Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Djaja laras & jenggot di sela ...

Kisah tentang dua kolektor buku kuno, jaya laras dan wong sun kai alias pak jenggot. mereka mendapat kepuasan batin lewat membaca disamping berpenghasilan lumayan.

31 Januari 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JA, soenggoe, tida ada orang baroe, maka itoe poen marilah saija tjioem itoe mata, itoe moeloet jang saja tjinta-in soepaya poewaslah hati saja. Maka si Isah pelok dan tjioem Verkerk seperti orang jang maoe ambil selamat tinggal saoemoer idoepnja." Dan seterusnya. Kutipan di atas diambil dari buku tjerita Njai Isah karangan F. Wiggers, berbentuk buku saku, dan terbit di Batavia tahun 1904. Hampir sama dengan jalan ceritera Nyai Dasima, drama percintaan Nyai Isah ini terjadi di daerah Bagelen, Jawa Tengah, di lingkungan perkebunan kopi. Kisahnya tentang percintaan antara seorang Belanda dengan perempuan pribumi, dengan segala suka-dukanya. "Dan ini buku mutiara saya," kata Pak Jenggot alias Wong Sun Kai. Di tangannya ada 3 jilid buku Nyai Isah yang diambilnya dari lemari es. "Lemari es ini tidak rusak, tapi saya tidak pakai untuk mendinginkan," kata Pak Jenggot lagi, "sebab saya jadikan tempat karantina buku-buku saya." Maksudnya adalah tempat buku-buku antik yang dianggapnya bernilai tinggi. Di pavilyunnya yang kecil di kawasan Senen, Jakarta Pusat, ruangan yang ada bertambah sempit karena menggunungnya tumpukan buku. Mulai dari ruang tamu, gang ke kamar tidur, di kamar makan, di dapur, bahkan di loreng yang tidak seberapa luas itu, pengab oleh tumpukan buku. Sebagian besar koleksi buku-bukunya yang tidak pernah dihitungnya, adalah ceritera komik dan ceritera silat. Mulai dari Nagasasra Sabuk-Inten karangan S.H. Mintardja, sampai ke komiknya Zam Nuldyn, Ketjak Mendai, yang dicetak oleh Fa. Harris Medan. Sam Kok "Buku-buku saya yang berharga sudah habis digerogoti dia ini," kata Pak Jenggot sambil menuding ke seorang pria yang lain, yang sedang bertamu. Djaja Laras si tamu yang berusia 40 tahun tertawa. Seperti juga Pak Jenggot, 62 tahun. Djaja adalah kolektor buku yang rupanya lebih gigih dan lihai. "Setiap hari, kalau Pak Djaja jatuh cinta kepada buku saya, dia akan merengek agar saya mau menjualnya," kata Pak Jenggot. Dan sambil mengelus jenggotnya yang putih, dia berkata lagi: "Akhirnya, buku saya jatuh juga ke tangannya. Pintar dia." "Tetapi harta saya masih banyak," tambah Jenggot lagi. Di antara tumpukan bukunya yang tidak teratur itu, terdapat koleksi lengkap Gan Kok Liang, si penceritera kembali ceritera-ceritera silat Tiongkok. Juga terdapat terbitan asli Tjiang Koen Bie & Co. di tahun 1913, dalam serial Sam Kok. Di zaman Belanda dulu, satu seri ceritera Sam Kok yang disalin oleh sianseng Lie Im Eng atau sianseng Tjie Tjin Koei berharga sampai 60 gulden. Sedangkan harga beras Cianjur yang paling top waktu itu, cuma 7,5 sen/liter. Pak Jenggot menunjukkan buku Sam Kok yang telah menguning warnanya. Pada sampulnya, tertulis: "Sam Kok atawa peboewangan Antara Tiga Negri (300 gambar)". Di bawah buku yang sampulnya berwarna abu-abu itu ada pula tulisan: "Ceritera real di Tiongkok pada abad II M, 175 - 269." Dalam tumpukan koleksinya, Pak Jenggot juga mempunyai ceritera-ceritera roman dalam bahasa Melayu Pasar seperti Boeat Apa Ada Doenia karangan Nyoo Cheong Seng, suami aktris Fifi Young almarhumah. Selain itu, ada pula buku-buku roman berjudul Sakit Hati, Orang jang Berdosa, karangan Monsieur d'Amour. Dan siapa pula si Tuan Asmara ini? "Dia adalah nama samaran dari Nyoo Cheong Seng," ujar Pak Jenggot. Di sekitar tahun 1920-an, ada beberapa penerbit yang mengkhususkan diri mencetak ceritera berbagai kehidupan. Poste Restante dari Tan's Drukkerij di Surabaya misalnya "terbit saban boelan tanggal 15 masehi dengen tetep." Harga langganan untuk setiap kuartal, cuma 1 gulden. "Buku-buku tersebut di atas semakin sulit dicari, dan semakin tinggi harganya," kata Jenggot lagi. Djaja juga menimpali "Ceritera Sam Kok pada tahun 1975 sudah berharga Rp 25 ribu satu set. Kini sulit cari set yang komplit." Biasanya, antara sesama kolektor buku ada semacam kerja sama atau bahkan tukar menukar koleksi. Djaja biasanya setiap hari keluar rumah jam 10.00 pagi dan baru pulang ketika malam tiba untuk mencari buku-buku lama. "Setiap buku yang saya baca, akan menyuruh saya menyusuri referensi lain," ujar Djaja, "dan ini tak akan putus-putusnya." Kawasan operasi Djaja tak terbatas. Mulai dari tukang abu gosok di Tanah Abang Tanjakan, Lapangan Banteng sampai ke kota-kota di Jawa Timur. Rumah Djaja di Jakarta Kota banyak dikunjungi pecandu buku jenis ini. Apalagi kartu namanya dibubuhi keterangan "specialized antiquariate: Indonesian History, Cultur & Modern Literature." Nama Djaja sebagai pengumpul buku-buku kuno dan baru, katanya terkenal di beberapa universitas di luar negeri. Perawatan Koleksi buku Djaja ada sekitar 8.000 buah. Ceritera silat, injil dalam bahasa Batak terbitan tahun 1813, Ethnographische Atlas (khusus tentang Kota Ujungpandang) karya Dr. B.F. Matthes terbitan tahun 1813, dan banyak lagi "Pernah, dari tukang abu gosok saya beli buku Rp 200/kilo," Djaja menceriterakan pengalamannya. Satu di antara buku yang dibelinya secara kiloan itu dia jual seharga Rp 40.000. Dia tidak menyebutkan judul buku itu. Tapi Djaja juga menyebutkan bahwa dia juga memiliki buku Gadis Desa, karangan W.R. Supratman, yang di tahun 1928 biasa dijadikan ceritera tonil. Berbicara mengenai jumlah, tentu tidak ada yang bisa mengalahkan koleksi Perpustakaan Nasional yang kini memiliki koleksi 400.000 jilid buku. Jumlah ini meliputi buku, suratkabar dan majalah, peta, foto dan Berita Lembaran Negara. Perpustakaan yang didirikan 24 April 1778 ini juga mempunyai koleksi buku tertua. Delle Navigationi et Viaggi, karangan Don Christoforo Colombo Genovese, terdiri dari 3 jilid terbitan tahun 1556. "Mengenai buku tertua yang dicetak di Indonesia, kami juga ada," ujar Mastini Hardjoprakoso, Kepala Perpustakaan Nasional. "Yaitu buku tentang falsafah hidup, terbit di tahun 1675," katanya lagi. Buku yang tebalnya cuma 24 halaman ini berisi ajaran Confusius dalam bentuk syair dengan judul Deugdt, Voorfichtig, Wijfheijdt el Volmalcktheijdt. Buku yang cuma 24 halaman itu, demikian pula buku-buku kuno lainnya telah dilaminasi, diawetkan. Ruang perpustakaan yang hanya 60 x 12 meter itu, memang penuh dengan tumpukan buku-buku yang berjajar rapat di rak jati. Secara berkala, kelompok buku-buku itu dipindahkan ke dalam ruangan yang lebih khusus lagi untuk difumigasi dengan zat kimia. "Obat itu adalah CC14 yang kadang-kadang dicampur pula dengan CS2." kala petugas museum Santoso Oetomo, "dihembuskan dalam kamar ukuran standar, 2 x 2 x 2 meter." Gas yang lebih ringan dari udara ini secara perlahan akan merasuk ke dalam buku-buku yang dikurung selama 7 hari lamanya. Dalam kamar standar itu, bisa dimuat sekitar 200 buku besar atau 500 buah buku saku. Bisa dibayangkan kapan buku-buku yang ratusan ribu jumlahnya itu mendapat giliran untuk difumigasi. Ada cara lain untuk mengawetkan buku. Yaitu dimasukkan ke dalam ruang hampa udara. "Ini lebih murah," kata Oetomo, "tetapi membuat ruang hampa udara itu tidaklah murah." Memelihara buku, memang memerlukan tenaga dan biaya. Djaja Laras mempunyai konsep sederhana untuk memelihara buku-bukunya. "Buku sering saya pindah dan sebaiknya buku selalu dibuka-buka halamannya," ujar Djaja. Tapi Jenggot tidak pernah memikirkan bagaimana mengawetkan buku-bukunya. Tetapi menjilid, mengelem buku-buku yang sobek dan lepas, dikerjakannya sendiri. "Saya memelihara kucing agar buku saya tidak dimakan tikus," ujar Jenggot. "Saya tak ada waktu untuk memikirkan biaya pengawetan," ujar mereka berdua. Karena baik Djaja maupun Wong Sun Kai alias Pak Jenggot sibuk mencari buku dan sibuk pula menjual koleksinya. Ternyata hasilnya tidak kecil Djaja mengaku bahwa dari penjualannya, rata-rata setiap bulan dia menerima sekitar Rp 200.000. Menurut Djaja sekitar 12.000 judul buku telah dijualnya kepada Universiti Kebangsaan Malaysia. Sebagian besar mengenai perkembangan Islam di Indonesia disekitar abad ke-16 dan kesusastraan Cina di Indonesia. "Misalnya," ujar Djaja, "buku Tadjoes Salatin karangan Djohar van Djohor. Orang Aceh yang menulis Islam di Indonesia." Djaja sendiri tidak pernah duduk di perguruan tinggi, tetapi karena banyak memburu buku, dia paham juga buku-buku mana yang harus diberikan ke suatu universitas. Fakultas Hukum UI sendiri, konon langganan Djaja yang baik. "Rumah saya juga sering dikunjungi orang-orang yang sedang riset," ujarnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus