ASAP putih menyembur, suara mesin menderu, lalu penjelajah antariksa Buran melesat terbang ke langit. Setelah mengitari bumi dua kali putaran, pada ketinggian sekitar 250 km, pesawat ruang angkasa berlogo CCCP itu berhasil pulang ke tanah kelahirannya, Uni Soviet, lewat sebuah pendaratan yang mulus. Perjalanan ulang-arik Selasa pekan lalu itu makan waktu 3 jam 25 menit. Keberhasilan Buran, yang berarti "Badai Salju", dalam penerbangan perdananya tentu saja disambut dengan derai tawa dan tepuk tangan riuh oleh masyarakat Uni Soviet, terlebih pakar-pakar antariksanya. "Kini kami bisa menyamai prestasi Amerika," ujar Yuri P. Semenov, salah seorang perancang Buran. Tapi sejumlah pakar wahana antariksa Amerika cemberut, bahkan berprasangka buruk atas keberhasilan Badai Salju itu. Pasalnya, penampilan Buran mirip betul dengan pesawat ulang-alik Amerika, sejak Columbia, Discovery, hingga Challenger yang meledak hampir tiga tahun silam. Kesimpulan mereka, pihak Rusia telah menjiplak, atau malah mencuri, teknologi akbar Amerika itu. "Kenyataan bahwa Soviet membuat pesawat yang desainnya mirip dengan punya kami, itu bukan suatu kebetulan," kata Nicholas L. Johnson, ahli pesawat ruang angkasa dari Teledyne Engineering Corp., perusahaan yang ikut membidani pesawat ulang-alik Amerika, yang bermarkas di Colorado. Memang tampak sejumlah persamaan yang fundamental antara pesawat Amerika dan Rusia itu. Bentuk hidung, badan pesawat, dan sayap delta keduanya, persis sekali. Sirip vertikal di ekor pesawat juga tak berbeda. Ukurannya pun nyaris sama. Tentu saja, para ahli Rusia tak mau dibilang menjiplak. Buran dan "saingan-saingannya" dari Amerika memang dibangun untuk misi sama: terbang ke angkasa luar dan kembali utuh ke bumi. Tentu saja keduanya menghadapi tuntutan-tuntutan serupa dalam soal rancang bangunnya, untuk memperoleh kondisi aerodinamik yang paling menguntungkan. Akibatnya, menurut suara Rusia, kemiripan bentuk tak terhindarkan. "Karena kami bersandar pada hukum-hukum aerodinamika yang sama," ujar Vladimir Karashtin, seorang ahli pesawat antariksa Rusia. Tapi kalau ditilik lebih jauh, tampak ada perbedaan mencolok antara wahana angkasa luar Rusia dan Amerika itu. Berbeda dengan pesawat Amerika, Buran tak memiliki roket yang cukup besar sebagai sumber tenaga dorong. Kebutuhan tenaga pada pesawat Badai Salju itu dicukupi dari roket pendorongnya yang perkasa, Energia. Pada pesawat ulang-alik Amerika, seperti Discovery, terdapat tiga buah mesin roket besar berbahan bakar hidrogen cair. Ketiga mesin roket itu berfungsi sebagai pendorong pesawat untuk mencapai orbit, manakala roket besar pengantarnya telah kehabisan tenaga. Sedangkan pada Buran, roket kecil itu hanya dipakai untuk bermanuver ringan untuk mencapai titik orbit yang paling tepat. Namun, "kelemahan" Buran itu tertutup oleh keperkasaan Energia, roket pendorong yang tingginya 60 meter itu. Energia, ketika hendak lepas landas, memiliki bobot 2.400 ton, 90% di antaranya melulu bahan bakar padat dan cair. Sementara itu, roket Discovery hanya 1.700 ton. Dengan modal sebesar itu, menurut pakar roket Soviet, Boris Gunabov, Energia bisa dipakai untuk rupa-rupa keperluan. Dia mampu membawa muatan 100 ton, dan menempatkannya pada orbit bumi. Bila jumlah beban hanya 32 ton dia sanggup membawa sampai permukaan bulan. Pada penerbangan perdana pekan lalu, Energia cuma diminta menggendong tubuh Buran yang 30 ton beratnya. Bila beban muatan dikurangi, Energia mampu melayani penerbangan antarplanet. Untuk beban 28 ton, misalnya "Roket ini mampu mengantarnya hingga planet Mars atau Venus, tutur Gunabov, ketua tim perancang Energia. Lantas dengan beban 18 ton, dia mampu membawa dan menempatkan muatannya pada titik orbit geostasioner bumi, pada ketinggian sekitar 36 ribu km. Jadi, dia bisa menempatkan belasan satelit sekelas Palapa cukup dengan sekali terbang. Energia memang canggih. Di dalamnya terdapat superkomputer yang siap menerima masukan dalam bentuk bermacam-macam variabel yang datang dari 2.000 buah sensor. Bentuk mengolahnya, para pakar komputer Rusia telah memasang program yang 100 kali lebih canggih dibanding program yang ada pada roket-roket pendorong sebelumnya. Kendati roket maupun pesawat ulang-aliknya telah dipersiapkan secara saksama -- dengan riset 10 tahun yang menelan dana sekitar Rp 17 trilyun -- pada penerbangan perdana itu Rusia tak menyertakan kosmonotnya. Ini memang tradisi Soviet yang dimulai sejak Sputnik hingga Soyuz. Keberhasllan penerbangan tanpa awak itu justru mengundang rasa kagum sejumlah ahli Amerik. "Saya angkat topi untuk keberhasilan Buran," kata Bill McInnis, ahli pesawat NASA. Penerbangan tanpa awak itu menunjukkan bahwa tingkat otomatisasi pada pesawat Badai Salju itu telah begitu canggihnya. NASA sendiri kabarnya belum sanggup membuat sistem otomatisasi yang begitu menyeluruh. Bagian yang paling sulit pada sistem tersebut adalah pengaturan pendaratan. Secanggih-canggihnya Discovery, atau "almarhum" Challenger, misalnya, pengendalian komputer masih tetap terbatas. Pada pendaratan, umpamanya, kontrol terakhir masih dilakukan astronaut. Karena itulah McInnis menyatakan rasa hormatnya. "Mereka memperhitungan yang lebih baik dalam membuat desain," ujarnya. Putut Tri Husodo, Tommy Tamtomo (Jakarta), dan Yusril Djalinus (Washington)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini