Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ACARA itu tak ubahnya sebuah ajang pencarian bakat. Kerumunan warga Juba—ibu kota Sudan Selatan—memenuhi sebuah aula. Di panggung, para penyanyi bergantian bersenandung. Warga yang menonton terbawa suasana. Mereka ikut mengentakkan kaki dan melambaikan tangan mengikuti nyanyian. Sebagian lagi menitikkan air mata.
Mereka bukan sedang mengikuti acara semacam Sudan Idol, melainkan menyiapkan lagu kebangsaan. ”Saat itu adalah momen yang cukup emosional,” kata ketua panitia penulisan lagu kebangsaan Joseph Abuk dua pekan lalu.
Sang pemenang akhirnya terpilih: seorang mahasiswa dan anggota staf pengajar Universitas Juba. Judul lagunya: South Sudan Oyee! Lirik lagu tersebut dibuat tahun lalu, melibatkan puluhan penyair. ”Lagu kebangsaan bagi saya berarti saya mendeklarasikan ke semua orang bahwa saya bebas,” kata Mido Samuel, penggubah lagu South Sudan Oyee!
Rakyat Sudan Selatan memang telah dan terus mempersiapkan diri untuk memiliki negeri sendiri. Referendum telah digelar Ahad hingga Sabtu dua pekan lalu. Hasil akhir penghitungan suara direncanakan akan diketahui pertengahan Februari. Hingga pekan lalu, suara yang ingin berpisah dinyatakan sekitar 98 persen. Maka Sudan Selatan akan menjadi negara baru pada Juli.
Selain lagu kebangsaan, beberapa perlengkapan penting telah disiapkan. Misalnya saja, bendera yang diambil dari bendera Gerakan Pembebasan Rakyat Sudan, pemberontak yang melawan utara dan kemudian menjadi penguasa pascaperjanjian damai 2005.
Tapi masih ada satu hal sangat penting yang belum ditetapkan dan masih diperdebatkan: nama negeri baru ini. Ada yang mengusulkan Selatan, Sudan Selatan, Sudan Baru, bahkan Cush, mengacu pada penyebutan kawasan Sudan Selatan di kitab Injil.
Untuk menjalankan roda pemerintahan, beberapa pos penting, seperti kementerian keuangan, kesehatan, pendidikan, dan hubungan luar negeri, telah disiapkan. Sekitar 100 ribu tentara dari angkatan bersenjata Gerakan Pembebasan Rakyat juga sudah siaga.
Meski demikian, pekerjaan luar biasa berat menanti. ”Ada banyak pekerjaan harus dilakukan,” kata Roger Middletown dari Chatham House, sebuah lembaga pemikir.
Peringatan senada disampaikan Melinda Young dari Oxfam di Sudan Selatan. ”Kemiskinan kronis, kurangnya pembangunan, dan ancaman kekerasan yang merusak kehidupan sehari-hari masyarakat tidak akan hilang setelah referendum,” katanya.
Sudan Selatan selama ini dikenal sebagai kawasan termiskin di dunia. Di Juba, kota yang direncanakan menjadi ibu kota, hanya terdapat 48 kilometer jalan yang beraspal. Untuk penerangan, sebagian besar warga bergantung pada generator pribadi.
Masalah sosial pun cukup serius. Satu dari 10 bayi meninggal di bawah usia 1 tahun. Hanya sekitar 2 persen dari 8 juta penduduk yang menyelesaikan pendidikan sekolah dasar.
Selain itu, ada masalah menyangkut mantan kawan senegeri. Misalnya saja, bagaimana harus membagi hasil minyak dengan Khartum. Selama ini cadangan minyak Sudan hampir semua berada di Sudan Selatan. Tapi pipa minyak ada di utara.
Masih ada pula masalah perbatasan dengan utara. Isu wilayah Abyei, yang saat ini belum digelar referendum, juga tak mudah diselesaikan. Sebelum referendum, Presiden Omar al-Bashir menyatakan, apabila Sudan Selatan merebut wilayah Abyei yang kaya minyak ini, perang bisa pecah. Belum lagi, utara sendiri bukanlah kawasan yang damai.
”Sangat penting menyelesaikan masalah ini sedini mungkin, di mana perbatasannya, bagaimana pembagian minyaknya, apa yang terjadi dengan aset,” kata Middletown.
Dari kejauhan lagu kebangsaan negara baru itu terdengar penuh harapan.
Oh surga!
Tanah susu dan madu dan para pekerja keras
Menguatkan kita bersatu dalam damai dan harmoni
Nil, lembah, hutan, dan gunung
Akan menjadi sumber kebahagiaan dan kebanggaan
Tuhan berkahi Sudan Selatan!
Purwani Diyah Prabandari (BBC, AFP, Al-Jazeera, IRIN)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo