Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bayangkan, suatu saat daging burger yang kita makan bisa tersaji di nampan tanpa ada hewan yang disembelih. Daging itu tidak datang dari peternakan, melainkan dikembangkan di dalam laboratorium berkat teknik kultur sel. Meski begitu, tekstur dan rasanya tetap sama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Teknik kultur sel membuat impian lama itu menjadi kenyataan. Kultur sel adalah proses ketika sel dari suatu jaringan diambil dan ditumbuhkan pada kondisi yang terkontrol dan aseptik. Sel yang dikultur biasanya diambil dari jaringan eukariota, yakni organisme dengan sel yang memiliki nukleus dan organel bermembran lainnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Beberapa perusahaan rintisan mulai tertarik mengembangkan daging laboratorium yang berasal dari daging sapi, babi, dan unggas itu. Yang menarik, upaya mereka disambut hangat para investor. Perusahaan rintisan di Memphis, misalnya, mendapat dana US$ 17 juta dari beberapa donatur, termasuk pendiri Microsoft, Bill Gates.
Jika dikembangkan secara luas, daging yang ditanam di laboratorium, atau disebut sebagai "daging bersih", dapat mengurangi perlakuan kejam dan tak etis terhadap hewan ternak. Selain itu, daging bersih dapat mengurangi biaya lingkungan cukup besar yang dibutuhkan untuk menghasilkan dan mengembangbiakkan ternak dari kecil hingga dewasa.
Daging bersih dibuat dengan mengambil sampel otot dari sapi atau hewan lain. Lantas, sel punca dari jaringan tersebut dikumpulkan dan dilipatgandakan untuk memungkinkannya berdiferensiasi menjadi serat primitif yang kemudian bertambah besar untuk membentuk jaringan otot.
Mosa Meat, perusahaan teknologi makanan di Belanda, mengatakan satu sampel jaringan dari seekor sapi dapat menghasilkan jaringan otot yang cukup untuk menghasilkan 80 ribu daging burger. Meski begitu, pada mulanya, daging buatan ini gagal menyamai kelezatan daging asli.
Pada 2013, ketika disajikan kepada para jurnalis, burger yang dibuat dari daging yang ditanam di laboratorium itu ternyata mendapat tanggapan negatif. Jurnalis menilai daging tersebut terlalu kering karena kandungan lemak yang terlalu sedikit. Padahal dibutuhkan biaya lebih dari US$ 300 ribu untuk riset pembuatan daging itu.
Perkembangan teknologi kultur sel yang semakin maju memungkinkan daging laboratorium bersaing dengan daging asli asal peternakan tradisional. Apalagi harga daging giling per kilogramnya terus turun. Kenyataan ini membuat daging bersih dapat bersaing dengan daging peternakan.
Hanya, sebelum bisa dilempar ke pasar, daging bersih harus terbukti aman dikonsumsi. Meski tak ada alasan untuk mengatakan bahwa daging yang diproduksi di laboratorium bisa menimbulkan bahaya bagi kesehatan, Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) tetap akan mengeluarkan aturan ketat ihwal peredaran daging bersih ini.
Sementara itu, produsen daging tradisional menolak kehadiran daging buatan laboratorium. Mereka beralasan produk tersebut bukanlah daging dan tak boleh diberi label daging. Namun sebuah survei menunjukkan banyak konsumen yang justru ingin mencicipi daging yang "diternakkan" di laboratorium ini.
Terlepas dari kontroversi yang terjadi, perusahaan rintisan daging bersih tetap melanjutkan proyek mereka. Jika berhasil, daging bersih dapat membuat kebiasaan makan lebih etis karena artinya tak ada hewan yang disembelih dan tentunya lebih ramah lingkungan.
SCIENCEDAILY | GRAPHICNEWS | GOOD FOOD INSTITUTE | FIRMAN ATMAKUSUMA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo