Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Ritual yang menembus dominasi keraton

Dua kelompok tari mencoba mencari alternatif: menembus ''dominasi'' keraton, yang selama ini dianggap memonopoli seni tari ritual jawa. tapi pertunjukan mereka masih terasa mentah.

17 April 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TUBUH adalah bahasa batin. Gerakan tubuh merupakan ungkapan paling dasar dari perasaan dan maksud batin yang memancarkan daya dan nilai-nilai spiritual. Kemunculan tari juga bermula sebagai media untuk berkomunikasi dengan Sang Pencipta, terutama untuk mengungkapkan rasa kekaguman terhadap-Nya. Inilah buhul utama yang ingin diucapkan penggagas Pasar Cipta Tari Ritual yang berlangsung Selasa dan Rabu pekan lalu. Tak aneh jika acara yang berlangsung di Taman Budaya Surakarta (TBS), Solo, Jawa Tengah, itu penuh dengan aroma dupa dan kembang setaman serta lantunan doa berbagai agama. Pergelaran 22 kelompok olah tubuh yang berlangsung sejak sore hingga malam tersebut mencoba merefleksikan persepsi mereka tentang seni ritual yang, menurut Ben Soeharto, salah seorang penggagas acara itu, merupakan ''seni yang diciptakan manusia untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta dan kosmos-Nya''. Upaya itu dimulai dengan tampilnya dua tokoh penari lokal, yakni Suprapto Suryodarmo, pimpinan Pedepokan Lemah Putih di Solo, dan Ben Soeharto, pimpinan Pedepokan Ngawu-awu Langit di Yogyakarta, lewat olah tubuh dengan judul Doa Selamat. Ben, dosen tari Institut Seni Indonesia (ISI), Yogyakarta, duduk bersila di atas undakan yang diletakkan di tengah lantai pendopo TBS, dengan sebuah karton persegi empat di hadapannya. Sedangkan Prapto, yang mengenakan pakaian serba-hitam dan ikat kepala, berdiri di lantai berdampingan dengan Ben. Diiringi ritme bunyi yang dihasilkan Ben lewat ketukannya di atas karton tadi, Doa Selamat dimulai dengan gerakan pelan yang terus menaik. Sedangkan Prapto melakukan gerakan perlahan, tapi sarat energi. Ben terus menggerak-gerakkan tangannya ke atas dan ke bawah dengan kepala terkadang menengadah. Lama-kelamaan bunyi yang dihasilkan Ben semakin cepat. Prapto seakan-akan mengikuti ''ajakan'' ini untuk semakin menggumpalkan niat bagi upacara keselamatan sore itu. Pertunjukan berhenti setelah Ben menurunkan tempo ketukannya. Peserta lain yang juga berusaha menyajikan suasana ritual dalam tariannya adalah kelompok yang dipimpin oleh Bagus Jatmiko, yang diperkuat penari-penari dari Puro Mangkunegaraan, Solo. Termasuk di antaranya adalah Raden Ayu Hilmiah Dinah Murdaningsih, 52 tahun, cucu K.G.P.A. Mangkunegara VII, yang menurut pengakuannya menerima wangsit untuk menari dalam acara malam itu. Suasana magis terasa karena lantunan syair-syair religius dalam bahasa Jawa, yang disuarakan tujuh abdi dalem Mangkunegaraan, bersahutan dengan doa-doa Hindu yang dirapalkan oleh pendeta Hindu asal Austria, yang semuanya dilatari suara tembang dan gamelan. Yang juga menarik dari acara pada malam pertama itu ialah pertunjukan yang disajikan oleh dua orang anak buah Prapto, yaitu Pak Pujo dan Felicitas Reitzug diberi judul Gate ... yang dipentaskan di Galeri TBS. Felicitas, warga Jerman yang juga pelukis itu, memadukan seni instalasi dengan gerak spiritual dalam karyanya. Setting-nya berupa hamparan pasir putih di ruangan berukuran 4 x 4 meter, yang dilengkapi dengan sebuah bantalan untuk duduk bersemadi dan dua buah penggaruk dari bambu. Di salah satu sudut hamparan pasir itu diletakkan seperangkat dupa dan bunga. Pak Pujo dan Felicitas secara perlahan mengitari hamparan pasir sambil mengucapkan mantra-mantra Budha, sementara guratan- guratan melingkar dan vertikal dibuat oleh Felicitas dengan penggaruk di pasir. ''Saya membuat temple dengan garis-garis saya,'' kata Felicitas seusai pertunjukan. Gerakan perlahan dan intens yang dilakukan pasangan penari ini berakhir setelah berlangsung hampir 60 menit. Di akhir penampilan, pasir yang penuh guratan tadi kembali mulus seperti semula. ''Temple yang sejati adalah apa yang kita lakukan sekarang,'' ujar Felicitas. Adakah semua penampil mencapai titik temu antara olah tubuh dan kekuatan transendental dalam gerakannya? Tampaknya belum. Salah seorang penonton, dalam diskusi seusai pertunjukan, melihat bahwa gerakan tubuh para penampil masih dominan dikendalikan oleh ''kepala'' masing-masing, bukan oleh ''pikiran'' yang ada pada bagian dari tubuh-tubuh yang bergerak. Jika berbicara jujur, sebetulnya apa yang dicari oleh Prapto, Ben, dan Bagong Kussudiardjo penari Yogya yang juga salah seorang penggagas acara ini sebenarnya tak lebih dari pencarian alternatif. Apa yang mereka lakukan tidak lebih dari sebuah ''penawaran'' untuk mencari jalan sendiri kembali ke akar tradisi tari, yakni pemerdekaan diri untuk bersentuhan dengan dunia transendental. Menurut Prapto, selama ini seni tari spiritual seakan-akan dimonopoli oleh pusat-pusat kebudayaan (Jawa), misalnya keraton. Padahal, bagi Prapto, siapa pun mempunyai hak untuk mencari jalan. Dan menurut dia, pertunjukan inilah salah satu caranya. Kalaupun itu yang ingin dicapai, tampaknya mereka harus tetap sadar bahwa segala rasa, karsa, cipta, dan karya manusia tiada lain kecuali merupakan dorongan alam bawah sadar untuk menghaturkan keindahan artifisial sebagai ungkapan pujian kesempurnaan Sang Pencipta. Dalam pada itu, nilai estetika pertunjukan ini tetap menjadi acuan bagi penonton ataupun penampil. Dengan kata lain, upaya para penampil itu belum sepenuhnya tercapai, bahkan bisa disebut masih terasa mentah. Rustam F. Mandayun dan Kastoyo Ramelan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus