ORANG-ORANG tua kita mungkin pernah bercerita: Di zaman sulit saat pendudukan Jepang dahulu, rakyat memakai minyak jarak atau minyak biji karet untuk bahan bakar lampu. Kini terbukti, biji karet malah bisa diolah menjadi minyak yang sekualitas dengan solar. Eksperimen menyulap biji karet (Havea braziliensis) menjadi "minyak solar" itu dilakukan oleh Dwiretnani Sudjoko, 44 tahun -- mahasisw, S-2 program studi Teknik Kimia, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta -- untuk tesis pascasarjananya. Laporan ilmiahnya muncul dalam buletin penelitian Fakultas Pascasarjana UGM, edisi bulan lalu. Dengan teknik pengolahan tradisional seperti di zaman Jepang itu, biji karet hanya menghasilkan jenis minyak kental lebih kental dari minyak solar. Sulit diumpankan ke mesin diesel. Sebab, dia tak mau berubah menjadi kabut kendati dipaksa lewat sprayer di mulut silinder mesin. Alhasil, kalaupun dipakai, pembakarannya tak berlangsung sempurna, hingga timbul kerak hitam yang mengotori silinder, yang tentu membahayakan piston. Untuk mengatasi itu, Dwi menerapkan teknik pirolisis, pemanasan dan pemakaian zat pemicu reaksi (katalisator). Ia menggunakan cawan silinder baja, berdiameter 13 cm dan tingginya juga 13 cm. Sembari dipanaskan sampai 300-350 derajat Celsius minyak biji karet itu dicampur dengan katalisator berupa soda api NaOH konsentrasi 18,98 gram molekul per liter. Perlakuan itu akan menyebabkan minyak tadi terpisah menjadi tiga fraksi: uap, minyak encer, dan air. Fraksi gas dibiarkan pergi, dan air dan minyak itu dipisahkan dengan putaran sentrifuse. Minyak berwarna hitam itulah yang memiliki sifat-sifat hampir sama dengan minyak solar. Titik didih minyak "sari biji karet" itu 152 derajat Celsius, dekat dengan minyak solar yang 150 derajat Celsius. Kekentalannya pun (pada suhu 37,8 derajat Celsius) 1,964 Cst, masuk dalam rentang minyak solar yang 1,6-5,8 Cst. Dan muatan panasnya pun setara, yakni 11,03 kal per gram, sedangkan solar 10,9 kal per gram. Dengan kedekatan sifat itu, "Minyak biji karet bisa dipakai untuk bahan bakar mesin diesel secara terbatas," ujar Prof. Dr. Ida Bagus Agra, 59 tahun, pembimbing Dwi dalam riset itu. Namun, minyak hasil proses pirolisis itu masih kalah dengan solar asli, yang diperoleh dari minyak bumi. Indeks cetan pada minyak "sari biji karet" itu misalnya, hanya 34. Padahal, untuk masuk kelas minyak solar harus dikatrol sampai 45. Di lain pihak, kadar asam totalnya 28%, kelewat besar dibandingkan dengan solar yang cuma sebesar 0,6%. Karena itu, minyak biji karet itu hanya cocok untuk mesin diesel dengan putaran rendah. "Yang kecepatan putaran motor sekitar 50 rpm," ujar Dwi, alumnus Teknik Kimia UGM, yang kini menjadi peneliti di Lab Badan Tenaga Atom Nasional (Batan) Yogya. Tapi, menurut Dwi, minyak biji karet masih bisa diperbaiki lewat proses alkoholisis -- dikenai alkohol sambil dipanaskan. Dalam proses ini, gugus karboksilat -- yang memberi sifat asam pada minyak itu dibongkar diubah menjadi gugus ester yang lebih netral. Kelanjutan riset ini tengah berlangsung di lab Teknik Kimia UGM. Untuk diangkat menjadi industri, menurut Drs. M. Tampubolon, asisten Direktur Pusat Penelitian Perkebunan Karet (P3K) Tanjungmorawa, Sumatera Utara, minyak biji karet masih belum waktunya. "Pemasokan bahan bakunya pasti sulit," ujarnya. Sebab, menurut Tampubolon, musim karet berbuah hanya 3-6 bulan setahun. Prof. Bagus Agra, yang memprakarsai penelitian itu, menyadari pula bahwa saat ini minyak biji karet tak sanggup bersaing dengan solar. Namun, untuk jangka panjang, di saat minyak bumi telah terkuras, minyak biji karet itu bisa jadi alternatif. Dan di saat itu, "Kita baru sadar bahwa penelitian semacam ini sangat penting," ujarnya. PTH dan R. Fadjri (Biro Yogya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini