Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Dalam Bayangan Rosalind Franklin

9 Maret 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NAMA Watson dan Crick sudah terpatri di berbagai buku biologi sekolah sebagai penemu struktur double helix (anak tangga berganda) dari DNA (deoxyribonucleic acid), materi yang membawa sifat-sifat genetis. Padahal, di kalangan ilmuwan hingga kini masih terjadi perdebatan apakah mereka yang sesungguhnya menemukan misteri kehidupan itu ataukah orang lain. Yang mereka maksud adalah Rosalind Elsie Franklin.

Siapa Franklin? Dilahirkan pada Juli 1920, Franklin yang orang Inggris itu meraih gelar doktor dari Universitas Cambridge, Inggris, pada tahun 1945 dan bekerja sebagai peneliti di laboratorium milik John Randall di Universitas King, Cambridge. Sebelumnya ia pernah tinggal di Prancis selama tiga tahun sembari mempelajari teknik difraksi sinar-X.

Saat pertama kali bergabung, Randall memintanya membantu seorang mahasiswa pascasarjana Raymond Gosling, yang telah memotret DNA dengan sinar-X. Keahlian Franklin dalam sinar rontgen itu membuat Randall memintanya mengepalai seluruh proyek DNA. Saat itu tak ada peneliti lain karena Maurice Wilkins, wakil kepala laboratorium, sedang cuti panjang. Selama di sanalah Franklin menemukan metode kristalografi sinar-X dan dia pula yang pertama kali melihat, lewat sinar itu, bahwa struktur DNA berbentuk helix.

Padahal dengan sinar itu pula pada Mei 1952—setahun sebelum Watson dan Crick menulis tesisnya di Nature—Franklin menyimpulkan bahwa struktur DNA berbentuk double helix. Dengan melihat citranya dalam sorotan cahaya sinar-X, lokasi atom-atom dalam sembarang kristal bisa dinyatakan dengan tepat. Peneliti ini lantas sampai pada kesimpulan bahwa gula dan fosfat adalah penyusun utama dari DNA yang terletak di bagian luar dari molekul. Inilah susunan yang dicari-cari dalam proyek Watson cs., yang menduga helix bersusun tiga.

Rupanya Randall membawa hasil penelitian ini ke beberapa seminar dan mempublikasinya tanpa sepengetahuan si penemu. Ia tanpa sengaja memberikannya kepada duo peneliti Watson dan Crick. Sejarah berputar, nama Watson dan Crick mencuat. Franklin tidak marah dengan tindakan itu, malah mendukung keduanya, yang ingin mempublikasi hasil penelitian mereka.

Sayangnya, nama Franklin kemudian dikubur. Dalam bukunya, The Double Helix, Watson malah menyebut Maurice Wilkins—yang bersama Crick dan dirinya menerima Nobel—sebagai kolega dalam penelitian di laboratorium Randall. Di situ ia menulis dengan berani, cuma dirinya yang diberi hak oleh Randall untuk menguraikan struktur DNA itu. Rupanya, saat kembali dari liburan panjang, Wilkins dan Franklin sempat berselisih paham. Masing-masing mengira diri mereka adalah ketua proyek DNA itu. Sikap Wilkins yang ngotot dianggap biasa karena pada zaman itu peneliti wanita masih dianggap kelas dua di Cambridge.

Semua ini membuat Franklin keluar dari Randall dan pindah ke Birkbeck di London. Ia melanjutkan studinya tentang batu bara dan virus, sebelum kematian yang terlalu cepat menjemputnya saat berusia 38 tahun, sebelum ia sempat menjelaskan apa yang telah membuatnya hari ini membayang-bayangi ketiga penerima hadiah Nobel itu.

I G.G. Maha Adi, dari berbagai sumber

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus