JA, soenggoe, tida ada orang baroe, maka itoe poen marilah saija
tjioem itoe mata, itoe moeloet jang saja tjinta-in soepaya
poewaslah hati saja. Maka si Isah pelok dan tjioem Verkerk
seperti orang jang maoe ambil selamat tinggal saoemoer
idoepnja." Dan seterusnya.
Kutipan di atas diambil dari buku tjerita Njai Isah karangan F.
Wiggers, berbentuk buku saku, dan terbit di Batavia tahun 1904.
Hampir sama dengan jalan ceritera Nyai Dasima, drama percintaan
Nyai Isah ini terjadi di daerah Bagelen, Jawa Tengah, di
lingkungan perkebunan kopi. Kisahnya tentang percintaan antara
seorang Belanda dengan perempuan pribumi, dengan segala
suka-dukanya.
"Dan ini buku mutiara saya," kata Pak Jenggot alias Wong Sun
Kai. Di tangannya ada 3 jilid buku Nyai Isah yang diambilnya
dari lemari es. "Lemari es ini tidak rusak, tapi saya tidak
pakai untuk mendinginkan," kata Pak Jenggot lagi, "sebab saya
jadikan tempat karantina buku-buku saya." Maksudnya adalah
tempat buku-buku antik yang dianggapnya bernilai tinggi.
Di pavilyunnya yang kecil di kawasan Senen, Jakarta Pusat,
ruangan yang ada bertambah sempit karena menggunungnya tumpukan
buku. Mulai dari ruang tamu, gang ke kamar tidur, di kamar
makan, di dapur, bahkan di loreng yang tidak seberapa luas itu,
pengab oleh tumpukan buku. Sebagian besar koleksi buku-bukunya
yang tidak pernah dihitungnya, adalah ceritera komik dan
ceritera silat. Mulai dari Nagasasra Sabuk-Inten karangan S.H.
Mintardja, sampai ke komiknya Zam Nuldyn, Ketjak Mendai, yang
dicetak oleh Fa. Harris Medan.
Sam Kok
"Buku-buku saya yang berharga sudah habis digerogoti dia ini,"
kata Pak Jenggot sambil menuding ke seorang pria yang lain, yang
sedang bertamu. Djaja Laras si tamu yang berusia 40 tahun
tertawa. Seperti juga Pak Jenggot, 62 tahun. Djaja adalah
kolektor buku yang rupanya lebih gigih dan lihai. "Setiap hari,
kalau Pak Djaja jatuh cinta kepada buku saya, dia akan merengek
agar saya mau menjualnya," kata Pak Jenggot. Dan sambil mengelus
jenggotnya yang putih, dia berkata lagi: "Akhirnya, buku saya
jatuh juga ke tangannya. Pintar dia."
"Tetapi harta saya masih banyak," tambah Jenggot lagi. Di antara
tumpukan bukunya yang tidak teratur itu, terdapat koleksi
lengkap Gan Kok Liang, si penceritera kembali ceritera-ceritera
silat Tiongkok. Juga terdapat terbitan asli Tjiang Koen Bie &
Co. di tahun 1913, dalam serial Sam Kok. Di zaman Belanda dulu,
satu seri ceritera Sam Kok yang disalin oleh sianseng Lie Im Eng
atau sianseng Tjie Tjin Koei berharga sampai 60 gulden.
Sedangkan harga beras Cianjur yang paling top waktu itu, cuma
7,5 sen/liter.
Pak Jenggot menunjukkan buku Sam Kok yang telah menguning
warnanya. Pada sampulnya, tertulis: "Sam Kok atawa peboewangan
Antara Tiga Negri (300 gambar)". Di bawah buku yang sampulnya
berwarna abu-abu itu ada pula tulisan: "Ceritera real di
Tiongkok pada abad II M, 175 - 269."
Dalam tumpukan koleksinya, Pak Jenggot juga mempunyai
ceritera-ceritera roman dalam bahasa Melayu Pasar seperti Boeat
Apa Ada Doenia karangan Nyoo Cheong Seng, suami aktris Fifi
Young almarhumah. Selain itu, ada pula buku-buku roman berjudul
Sakit Hati, Orang jang Berdosa, karangan Monsieur d'Amour. Dan
siapa pula si Tuan Asmara ini? "Dia adalah nama samaran dari
Nyoo Cheong Seng," ujar Pak Jenggot.
Di sekitar tahun 1920-an, ada beberapa penerbit yang
mengkhususkan diri mencetak ceritera berbagai kehidupan. Poste
Restante dari Tan's Drukkerij di Surabaya misalnya "terbit
saban boelan tanggal 15 masehi dengen tetep." Harga langganan
untuk setiap kuartal, cuma 1 gulden.
"Buku-buku tersebut di atas semakin sulit dicari, dan semakin
tinggi harganya," kata Jenggot lagi. Djaja juga menimpali
"Ceritera Sam Kok pada tahun 1975 sudah berharga Rp 25 ribu satu
set. Kini sulit cari set yang komplit." Biasanya, antara sesama
kolektor buku ada semacam kerja sama atau bahkan tukar menukar
koleksi.
Djaja biasanya setiap hari keluar rumah jam 10.00 pagi dan baru
pulang ketika malam tiba untuk mencari buku-buku lama. "Setiap
buku yang saya baca, akan menyuruh saya menyusuri referensi
lain," ujar Djaja, "dan ini tak akan putus-putusnya."
Kawasan operasi Djaja tak terbatas. Mulai dari tukang abu gosok
di Tanah Abang Tanjakan, Lapangan Banteng sampai ke kota-kota di
Jawa Timur. Rumah Djaja di Jakarta Kota banyak dikunjungi
pecandu buku jenis ini. Apalagi kartu namanya dibubuhi
keterangan "specialized antiquariate: Indonesian History,
Cultur & Modern Literature." Nama Djaja sebagai pengumpul
buku-buku kuno dan baru, katanya terkenal di beberapa
universitas di luar negeri.
Perawatan
Koleksi buku Djaja ada sekitar 8.000 buah. Ceritera silat, injil
dalam bahasa Batak terbitan tahun 1813, Ethnographische Atlas
(khusus tentang Kota Ujungpandang) karya Dr. B.F. Matthes
terbitan tahun 1813, dan banyak lagi "Pernah, dari tukang abu
gosok saya beli buku Rp 200/kilo," Djaja menceriterakan
pengalamannya. Satu di antara buku yang dibelinya secara kiloan
itu dia jual seharga Rp 40.000. Dia tidak menyebutkan judul buku
itu. Tapi Djaja juga menyebutkan bahwa dia juga memiliki buku
Gadis Desa, karangan W.R. Supratman, yang di tahun 1928 biasa
dijadikan ceritera tonil.
Berbicara mengenai jumlah, tentu tidak ada yang bisa mengalahkan
koleksi Perpustakaan Nasional yang kini memiliki koleksi
400.000 jilid buku. Jumlah ini meliputi buku, suratkabar dan
majalah, peta, foto dan Berita Lembaran Negara.
Perpustakaan yang didirikan 24 April 1778 ini juga mempunyai
koleksi buku tertua. Delle Navigationi et Viaggi, karangan Don
Christoforo Colombo Genovese, terdiri dari 3 jilid terbitan
tahun 1556. "Mengenai buku tertua yang dicetak di Indonesia,
kami juga ada," ujar Mastini Hardjoprakoso, Kepala Perpustakaan
Nasional. "Yaitu buku tentang falsafah hidup, terbit di tahun
1675," katanya lagi. Buku yang tebalnya cuma 24 halaman ini
berisi ajaran Confusius dalam bentuk syair dengan judul Deugdt,
Voorfichtig, Wijfheijdt el Volmalcktheijdt.
Buku yang cuma 24 halaman itu, demikian pula buku-buku kuno
lainnya telah dilaminasi, diawetkan. Ruang perpustakaan yang
hanya 60 x 12 meter itu, memang penuh dengan tumpukan buku-buku
yang berjajar rapat di rak jati. Secara berkala, kelompok
buku-buku itu dipindahkan ke dalam ruangan yang lebih khusus
lagi untuk difumigasi dengan zat kimia. "Obat itu adalah CC14
yang kadang-kadang dicampur pula dengan CS2." kala petugas
museum Santoso Oetomo, "dihembuskan dalam kamar ukuran
standar, 2 x 2 x 2 meter." Gas yang lebih ringan dari udara ini
secara perlahan akan merasuk ke dalam buku-buku yang dikurung
selama 7 hari lamanya.
Dalam kamar standar itu, bisa dimuat sekitar 200 buku besar
atau 500 buah buku saku. Bisa dibayangkan kapan buku-buku yang
ratusan ribu jumlahnya itu mendapat giliran untuk difumigasi.
Ada cara lain untuk mengawetkan buku. Yaitu dimasukkan ke dalam
ruang hampa udara. "Ini lebih murah," kata Oetomo, "tetapi
membuat ruang hampa udara itu tidaklah murah."
Memelihara buku, memang memerlukan tenaga dan biaya. Djaja Laras
mempunyai konsep sederhana untuk memelihara buku-bukunya. "Buku
sering saya pindah dan sebaiknya buku selalu dibuka-buka
halamannya," ujar Djaja. Tapi Jenggot tidak pernah memikirkan
bagaimana mengawetkan buku-bukunya. Tetapi menjilid, mengelem
buku-buku yang sobek dan lepas, dikerjakannya sendiri. "Saya
memelihara kucing agar buku saya tidak dimakan tikus," ujar
Jenggot.
"Saya tak ada waktu untuk memikirkan biaya pengawetan," ujar
mereka berdua. Karena baik Djaja maupun Wong Sun Kai alias Pak
Jenggot sibuk mencari buku dan sibuk pula menjual koleksinya.
Ternyata hasilnya tidak kecil Djaja mengaku bahwa dari
penjualannya, rata-rata setiap bulan dia menerima sekitar Rp
200.000.
Menurut Djaja sekitar 12.000 judul buku telah dijualnya kepada
Universiti Kebangsaan Malaysia. Sebagian besar mengenai
perkembangan Islam di Indonesia disekitar abad ke-16 dan
kesusastraan Cina di Indonesia. "Misalnya," ujar Djaja, "buku
Tadjoes Salatin karangan Djohar van Djohor. Orang Aceh yang
menulis Islam di Indonesia."
Djaja sendiri tidak pernah duduk di perguruan tinggi, tetapi
karena banyak memburu buku, dia paham juga buku-buku mana yang
harus diberikan ke suatu universitas. Fakultas Hukum UI sendiri,
konon langganan Djaja yang baik. "Rumah saya juga sering
dikunjungi orang-orang yang sedang riset," ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini