LAHIRNYA sebuah alat sederhana ternyata mampu mengguncang harga saham perusahaan raksasa. Setidaknya, itulah yang terjadi ketika SLM International memamerkan sebuah produk perdananya di New York beberapa waktu lalu. Itulah ''Buddy L. Supercharger'', yang diiklankan mampu mengisi kembali setrum baterai alkalin yang sudah loyo. Keesokan harinya saham Duracell yang memproduksi baterai alkalin di AS langsung anjlok 12%. Sementara itu saham SLM International justru melonjak 15%. Keruan saja genderang perang segera disuarakan dari markas produsen baterai. ''Menyetrum kembali baterai alkalin dapat menyebabkannya meledak,'' kata juru bicara Duracell International, Jim Donahue, kepada Sudirman Said dari TEMPO. Tuduhan ini tentu saja dibantah oleh SLM International. ''Apa pun kata orang, alat itu sendiri yang akan membuktikan keselamatan pemakainya,'' tangkis Earl Takefman, juru bicara produsen mainan yang bermarkas di New York ini. Kerasnya reaksi Duracell bisa dimaklumi. Harian bisnis The Wall Street Journal memperkirakan Duracell dan Eveready menguasai 85% pasaran batu baterai di dunia. Dan baterai alkalin merupakan jenis baterai tahan lama yang paling mahal alias paling besar margin keuntungannya. Wajar kalau kampanye negatif tentang si ''Buddy'' ini digiatkan. Jim Donahue, misalnya, mengatakan kepada TEMPO bahwa Buddy ''hanya akan mampu menghasilkan setrum 20% dari kekuatan aslinya''. Kalau dugaan itu benar, boleh jadi nasib si Buddy di pasar juga akan lesu. Soalnya, baterai yang dapat diisi kembali (rechargable) sudah lama beredar di pasar tanpa merusak minat orang terhadap baterai alkalin. Maklum, selain harganya mahal, baterai jenis ini kekuatannya setelah disetrum kembali masih di bawah baterai alkalin yang baru. ''Masyarakat juga kurang disiplin untuk memantau kapan harus menyetrum kembali baterainya,'' kata Peter Barry, periset pasar yang jadi sumber The Wall Street Journal. Itu sebabnya Duracell sendiri sejak tahun lalu menjalankan proyek untuk menghasilkan baterai ulang pakai (rechargable) yang lebih mumpuni. Proyek ini berskala internasional karena merupakan kerja sama dengan Toshiba Battery Co dari Jepang dan Barta Batteries AG dari Jerman. Targetnya adalah menemukan baterai ulang pakai berkekuatan tinggi untuk dipakai pada alat elektronik, seperti kamera video, komputer layak bawa, atau telepon saku, pada akhir tahun ini. Mungkin ini yang menyebabkan Duracell meragukan penemuan SLM International. Sebab perusahaan ini hanya menguras 400 juta rupiah dari kantongnya untuk mengembangkan si Buddy. Yaitu dengan membeli lisensi rancangan seorang profesor elektronik yang merahasiakan namanya, lalu memproduksinya dan memajangnya di pameran mainan anak-anak tahunan di New York. ''Buddy L Supercharger hanyalah bagian kecil dari bisnis kami,'' kata Earl Takefman. ''Bisnis SLM yang utama adalah membuat dan memasarkan mainan anak.'' Bukan berarti si Buddy pasti mati. Untuk menjalankan mainan anak-anak tak diperlukan baterai yang istimewa. Memang masih harus ditunggu apakah si Buddy akan mampu menggembosi perusahaan raksasa pembuat baterai itu. Bambang Harymurti (Washington DC)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini