahkan praduga yang mendasari penerapan formula yang
ditawarkan primbon tadi.
Bagaimanapun kita memang masih memerlukan pengkajian lanjut dari
teka-teki ini, melalui pengamatan atas angka kelahiran,
kematian dan perpindahan yang diperoleh dari sensus 1980 ini
nanti.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini