Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Membenahi atlas grinten

Peta bumi van der grinten meskipun indah namun tak layak untuk keperluan pelayaran/pengukuran wilayah. keliru dalam bentuk & arah. karya tersebut akan diganti. atlas arthur h. robinson lebih cocok dengan aslinya.

26 November 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MANA lebih luas, Benua Afrika atau Daratan Rusia? Kalau dilihat dari statistik perwilayahan, Afrika terang lebih luas. Benua hitam yang terbentang dari Selat Gibraltar hingga Tanjung Harapan itu meliputi daratan seluas 11,7 juta mil persegi. Jauh lebih luas dibanding Uni Soviet, yang "hanya" 8,65 juta mil persegi. Anehnya, kalau dilihat pada atlas bumi, Negeri Tirai Besi itu tergambar tampak lebih besar. Apa yang salah? Peta bumi yang kini banyak terpampang pada lembar atlas -- tak termasuk gambar bumi pada peta bola -- memang mengandung segudang cacat: keliru dalam bentuk atau salah ukuran. Tengoklah atlas buatan kartografer, ahli pemetaan, Van der Grinten, misalnya. Peta dunia ini dibikin oleh 68 tahun silam, tapi hingga kini masih disukai orang. Pasalnya, bentuk-bentuk pulau atau wilayah dalam peta itu sangat bagus, mirip aslinya, dan hampir semua tempat terpetakan sesuai dengan posisi garis bujur dan lintangnya. Tapi peta ini tak menjanjikan akurasi tinggi dalam hal ukuran. Tanah Rusia, dalam atlas Grinten itu, membengkak menjadi 223% dari aslinya Wilayah Amerika, pada peta yang sama, lebih gemuk 68%. Yang paling ngawur di situ adalah penggambaran kawasan Greenland, Tanah Hijau, di dekat Kutub Utara sana: 554% lebih besar dari ukuran yang sebenarnya. Peredaran peta-peta yang memberikan perspektif keliru itu rupanya menggelitik minat Arthur H. Robinson, seorang kartografer Amerika, untuk membuat atlas baru. Robinson mulai mengutak-atik gambar bumi sejak seperempat abad lalu, dengan tujuan meluruskan kekeliruan-kekeliruan yang ada pada atlas Van der Grinten yang berskala 1 : 2.500.000 itu. Kerja keras Robinson tak sia-sia. Atlas buatannya direkomendasikan oleh Perhimpunan Kartografik Internasional (ICA) untuk dicetak menggantikan peta Van der Grinten. Mengawali gerakan itu, National Geographic Society, yang mangkal di Amerika, Desember nanti akan mulai mengkampanyekan atlas Robinson dengan mencetak dan menyebarluaskannya lewat medianya yang kesohor, majalah National Geographic. Menggambar atlas bumi pada bidang datar tanpa menimbulkan cacat sungguh merupakan hal yang tak mungkin terjadi. Sejumlah kesalahan, bagaimanapun juga, pasti akan terjadi ketika kita memindahkan gambar dari permukaan bola ke bidang datar. Karena itu karya Robinson pun tak bebas dari kekeliruan, kendati tak separah peta Grinten. Wilayah Uni Soviet, pada peta Robinson, hanya mekar 18% dari ukuran semestinya. Greenland diciutkan hingga "tinggal" kegemukan 60%. Yang aneh, Amerika Serikat, dalam peta ini luasnya menciut 3% dari skala yang sebenarnya. Namun, ada kesamaan antara peta Grinten dan Robinson, mereka membuat pemetaan yang cukup akurat pada daerah sekitar ekuator. Peta Grinten disukai orang lantaran bentuknya yang manis. Kelemahan yang menonjol pada atlas itu, menurut Mas Sukotjo, Ketua Program Studi Kartografi Fakultas Geografi UGM, Yogyakarta, adalah dalam penunjukan arah dan luas. Tapi, "Dalam hal bentuk, peta Grinten benar," ujar master lulusan Institute for Areal Survey and Earth Sciences, Belanda, itu. Kelemahan pada segi ukuran dan arah itulah yang menjadikan peta Grinten tak direkomendsikan untuk keperluan praktis yang menuntut ketelitian untuk pelayaran, misalnya, atau pengukuran wilayah. Namun, bentuk atlas ini cocok bagi awam untuk mempelajari situasi suatu wilayah untuk mengenali lokasi kota-kota penting di dunia, umpamanya. Untuk keperluan praktis itu, tersedia peta-peta teknis yang tak populer buat orang kebanyakan. Dalam menyusun gambar kulit bumi, Grinten memang tak menggunakan metode-metode kartografi yang baku, seperti sistem proyeksi silinder, kerucut, atau proyeksi bidang datar. Kartografer Belanda ini hanya membuat lingkaran, dengan sebuah garis tengah yang menggambarkan ekuator. Garis itu, dari ujung ke ujung, mewakili panjang sabuk lingkaran bumi. Pada lingkaran bidang datar tersebut, Grinten juga membuat garis-garis bujur, yang tentu saja memotong ekuator. Lantas, di atas dan bawah ekuator, dibuat pula garis-garis lintang. Berdasar sistem koordinat itu, peta bumi diplotkan. Namun, seperti dikatakan oleh Lukman Azis, Ketua Jurusan Geodesi ITB, Grinten tak mau disibukkan oleh urusan skala. "Ketelitian perhitungan tak dipentingkan," ujar Lukman, yang kini menjadi anggota Komisi Atlas Nasional. Bahkan Grimen berkeras mematok asumsi bahwa bumi itu bulat. Dia tak ambil pusing dengan kenyataan bahwa bumi ini sedikit agak bulat panjang. Kelemahan dalam membuat garis lintang, bujur, dan bentuk bumi itulah yang menjadikan peta Grinten memuat sejumlah kejanggalan. Oleh Robinson, guru besar kartografi pada Universitas Wisconsin, di Madison, kejanggalan-kejanggalan itu diluruskan, kendati tak berhasil seluruhnya. Seperti halnya Grinten, Robinson, 73 tahun, juga menganggap bahwa "keindahan" paras bumi layak dinomorsatukan. "Saya memulai membuat peta itu dengan pendekatan artistik," tutur bekas ketua ICA 1972-1976 itu. Artinya, dia tak mau buru-buru mengorbankan lekuk-liku pulau, atau benua, untuk memenuhi tuntutan sistem koordinat, seperti posisi lintang atau busur. Mau tak mau, dia harus kompromi agar tak terjebak dalam kesalahan yang sama besar dengan Grinten. Komprominya, antara lain, dia memperhitungkan bahwa bola bumi ini sebetulnya agak elips. Maka, bentuk dasar peta juga berupa bulat panjang. Bagaimana dengan soal kelengkungan garis bujur dan lintang? Tak terhindarkan lagi Robinson harus menangani sebuah perkara matematik. Rupanya, perkara itu tak sederhana. Hampir seperempat abad Robinson harus mengutak-atik petanya. Dengan bantuan komputer, akhirnya jawara kartografi ini bisa membuat gambar final. Pada peta Robinson, daerah yang terletak antara 38 Lintang Selatan dan 38 Lintang Utara dijamin akurasinya, dalam bentuk, ukuran, dan koordinatnya. Karya Robinson ini, oleh John B. Garver Jr., Ketua Tim Kartografi ICA, dipandang sebagai terobosan yang sangat berharga. "Keseimbangan antara bentuk dan ukuran bisa membawa peta Robinson untuk pemakaian praktis yang lebih luas," ujarnya. PTH (Jakarta), Heddy Susanto (Bandung), dan Siti Nurbaiti (Yogya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus