Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Primbon Nortman

Terry hull, ahli kependudukan dari australian national univ, heran terhadap angka pertumbuhan penduduk indonesia sebesar 2,34%. menurut nortman angka 30% akseptor pasangan subur, menurunkan angka kelahiran.

31 Januari 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TERRY Hull, ahli kependudukan dari Australian National University itu pun ikut heran. Kenapa rekan-rekannya di Jakarta ribut soal misteri angka 2,34%, yaitu angka ajaib yang menunjukkan tingkat pertumbuhan rata-rata penduduk Indonesia selama dekade 1971-1980, berdasarkan hasil Sensus Penduduk 1980? Bukankah angka itu, maupun angka jumlah penduduk yang l47,4 juta, mendekati sekali dengan berbagai ramalan yang pernah dibuat oleh ahli Indonesia sendiri maupun asing? Biro Pusat Statistik misalnya telah membuat proyeksi itu sejak tahun 1973, berdasarkan hasil sensus 1971. Saat itu angka penduduk Indonesia pada bulan Oktober 1980 diramal sebanyak 147,7 juta. Proyeksi BPS lain, yang mencoba mencoba memanfaatkan data tingkat kelahiran dan kematian terbaru (1976) "memperbaiki" proyeksinya menjadi 141.6 juta. Lalu ada suatu proyeksi yang dibuat oleh Prof N. Iskandar, Pendiri Lembaga Demografi Universitas Indonesia. Setelah disesuaikan waktu rujukannnya, penduduk Indonesia pada bulan Oktober 1980 menurut Prof. Iskandar berada di antara 145,5 juta sampai 147.4 juta. prof. Widjojo juga membuat ramalan, ketemunya Oktober 1980 Indonesia dihuni penduduk antara 145,1 juta sampai 152,7 juta PBB memperkirakan 151,2 juta. Lembaga Ekonomi dan Kemasyarakatan Nasional LIPI, antara 149,9 juta sampai 152,7 juta. Lee Jay Cho dan kawan-kawan antara 151.0 juta sampai 153,7 juta. Sedang Suhardja Djuhadi antara 144.5 juta sampai 144,8 juta. Ramalan ini memang macam-macam, karena beranjak dari praduga yang berbeda-beda pula. Malah beberapa disertai pendukunan (adjusment) terhadap angka hasil sensus untuk maksud mempercermat ramalan tentunya. Walhasil, dari semua angka yang dihasilkan dari jerih payah para ahli itu dibanding dengan hasil sensus, sepertinya tidak perlu ada yang terkejut atau terbelalak. Cukup mengangguk saja. Hasil sensus 147,4 juta. Ahli meramal antara 141,6 juta sampai 155,3 juta. Bukankah itu hampir persis di tengah-tengahnya? Duduk Perkara Yang menjadi persoalan sekarang bagaimana menerangkan angka 147,7 juta dari hasil sementara yang bahannya masih amat terbatas itu. Begitu juga angka 2,34% sebagai tingkat pertumbuhan rata-rata penduduk selama dekade 1971-1980. Penjelasan pertama tentu yang amat mudah dulu, yaitu soal jumlah. Angka jumlah penduduk hasil sensus 1980 sudah memasukkan penduduk Timor Timur dan seluruh Irian Jaya. Padahal proyeksi-proyeksi di atas semuanya didasarkan angka penduduk Indonesia hasil sensus 1971 yang belum menghitung Timor Timur, dan hanya menghitung penduduk Irian Jaya yang di kota-kota/pinggir pantai saja. Bila kedua angka dari Tim-Tim dan dari pedalaman Irian Jaya disisihkan, sudah meliputi lebih dari 1,5 juta (Timor Timur 552.954 orang, Irian Jaya pedalaman kurang lebih satu juta orang). Penjelasan kedua, tentang tingkat pertumbuhan, bertumpu pada soal berbedanya angka pertumbuhan antara provinsi di Indonesia. Indonesia amat luas dan sungguh beragam ciri-ciri sosial demografinya. Menurunkan satu kesimpulan untuk Indonesia rasanya terlalu menyederhanakan masalah. karena itu ada baiknya ditengok tingkat pertumbuhan provinsi demi provinsi. Malah kalau mungkin kabupaten demi kabupaten. Ada provinsi-provinsi yang sudah lamban pertumbuhannya: Yogyakarta 1,1%, Jawa Timur 1,5. Jawa Tengah, Bali dan Sulawesi Selatan masing-masing 1,7%. Ada pula yang sedang-sedang, dan ada yang tinggi sekali, tetapi diduga karena ditopang oleh arus migrasi (Lampung dan Kal-Tim 5,8%, Bengkulu, Jambi, DKI Jakarta, Sul-Teng 4,7, 4,1, 4,0%, 3,9%) Malah laporan sementara dari Jawa Timur, menunjukkan adanya beberapa angka kabupaten yang jempolan. Pacitan hanya tumbuh 0,02%, Ponorogo 0,63%, Trenggalek 0.88%. Banyuwangi dan Bangkalan 0,94, Blitar 0,96% dan Magetan 0,98% Tetapi jangan sangat buru-buru bersorak hore! Sebab perlu dicek dulu dengan angka asal migrasi keluar Jawa Timur. Menurut laporan Gubernur Jawa Timur. selama ini yang berhasil ditransmigrasikan oleh program pemerintah (selama Pelita I, II dan III tahun pertama dan kedua) saja sudah hampir '55 ribu jiwa. Padahal transmigrasi, menurut sementara studi, kontribusinya sekitar 12% saja dari seluruh kejadian perpindahan. Kalau hal ini benar juga untuk Jawa Timur, maka 2,5 juta diperkirakan hijau dari Jawa Timur ke daerah lain selama periode itu. Angka ini membantu "merendahkan" pertumbuhan daerah-daerah tujuan utama perpindahan penduduk, Seperti Sumatera, DKI Jakarta (dan luber ke Jawa Barat), Kal-Tim, dan lain-lain. Bagaimana KB? Sesungguhnya saya menafsirkan terkejut dan terbelalaknya sementara ahli sebagai cara paling sopan untuk mengatakan: "Saya bilang apa". Sebab mereka semua sudah mengatakan sebelumnya angka penduduk Indonesia berada di sekitar 147 juta juga. Yang diberitahu sebelumnya ada yang berkilah untuk mengatakan angka yang lebih rendah dari itu. Namun kilah mereka tidak sepenuhnya tanpa alasan. Mereka juga punya dasar biarpun dasar itu berbau primbon dan berangkat dari pengandaian yang goyah. Misalnya mereka percaya, jumlah penduduk lebih rendah dari itu karena rendahnya angka kelahiran. Hal ini didasarkan pada laporan tentang meningkatnya akseptor di banyak daerah. Padahal menurut primbon tentang hubungan tingkat kelahiran dengan tingkat penerimaan KB (prevalence rate) yang dibuat oleh Nortman, angka 30% akseptor di antara pasangan subur sudah "menurunkan angka kelahiran kasar menjadi 34,3 per 1.000, angka 55% menyeret ke bawah angka kelahiran kasar menjadi 23,8 per seribu. Dan sebagainya. Alangkah eloknya gambaran ini bila benar. Sayang, primbon Nortman itu kurang cukup meyakinkan untuk dicontek di Indonesia. Pertama karena primbon disusun berdasarkan pengamatan hanya di 32 negara di luar Indonesia. Kedua, kecermatan angka laporan tingkat akseptor di Indonesia memang memerlukan pengkajian yang sungguh. Ambillah contoh, Yogyakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah dan Bali, yang mempunyai tingkat pertumbuhan sudah rendah tadi (antara 1 1% - 1,7% setahun), dilaporkan memang telah mempunyai tingkat akseptor KB yang tinggi juga (antara 46,4% - 56,1% dari pasangan subur). Tetapi kita perlu ingat, pada saat tingkat akseptor KB di keempat daerah ini masih amat rendah pun (yaitu sebelum ada program nasional Keluarga Berencana, tahun 1961-1971) tingkat pertumbuhan mereka juga sudah rendah serendah tingkat yang sekarang (antara 1,06% di Yogya - 1,75% di Bali). Kenyataan ini dapat menggoyahkan praduga yang mendasari penerapan formula yang ditawarkan primbon tadi. Bagaimanapun kita memang masih memerlukan pengkajian lanjut dari teka-teki ini, melalui pengamatan atas angka kelahiran, kematian dan perpindahan yang diperoleh dari sensus 1980 ini nanti.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus