METODE kontrasepsi (KB) yang tersedia sekarang rupanya kurang
sesuai, terutama untuk negara berkembang. "Bahkan di Amerika
Serikat, di mana cara kontrasepsi efektif tersedia luas, masih
ada sepertiga dari jumlah kehamilan tidak dikehendaki," kata
Elizabeth B. Connell, Direktur bidang Ilmu Kesehatan dari
Rockefeller Foundation. Ada usaha kaum ilmiawan di negara-negara
maju untuk melanjutkan penelitian dalam mencari kontrasepsi
baru. Tapi seperti Dr. Connell melihatnya, dana yang disediakan
sektor pemerintah maupun swasta untuk itu, "sejak tahun 1973
tidak bertambah."
Perusahaan farmasi sedunia menarik diri, karena agaknya
insentif untuk mendukung program penelitian di bidang
kontrasepsi secara finansiil sangat tidak menarik. Risikonya
besar sekali. Misalnya perusahaan farmasi raksasa Upjohn di
Amerika Serikat sudah menempuh masa percobaan dan penelitian
lebih 20 tahun -- dengan biaya $20 juta -- untuk memproduksi
Depo Provera (depo medroxyprogestrone acetate). Jenis
kontraseptif itu dapat diinjeksi dan telah digunakan di 68
negara di dunia. Belum lama ini FDA (Food and Drug
Administration), lembaga resmi Amerika Serikat melarang
penjualannya di negeri itu.
Peranan UNFPA
Larangan itu merupakan pukulan besar bagi Upjohn. Sebagian besar
negara lain, termasuk Indonesia masih tetap mengizinkannya.
Kenapa Noegroho Iman Santosa dari Ditjen Pelayanan Medis KB,
Departemen Kesehatan, mengatakan Indonesia tidak selalu perlu
mengikuti keputusan FDA. "Namun keputusan itu harus menjadi
perhatian kita dan tidak boleh diabaikan."
Edward M. Southern, seorang pemimpin riset dari Upjohn
menjelaskan kisah Depo Provera membuat perusahaannya enggan
memikul biaya program penelitian dan pengembangan cara
kontrasepsi baru. Beban program penelitian itu sekarang ingin
dipikul terutama oleh organisasi yang tidak mencari untung
seperti Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Ford Foundation dan UN
FPA (United Nations Fund for Population Activities).
Ford Foundation sekarang misalnya memperkirakan biaya $24 juta
untuk suatu program pengembangan vaksine beta hCG --
kontraseptif injeksi untuk pria. Yayasan ini juga menaksir $17,5
juta untuk mengembangkan obat kontrasepsi yang ditanam di bawah
kulit dan yang larut kemudian. Tiap program itu memerlukan waktu
5 tahun. Usaha ini masih tergantung dari sumbangan dana
pemerintah dan badan swasta sedunia. Tapi sebagian negara Barat
-- mungkin karena angka kelahiran di negeri mereka sudah sangat
turun -- kurang terdorong untuk menyumbang.
Menyadari ini, sejumlah sarjana terkemuka di seluruh dunia telah
menandatangani sebuah rencana resolusi, yang akan diajukan ke
Konperensi tentang Ilmu dan Teknologi untuk Perkembangan PBB
(UNGSTD), yang direncanakan Agustus di ibukota Austria, Wina.
Resolusi itu pada pokoknya mendesak agar dana pengembangan di
bidang kontrasepsi supaya ditingkatkan sampai tiga kali dari
jumlah tersedia sekarang, menjelang tahun 1985. Dana
dianjurkannya supaya disalurkan melalui UNFPA. Ini diprakarsai
oleh Draper Fund, suatu dana sosial dari Population Crisis
Committee di Washington.
Indonesia, yang sedang menggalakkan program KB, akan tertolong
sekali jika dijumpai alat kontraseptif yang lebih sesuai untuk
negara berkembang. Umumnya masyarakat di negara berkembang sukar
menjumpai kehidupan pribadi seperti di negara Barat. Fasilitas
saniter mereka yang baik pun amat jarang. Ini sangat membatasi
penggunaan metode kontrasepsi seperti kondom, diafragma dan
tablet busa. Penggunaan pil pun terhalang di negara berkembang
karena ia menuntut ketekunan dan keteraturan, sesuatu sang erat
berhubungan dengan tingkat pendidikan dan pengetahuan seseorang.
Sedang untuk pemakaian IUD (alat dalam rahim) sekalipun
infrastruktur medisnya pun belum tersedia luas di negara
berkembang.
Suatu rapat kerja nasional pekan lalu di Jakarta menilai program
KB Indonesia sudah maju. Hal menggembirakan ini diakui juga
pekan lalu oleh perutusan UFPA. Namun seperti diucapkan Menteri
Kesehatan Suwardjono Suryaningrat yang merangkap Kepala BKKBN
dalam rakernas itu, angka kelahiran di Indonesia masih perlu
diturunkan lagi, dengan lebih cepat. Target semula -- penurunan
angka kelahiran 50% dari keadaan 1971 -- untuk tahun 2000 supaya
diajukan ke tahun 1990, katanya. Di sini letak kebutuhan
Indonesia akan teknologi kontrasepsi yang lebih sesuai.
Program penelitian secara kecil-kecilan di Indonesia sudah
berjalan juga, seperti terhadap penggunaan jamu dan tanaman lain
yang berkhasiat kontraseptif. Cara tradisional ini sudah menjadi
perhatian banyak ahli dari luar negeri. Tapi pengembangannya
masih jauh.
Persoalan ialah, seperti dinyatakan oleh Prof. M.F. Fathalla
dari Mesir, masih belum banyak riset dilakukan untuk menerapkan
teknologi kontraseptif pada negara berkembang. Jangan diharapkan
rakyat menyesuaikan diri pada teknologi, tapi sebaiknya dicari
teknologi yang cocok untuk rakyat, demikian Fathalla yang
dikutip The Draper Fund Report.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini