RODA berdesir, lampu dan tombol berderet di papan kontrol,
mesin-mesin raksasa melalui proses misterius mengolah berbagai
bahan baku menjadi barang guna --semua gambaran teknologi
modern itu belum terjangkau oleh lingkungan sederhana pedesaan.
Namun dari tahun ke tahun makin masuk ke desa produk maju
seperti traktor besar dan kecil, huller, mesin kupas dan pres
dan diesel generator, pembangkit tenaga listrik. Dapat
dibayangkan betapa tinggi harganya bagi masyarakat desa umumnya
di sini terasa pentingnya mengevaluasi kebutuhan dan kemampuan
desa itu sendiri.
Inilah yang diusahakan sekelompok sarjana dari berbagai
universitas di Indonesia. Mereka berkumpul dalam suatu program
latihan penerapan teknologi tepat guna di desa. Program ini
dipusatkan di beberapa desa kecamatan Pelabuhan Ratu, Ja-Bar,
dan diselenggarakan oleh Pusat Teknologi Pembangunan (PTP) ITB,
bersama Pemda Kabupaten Sukabumi mulai awal Juni.
Nenek Moyang
Teknologi yang diperkenalkan antara lain pompa bambu, pompa
pralon, pompa hidram, unit biomas, pemanas tenaga surya, alat
kupas kedele. Ir. Tjotjak Muljadi, salah seorang pembina latihan
itu, menjelaskan bahwa program latihan ditujukan bagi para
penyuluh dan petugas lapangan."
Problim utama di desa adalah pengairan ladang dan sawah. Seperti
halnya di kampung Bumiwangi, desa Cimangga, yang masuk program
latihan ini. Sumber air untuk 2.500 penduduk terdapat 200 meter
dari kampung. "Apalagi kalau musim kemarau, terpaksa air kami
ambil dari sungai kecil di bawah, 600 meter dari sini," cerita
Oin Sukanta, 35 tahun, Wakil Kepala Kampung kepada TEMPO.
Nenek moyang petani dalam hal ini tidak kalah akal. Bahkan
mengembangkan -- tanpa sarjana -- berbagai peralatan untuk
mengatasi kesulitan ini. Antara lain kincir air yang masih
dikenal di Sumatera Barat, walaupun sudah makin terdesak oleh
pompa bertenaga diesel dan huller.
Sejak tahun 50-an, pompa bambu populer di kalangan penduduk Jawa
Barat. Tcrsebar di banyak rumah penduduk setempat. Siapa
"penciptanya" tidak lagi diketahui.
Adalah kegiatan pak Yusuf dari Ciamis dalam membuat pompa bambu
ini mendapat perhatian dan bantuan dari PTP ITB. Sponsor ini
membuatnya terkenal sehingga namanya pula terlekat pada jenis
pompa ini. Bahkan ia berhasil menerima hadiah dari Menteri Emil
Salim atas produknya itu.
Usaha kelompok itu yang dipimpin Dr. Filio Harahap berlangsung
dengan semangat Peace Corps. Tapi rupanya ada sikap belum
yakin dalam menghadapi penduduk desa. Umpamanya, Dahmil SH dari
Universitas Syahkuala di Aceh mengatakan teknologi yang
diperkenalkan kelompok latihan sekarang belum bisa dibuat oleh
masyarakat desa sendiri. "Di desa sulit menemukan tenaga
trampil," keluhnya. "Rata-rata penduduk berpendidikan tingkat
SD, itupun banyak yang tidak tamat." Tapi iapun dengan besar
hati menilai: "Paling sedikit mereka (penduduk desa) dapat
menikmati manfaat dari usaha mahasiswa yang ber-KKN."
Apakah program latihan ini berhasii? Bagi peserta program itu
mungkin. Tetapi bagi yang diperuntukkan Dr. Filino Harahap,
Penanggung Jawab dan Koordinator Program Latihan itu, belum
berani mengklaim keberhasilannya. "Masih perlu dimonitor lebih
lama lagi," katanya. "Ini kan baru eksperimen dari konsep."
Agaknya Dr. Harahap sudah punya konsep. Ia menyarankan daerah
peternakan supaya mempergunakan unitbiomas, dan daerah pertanian
yang berbukit, sebaiknya mempergunakan pompa hidran sehingga air
bisa dinaikkan ke atas, sedang untuk daerah nelayan sebaiknya
perahu dibuat dari ferosemen.
ITB agaknya sudah menetapkan bahwa kini tepat waktunya untuk
mengembangkan perahu dari fero-semen, sekalipun belum ada
keterangan dari pihak nelayan bahwa memang demikian. Promotor
teknologi ini, ir. Harro Salim dari DTC ITB, menjelaskan bahwa
demi kelestarian lingkungan, sebaiknya jati jangan dipakai lagi
untuk pembuatan perahu. Jati hanya tahan sampai 6 tahun.
Sebaliknya fero-semen tahan sampai 50 tahun dengan perawatan
baik. "lni dibuktikan di Muangthai," katanya. Sasarannya bukan
perahu nelayan kecil, melainkan kapal trawler sebesar 20 ton.
Jenis ini bisa dibuat dengan harga Rp 2 juta, tanpa perlengkapan
dan mesin. Kelemahannya ada. "Bila terbalik, perahu fero-semen
tenggelam seperti batu," kata Salim.
Dr. Doddy Tisnaamidjaja, pejabat rektor ITB, yang sempat
meninjau program latihan itu meragukan apakah misalnya pompa
hidran bisa dibuat penduduk desa. "Tapi paling tidak merobah
cara berfikir masyarakat desa," katanya. Ia mengakui bahwa
tehnologi elementer sebenarnya sudah ada di desa, tetapi ini
perlu ditingkatkan, sesuai dengan kebutuhan masyarakat pemakai.
Hanya beberapa kilometer dari pusat latihan itu, berdiri sebuah
menara air beton dan sebuah diesel pembangkit listrik. Hadiah
itu dari sebuah Lembaga Bantuan di Negeri Belanda, NOVIB, kini
menjadi besi tua, tidak terpakai. Penduduk memerlukannya tapi
tidak bisa merawatnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini