Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INTIFADAH! Kata yang akrab terdengar di Palestina itu sering diucapkan warga Tunisia sebulan terakhir ini. Gambaran si kecil David melawan raksasa Goliath tak ubahnya seperti satu juta orang yang berbaris melawan ribuan polisi dan tentara selepas salat Jumat di pusat Ibu Kota Tunis dua pekan lalu.
”Kami menyerbu Stasiun Metro Barcelona dan dihadang gas air mata. Kami berlari ke Bourguiba Avenue, Champs-Élysées Tunisia. Di sana, kami kembali berhadapan dengan tongkat dan senapan tentara,” tutur Kamel Riahi, novelis Tunisia. Hasilnya sebuah Tunisia yang baru: tanpa sang diktator Zine el-Abidine Ben Ali—tapi ia diperkirakan masih memiliki pengaruh kuat di tubuh partai yang berkuasa (Perkumpulan Demokratik Konstitusional atau RDC) sepanjang 23 tahun.
Empat menteri kabinet mengundurkan diri dan beberapa menteri lain melepaskan keanggotaannya dari partai yang berkuasa, menyusul gelombang demonstrasi yang telah menewaskan 83 orang itu, pekan lalu. Namun para demonstran yang masih bergerak di jalan-jalan tetap menuntut pembubaran RDC dan pembentukan pemerintahan baru yang bersih dari pengaruh Ben Ali dan kaki tangannya.
Jasmine Revolution atau Revolusi Kembang Melati—begitu pers Tunisia menyebutnya—terpicu oleh sebuah drama di depan sebuah kantor gubernur, 17 Desember tahun lalu. Tersebutlah Mohammad Bouazizi, sarjana ilmu komputer yang tengah menganggur dan berutang US$ 200 untuk membeli gerobak buah buat berjualan di kaki lima. ”Aku pergi, Ibu. Maafkan, aku tidak patuh. Aku pergi dan tidak akan kembali,” katanya dalam dinding akun Facebook-nya.
Pekan itu, polisi Tunisia merazia jalanan Kota Sidi Bouzid, 256 kilometer dari Tunis. Malang, gerobak Bouazizi disita. Dia mengadu ke balai kota, tapi tidak digubris. Kecewa, pemuda 29 tahun itu membeli dua kaleng bensin, lalu membakar diri sendiri di depan kantor gubernur.
Tubuhnya luka parah. Tiga minggu kemudian, dia meninggal. Kematiannya memicu protes. Lima ribu pelayat berteriak, ”Kami akan membalaskan dendam Anda, Mohammad!” Pemakam—an berakhir rusuh. ”Saudaraku telah menjadi simbol perlawanan di dunia Arab,” ujar kakaknya, Salem Bouazizi.
Lelah dengan kondisi ekonomi yang tak kunjung membaik, gelombang demonstran meluas. Rakyat Tunisia menuntut lapangan pekerjaan, upah layak, dan kebebasan berpendapat. Mereka juga mendesak Presiden Tunisia Zine el-Abidine Ben Ali lengser.
Ajakan revolusi juga menyebar lewat Twitter dan Facebook. Orang dari Mesir, Aljazair, dan Mauritania mengikuti jejak Bouazizi: membakar diri sebagai aksi protes atas ketidakadilan sosial. Di Mesir, Hosni Mubarak, yang berkuasa sejak 1981, didesak turun.
Kamis dua pekan lalu, Presiden Ben Ali berpidato dengan emosional. ”Saya memahami Anda. Silakan menghentikan kekerasan,” katanya. Dia berjanji memenuhi tuntutan demonstran, menyediakan 300 ribu pekerjaan, dan tidak akan mencalonkan diri pada 2014. Namun terlambat, rakyat Tunisia telanjur marah.
Tunisia genting. Ben Ali membubarkan pemerintah dan menyatakan keadaan darurat. Esok paginya, televisi pemerintah Tunisia mengumumkan Ben Ali resmi mengundurkan diri. Ketua Mahkamah Konstitusi Fethi Abdennadher menyatakan Ben Ali sudah hengkang dari Tunisia. Dia minggat memboyong 30 anggota keluarganya. Ketua Parlemen Fouad Mebazza ditunjuk menjadi presiden sementara. Perdana Menteri Mohamed Ghannouchi membentuk kabinet koalisi dan menggelar pemilihan umum enam bulan lagi.
Kabinet baru Ghannouchi ditolak rakyat karena dianggap perpanjangan tangan Ben Ali. Ada delapan wajah lama yang masih dipakai dan menempati posisi kunci. Akhirnya, empat menteri dari kubu oposisi memutuskan mundur.
Sejak Desember hingga Sabtu pekan lalu, setidaknya 42 orang dilaporkan tewas dan ratusan luka-luka. Aksi demonstrasi menolak pemerintahan sementara masih melanda Tunisia hingga hari ini.
Dua orang tenaga kerja asal Indramayu, berinisial S dan J, juga sempat terjebak di istana kepresidenan di Carthage. Duta Besar Indonesia untuk Tunisia, Muhammad Ibnu Said, mengatakan keduanya bekerja pada anak-anak Ben Ali sejak tiga tahun lalu. ”Mereka adalah TKW ilegal yang masuk Tunisia memakai visa turis,” katanya kepada Tempo. Sebanyak 120 orang warga negara Indonesia lainnya dilaporkan selamat.
Rakyat Tunisia sudah lama menjuluki Ben Ali sebagai ”Ben à Vie” atau presiden seumur hidup. Sejak 1987, sudah lima kali dia menang telak dalam pemilihan umum dengan perolehan suara hampir sempurna.
Ben Ali, direktur keamanan nasional, adalah tangan kanan presiden pertama Tunisia, Habib Bourguiba. Pada November 1987, Ben Ali melakukan kudeta tak berdarah. Dia menyatakan Bourguiba tidak layak memerintah karena sakit keras. Ben Ali menjadi orang nomor satu Tunisia pada usia muda, 49 tahun.
Awalnya Ben Ali menjadi pahlawan rakyat. Dia dianggap tokoh reformasi karena melarang penangkapan dan penyiksaan sewenang-wenang. Tapi harapan rakyat Tunisia perlahan menguap. Ben Ali tak ubahnya seperti Bourguiba: memimpin dengan tangan besi.
”Dia mengelola negara seperti mafia,” kata Duta Besar Amerika untuk Tunisia, Robert F. Godec, dalam kawat diplomatik ke Washington. Godec, yang menghadiri jamuan makan siang di rumah anak tiri Ben Ali, Mohammad Sakher el-Materi, tercengang. Keluarga ini bergelimang kemewahan, sementara rakyat Tunisia kesulitan ekonomi. ”Inilah yang memicu kemarahan warga Tunisia,” kata Godec.
Kerajaan Ben Ali menguasai sebagian besar bisnis di Tunisia. Kekayaan dia dan keluarganya mencapai Rp 73 triliun. Leila Trabelsi, istri kedua Ben Ali, menguasai seluruh bisnis properti di negara itu. Mantan penata rambut ini diduga memiliki emas batangan hingga 1,5 ton senilai Rp 543 miliar.
Bagaimana nasib sang diktator kini? Jumat itu, Ben Ali mencari perlindungan ke Prancis, negara yang selalu mendukungnya selama dua dekade terakhir. Tapi Presiden Nicolas Sarkozy menolak memberikan suaka. Pesawatnya bahkan tidak diizinkan mendarat. Ben Ali lalu mengais suaka di Malta, Uni Emirat Arab, dan Italia. Namun usahanya sia-sia.
Peruntungan datang di Arab Saudi. Ben Ali, 75 tahun, diberi tempat berlindung di sebuah vila yang pernah dipakai diktator Uganda, Idi Amin. Di tempat peristirahatan inilah Idi Amin menghabiskan 13 tahun terakhir hidupnya sebelum meninggal pada 2003. Sami Moubayed, pengamat politik Suriah, berkomentar, ”Ironis. Selama berkuasa, Ben Ali melarang perempuan berjilbab dan tak membolehkan masjid mengumandangkan azan.”
Setelah 23 tahun memerintah, Presiden Ben Ali digulingkan lewat peristiwa paling dramatis dalam sejarah Arab kontemporer. Bukan tank Amerika Serikat yang menggulung simbol Tunisia ini, seperti nasib Saddam Hussein pada 2003. Bukan pula ulama bersorban yang merebut kekuasaan, seperti ketika Shah Iran digulingkan pada 1979. Melainkan orang-orang Tunisia, warga biasa, tua dan muda, yang bangkit dengan satu suara, ”Intifadah!”
Di bandar udara, saat rombongan Ben Ali meninggalkan tanah kelahirannya, para demonstran memegang spanduk besar, mengusir sang mantan presiden. ”Game over, Ben à Vie!”
Ninin Damayanti (Guardian, Washington Post, Telegraph, Asiatimes.com)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo