Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SAEFUL Rohman takjub akan lembaran plastik di tangannya. Peneliti di Balai Pengkajian Teknologi Polimer, salah satu lembaga di bawah Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), itu tidak pernah membayangkan plastik bisa mengemas aspal, produk yang biasanya dibungkus drum logam.
Lembaganya kadang diminta membantu perusahaan swasta mencari solusi masalah teknologi. Ketika itu dia diminta untuk mengukur kekuatan lembaran plastik buatan Singapura. Plastik tersebut kuat, kokoh, dan lentur. Semula ia tidak paham kegunaan plastik jenis itu. Ketika tahu fungsinya, yaitu untuk kantong aspal, Saeful terheran-heran.
Ia pun tergoda membuat plastik serupa. ”Kami melakukan reverse engineering,” kata Saeful. Teknik ini serupa dengan koki yang membuat makanan dengan meniru makanan yang sudah jadi. Saeful membuat plastik dengan membongkar zat penyusun plastiknya. Setelah tiga tahun melakukan percobaan, ia berhasil membuat plastik bungkus aspal dengan karakteristik mirip buatan Singapura. Plastik itu sudah dicoba untuk mengemas aspal.
Selain tidak perlu lagi menggunakan drum yang mahal, kemasannya memiliki satu kelebihan, yaitu melebur dengan aspal sekaligus meningkatkan kualitasnya. ”Lebih kokoh,” kata Saeful. Pendapat ini disetujui ahli campuran aspal-plastik dari Institut Teknologi Nasional Bandung, Dr Imam Aschuri. ”Aspal polimer (yang sudah dicampuri plastik) itu lebih kuat.”
Plastik di dalam aspal membuatnya lebih tahan tekanan kendaraan. Aspal pun tidak gampang retak. ”Air tidak gampang terserap,” kata Imam. Sebab, air yang merembes ke bawah aspal mengakibatkan tanah di bawahnya tergerus dan ambles.
Tidak mudah memang melakukan reverse engineering zat-zat penyusun plastik. Untuk mengetahui bahan dasar, misalnya, mereka memanaskan bahan itu. Setiap bahan dasar plastik memiliki titik leleh berbeda. Ternyata bahan itu meleleh pada suhu 135 derajat Celsius. Artinya, bahan baku plastik tersebut polyethylene atau PE, yang dikenal sebagai bahan dasar barang-barang plastik, seperti ember dan gayung.
Mereka juga menguji kekuatan bahan ini menyerap sinar inframerah untuk mengetahui struktur kimianya. Akhirnya mereka menemukan kandungan bahan selain PE, terdiri atas ethylene vinyl acetate yang membuat bahan itu menjadi lentur; lempung yang memberi warna cokelat; serta minyak pelumas.
Hebatnya, BPPT tidak membeli bahan-bahan untuk ramuan kantong aspal itu dari toko kimia. Sebaliknya, kata Saeful, ”Semuanya menggunakan limbah.” Mereka menggunakan oli mesin bekas dan plastik bekas.
Setelah bahan-bahan itu diproses, jadilah lembaran plastik baru. Tapi karakter plastik ini tidak sama benar dengan yang ditiru. Yang menjadi masalah hanya warnanya: tidak mirip plastik bikinan Singapura. ”Mungkin lempung di luar negeri berbeda dengan di Indonesia,” kata Saeful.
Begitu urusan plastik selesai, mereka melakukan uji coba memasukkan aspal ke dalam kantong. ”Kita memasukkan aspal dalam suhu 70 derajat Celsius,” kata Saeful. Adapun di kilang minyak, aspal dimasukkan ke drum dalam suhu sekitar 130 derajat Celsius sehingga bentuknya benar-benar cair.
Kantong plastik made in Indonesia itu tidak sanggup menghadapi suhu setinggi itu karena suhu titik lumernya lebih rendah, tapi bisa mengemas aspal dalam suhu 70 derajat Celsius—dalam kondisi lumer. Hal itu sudah pas, karena jika plastik itu dirancang sanggup menahan suhu lebih tinggi lagi, malah akan bermasalah saat diolah bersama aspal karena tidak bisa bercampur dan memperkuat aspal. ”Untuk bisa bercampur dengan aspal ini, plastiknya harus memiliki titik lumer lebih rendah daripada aspal,” kata Imam Aschuri.
Nur Khoiri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo