Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Deteksi Kanker: Cukup Lima Menit!

Peneliti dari Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada menemukan alat pendeteksi dini kanker nasofaring. Murah, mudah, dan cepat.

5 April 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DEWI Paramita memegang secarik kertas mirip alat tes kehamilan. Ia juga melarutkan 5-10 cc darah dalam cairan bening di sebuah cawan kecil. Setelah itu, dicelupkannya kertas putih sepanjang 10 sentimeter itu ke dalam larutan. Sekitar lima menit kemudian, muncul garis berwarna kemerahan di atas kertas tersebut. ”Satu setrip berarti negatif, dua setrip positif,” kata Dewi, peneliti biologi molekuler dari Fakultas Kedokteran Universitas Ga­djah Mada.

Dewi bukan sedang melakukan tes uji kehamilan. Ia sedang memamerkan deteksi dini kanker nasofaring dengan nasopharyngeal carcinoma (NPC) test strip. Ini alat uji baru yang diumumkan ke publik pada 6 Maret di Fakultas Kedokteran UGM, Yogyakarta.

Nasofaring adalah salah satu kan­ker ganas yang banyak menyerang lelaki dewasa muda. Perbandingan penderita antara laki-laki dan perempuan adalah tiga banding satu. Tumor ganas ini antara lain dipicu oleh infeksi virus, keturunan, dan pola hidup yang tidak sehat, seperti merokok.

Nasofaring merupakan kanker ketiga yang paling banyak diderita oleh masyarakat setelah kanker serviks dan kanker payudara. Di Indonesia, 5-6 orang dari 100 ribu penduduk terkena kanker ini. Di Rumah Sakit Sardjito, Yogyakarta, sedikitnya ada 90-100 pasien baru per tahun.

Kanker yang menyerang daerah di belakang hidung dan esofagus itu sulit dideteksi sejak dini karena tak menunjukkan gejala yang khas pada stadium awal dan biasanya baru terdeteksi ketika sudah stadium akhir. Itu sebabnya, kebanyakan pasien memeriksakan kondisinya pada stadium akhir. Padahal pengobatan pada stadium ini sudah tidak efisien lagi. Tingkat kematian cukup tinggi pada stadium ini. Karena itulah tim peneliti Fakultas Kedokteran UGM berkepentingan mengembangkan alat diagnosis dini penyakit tersebut.

Menurut Ketua Tim Peneliti Profesor Sofia Mubarika Harjana, pada stadium awal, kanker ini hanya ditandai oleh pilek, pusing-pusing, mimisan, atau telinga berdenging yang sering dikira sakit biasa. Pada stadium loka lanjut, muncul benjolan di leher samping dan mata penderita mulai juling. Pada stadium ini, pengobatan harus dikombinasikan antara radiologi dan kemoterapi. Adapun pada stadium lanjut, kanker sudah menyebar ke organ yang lain. Sebanyak 85 persen pasien datang setelah mencapai stadium lanjut. ”Padahal, pada stadium lanjut, tingkat keberha­silan penyembuhannya hanya tinggal 20 persen,” katanya.

Sofia dan timnya mulai mengembangkan alat deteksi dini kanker tersebut pada 1997, yaitu ketika mereka tengah meneliti Epstein-Barr virus (EBV), virus penyebab kanker itu. Mereka bekerja sama dengan Queensland University Medical Research, Australia. Pada 2000, penelitian dilanjutkan bersama dengan Vrije Universiteit, Amsterdam, Belanda, dan Antoni van Leeuwenhoek Hospital. Penelitian itu terus berlanjut hingga saat ini dengan bantuan dari berbagai negara.

Penelitian dimulai dengan mencari protein dominan yang muncul dalam darah penderita NPC akibat terinfeksi EBV. Ditemukanlah dua protein do­minan, yaitu Epstein-Barr nuclear antigen (EBNA) 1 dan viral capsid antigen (VCA) -p18. Reaksi dua protein ini bisa dijadikan deteksi awal munculnya kanker nasofaring.

Mula-mula tim menggunakan metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) untuk mendeteksi kanker itu. Teknik ELISA yang dilakukan dengan prinsip pengujian reaksi di antara dua protein antigen itu dengan antibodi dipilih, yaitu immunoglobulin A (IgA). IgA adalah salah satu antibodi yang dihasilkan darah sebagai reaksi terhadap EBV.

Dengan metode ini, tingkat akurasinya sudah mencapai 80 persen. Metode ini juga lebih murah daripada alat yang tersedia di pasar. Pada saat itu, alat deteksi kanker yang ada masih meng­uji satu per satu dari dua protein dominan tersebut, biayanya mencapai Rp 500 ribu. Dengan metode ELISA, yang bisa digunakan untuk mengetes dua protein sekaligus, ongkosnya sekitar Rp 200 ribu.

Departemen Kesehatan menilai penggunaan metode ini masih terlalu mahal untuk digunakan secara massal. Tim diminta mengembangkan lebih lanjut agar lebih murah dan terjangkau masyarakat luas. Tim lalu bekerja sama dengan Laboratorium Hepatika, Mataram, Nusa Tenggara Barat. Laboratorium itu telah teruji dalam mengembangkan alat tes penyakit dengan menggunakan metode imunokromatografi. Beberapa prestasi mereka adalah menemukan alat untuk mendeteksi dini penyakit berbahaya, seperti demam berdarah, hepatitis, dan malaria.

Saat itu tim peneliti menemukan The Epstein-Barr virus (EBV) early antigen (EA), protein yang lebih kompleks. Reaksi EA dengan antibodi tingkat keakuratannya lebih tinggi untuk mendeteksi kanker nasofaring. Antibodi yang dipilih adalah immunoglobulin G (IgG) yang ternyata reaksinya lebih spesifik ketika bertemu dengan EA. ”Setelah dicoba dengan metode ELISA,­ lebih mudah dan akurasinya lebih tinggi,” ujar Dewi, yang sebentar lagi akan meraih gelar doktor.

Reaksi EA dan IgG itulah yang kemudian ditampilkan dalam wujud NPC test strip. Alat deteksi ini bisa diope­rasikan dengan mudah dan cepat, dan hasilnya akurat. Biayanya pun murah. Dikemas dalam kotak kedap udara, alat ini dilengkapi kertas penyaring yang sudah diisi dengan EA di dalamnya. Kemudian ada satu botol kecil pelarut untuk memisahkan sel darah merah dengan antibodi.

Untuk mendeteksi nasofaring, kertas penyaring itu cukup dicelupkan ke dalam serum darah yang berisi antibodi yang sudah terpisah dari sel darah merah. Antibodi yang ada dalam darah kemudian bereaksi dengan antigen yang ada di kertas penyaring. ”Antigen dan antibodi yang cocok akan berikatan,” kata Dewi. Reaksi antara antigen dan antibodi kemudian akan muncul dalam kertas penyaring tiga-lima menit kemudian. Hasilnya ditunjukkan dengan garis berwarna merah jambu.

Sofia mengatakan alat tersebut pernah dipakai mengetes 100 pasien NPC dan 60 orang sehat. ”Hasilnya, 100 persen terdiskriminasi antara yang sakit dan yang sehat,” kata Sofia.

Hingga sekarang alat ini masih terus dikembangkan bekerja sama dengan berbagai fakultas kedokteran dan rumah sakit di Indonesia. Targetnya, alat tersebut akan diujicobakan pada 1.000 orang secara gratis agar tingkat akurasinya teruji.

Sofia berharap alat tersebut bisa diproduksi massal dan terjangkau masyarakat luas. Ia memperkirakan biaya untuk satu kali penggunaan NPC test strip sekitar Rp 20 ribu. Biaya sebesar ini masih bisa ditekan hingga Rp 10 ribu. ”Nantinya, saya berharap masyarakat bisa membeli sendiri di apotek untuk tes mandiri,” kata Sofia, guru besar Fakultas Kedokteran UGM yang menyelesaikan doktor bidang biologi molekuler di Kobe University, Jepang.

Ia berencana memberi nama alat tersebut Gama NPC Strip Test. Sofia berharap pemerintah dan swasta terus berkontribusi untuk menjadikan alat itu bisa diproduksi secara massal.

Kepala Instalasi Kan­ker Terpadu Tulip Rumah Sakit Dr Sardjito, Yogyakarta, Johan Kurnianda, menyebut alat ini sebagai terobosan besar. ”Kami sangat berharap pada alat ini,” katanya. Dengan dideteksi secara dini, kata dia, kan­ker mematikan tersebut akan bisa segera diobati. Pihaknya pun kini bekerja sama dengan tim dari UGM untuk memvalidasi alat tersebut.

Gunanto E.S.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus