Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Pulau Sarena Milik Wali Kota?

Untuk kedua kalinya, Wali Kota Bitung tersandung perkara. Kali ini dia dituduh menguasai sebuah pulau.

9 Maret 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PULAU Sarena Besar cuma setitik kecil di peta. Luasnya hanya sekitar empat hektare. Berada persis di seberang Pelabuhan Bitung, Sulawesi Utara, pulau ini termasuk salah satu dari sekitar lima pulau lain di Selat Lembeh. Di situ cuma ada sebuah rumah bertingkat dua yang berdiri megah di atas tanah bercampur pasir, hamparan tanaman jagung di perbukitan, dan ratusan pohon kelapa. Meski kecil, pulau itu memicu persoalan besar dan membuat Wali Kota Bitung, Milton Kansil, dan istrinya, Sintje Moningka, digugat di Pengadilan Negeri Bitung. Mereka dituduh menyerobot lahan milik George Dotulong Maringka, 75 tahun, warga Kelurahan Aertembaga yang mengaku sebagai ahli waris tanah di Pulau Sarena. Ini kasus yang kedua bagi Milton, yang pernah menjadi Ketua Cabang PDI Perjuangan Bitung. Februari lalu, ia tersandung kasus pidana penyelundupan barang elektronik. Oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Milton divonis hukuman kurungan sembilan bulan dan denda Rp 150 ribu. Karena kasus itu, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah setempat sempat meminta Menteri Dalam Negeri agar memberhentikan Milton sebagai wali kota. Menurut Maringka, pulau tersebut warisan dari ibunya, almarhum Zarah Hendrika Katuuk, yang juga mendapat warisan dari leluhurnya, Dotu Watok Dotulong. Sebagai bukti, Maringka memiliki surat pemberian hak tanggal 1 November 1964 yang diketahui Hukum Tua (Kepala Desa atau Lurah) Aertembaga, N. Lengkong, dengan register desa Persil 15 Folio 6. "Dalam surat register, luasnya empat hektare," kata ayah tujuh anak ini. Sejak 1930, tanah di pulau itu telah dibuka dan ditanami. Sebelumnya, kasus Pulau Sarena pernah disidangkan di Pengadilan Negeri Manado pada 1980. Waktu itu Maringka menuduh Yan Boulogi, seorang warga setempat, melakukan penyerobotan tanah dan pencurian kelapa. Yan sempat ditahan sebentar, tapi akhirnya diputus bebas oleh pengadilan karena tidak terbukti melakukan penyerobotan dan pencurian kelapa. Bagaimana tanah itu bisa beralih ke tangan Milton? Yan Boulogi, 74 tahun, yang juga merasa sebagai pemilik, menjualnya kepada keluarga Milton seharga Rp 750 juta. Menurut Suharto D.J. Sulengkampung, kuasa hukum Yan Boulogi, tanah itu milik kliennya, warisan dari orang tuanya. Derek Boulogi, orang tua Yan, memperoleh tanah itu pada 1936, lalu menanaminya dengan pisang dan umbi-umbian. Ketika Derek meninggal pada 1946, tanah diwariskan kepada Yan. Hanya, keterangan tersebut disanggah Maringka. Menurut dia, saat itu orang tua Yan hanya meminjam tanah itu untuk berkebun pada 1936. "Bukti suratnya ada," ujarnya. Karena punya bukti-bukti kepemilikan yang lebih kuat, Maringka melancarkan dua jurus sekaligus. Selain menggugat wali kota, ia melaporkan Yan ke Kepolisian Sektor Bitung Selatan dan Kepolisian Daerah Sulawesi Utara. Polisi bergerak cepat. Yan pun diperiksa dan akhirnya ditahan dengan tuduhan memalsukan akta tanah. Menurut Wakil Direktur Reserse dan Kriminal Polda Sulawesi Utara, Ajun Komisaris Besar Polisi Wilmar Marpaung, ia dijadikan tersangka karena tak dapat menunjukkan bukti-bukti kepemilikan tanah di Pulau Sarena. Langkah polisi itu membuat Sulengkampung kelabakan. Dia menilai kliennya belum bisa ditahan, karena sengketa Pulau Sarena masih disidangkan di Pengadilan Negeri Bitung. "Siapa pemiliknya, buktikan dulu di pengadilan," ujar Sulengkampung. Bukti register desa yang dipegang Maringka, kata sang Pengacara, belum cukup dijadikan bukti, apalagi dijadikan dasar untuk menjerat Yan. Sampai pekan lalu, Pengadilan Negeri Bitung memang belum memutuskan siapa yang berhak atas Pulau Sarena. Kesempatan ini dimanfaatkan Yan untuk mempraperadilankan Kepolisian Daerah Sulawesi Utara di Pengadilan Negeri Bitung. Alasannya, menurut penasihat hukumnya, tanah sengketa itu masih status quo. Karena itu, Yan harus dilepas. Dijeratnya Yan juga merupakan isyarat bakal kalahnya Wali Kota Milton Kansil dalam pengadilan nanti, kecuali pandangan hakim terhadap kasus ini berbeda dengan penyelidikan polisi. Bagaimana reaksi Milton? Tersandung dua kasus dalam sebulan membuat sang Wali Kota amat gerah. Dia menyatakan gugatan terhadap dirinya salah alamat. Yang membeli tanah itu istri dan keluarganya. Selain itu, menurut Milton, ketika keluarganya membeli tanah di Pulau Sarena, Yan menunjukkan bukti kepemilikan. Hanya, posisi sang Wali Kota kian sulit jika polisi bisa membuktikan adanya persekongkolan dengan Yan buat menguasai tanah di pulau itu. Wicaksono, Verrianto Madjowa (Manado)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus