Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Eksperimen di desa

Program latihan penerapan teknologi tepat guna di beberapa desa di pelabuhan ratu, ja-bar, yang diselenggarakan oleh pusat teknologi pembangunan itb bersama pemda sukabumi masih mengalami hambatan. (tek)

21 Juli 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RODA berdesir, lampu dan tombol berderet di papan kontrol, mesin-mesin raksasa melalui proses misterius mengolah berbagai bahan baku menjadi barang guna --semua gambaran teknologi modern itu belum terjangkau oleh lingkungan sederhana pedesaan. Namun dari tahun ke tahun makin masuk ke desa produk maju seperti traktor besar dan kecil, huller, mesin kupas dan pres dan diesel generator, pembangkit tenaga listrik. Dapat dibayangkan betapa tinggi harganya bagi masyarakat desa umumnya di sini terasa pentingnya mengevaluasi kebutuhan dan kemampuan desa itu sendiri. Inilah yang diusahakan sekelompok sarjana dari berbagai universitas di Indonesia. Mereka berkumpul dalam suatu program latihan penerapan teknologi tepat guna di desa. Program ini dipusatkan di beberapa desa kecamatan Pelabuhan Ratu, Ja-Bar, dan diselenggarakan oleh Pusat Teknologi Pembangunan (PTP) ITB, bersama Pemda Kabupaten Sukabumi mulai awal Juni. Nenek Moyang Teknologi yang diperkenalkan antara lain pompa bambu, pompa pralon, pompa hidram, unit biomas, pemanas tenaga surya, alat kupas kedele. Ir. Tjotjak Muljadi, salah seorang pembina latihan itu, menjelaskan bahwa program latihan ditujukan bagi para penyuluh dan petugas lapangan." Problim utama di desa adalah pengairan ladang dan sawah. Seperti halnya di kampung Bumiwangi, desa Cimangga, yang masuk program latihan ini. Sumber air untuk 2.500 penduduk terdapat 200 meter dari kampung. "Apalagi kalau musim kemarau, terpaksa air kami ambil dari sungai kecil di bawah, 600 meter dari sini," cerita Oin Sukanta, 35 tahun, Wakil Kepala Kampung kepada TEMPO. Nenek moyang petani dalam hal ini tidak kalah akal. Bahkan mengembangkan -- tanpa sarjana -- berbagai peralatan untuk mengatasi kesulitan ini. Antara lain kincir air yang masih dikenal di Sumatera Barat, walaupun sudah makin terdesak oleh pompa bertenaga diesel dan huller. Sejak tahun 50-an, pompa bambu populer di kalangan penduduk Jawa Barat. Tcrsebar di banyak rumah penduduk setempat. Siapa "penciptanya" tidak lagi diketahui. Adalah kegiatan pak Yusuf dari Ciamis dalam membuat pompa bambu ini mendapat perhatian dan bantuan dari PTP ITB. Sponsor ini membuatnya terkenal sehingga namanya pula terlekat pada jenis pompa ini. Bahkan ia berhasil menerima hadiah dari Menteri Emil Salim atas produknya itu. Usaha kelompok itu yang dipimpin Dr. Filio Harahap berlangsung dengan semangat Peace Corps. Tapi rupanya ada sikap belum yakin dalam menghadapi penduduk desa. Umpamanya, Dahmil SH dari Universitas Syahkuala di Aceh mengatakan teknologi yang diperkenalkan kelompok latihan sekarang belum bisa dibuat oleh masyarakat desa sendiri. "Di desa sulit menemukan tenaga trampil," keluhnya. "Rata-rata penduduk berpendidikan tingkat SD, itupun banyak yang tidak tamat." Tapi iapun dengan besar hati menilai: "Paling sedikit mereka (penduduk desa) dapat menikmati manfaat dari usaha mahasiswa yang ber-KKN." Apakah program latihan ini berhasii? Bagi peserta program itu mungkin. Tetapi bagi yang diperuntukkan Dr. Filino Harahap, Penanggung Jawab dan Koordinator Program Latihan itu, belum berani mengklaim keberhasilannya. "Masih perlu dimonitor lebih lama lagi," katanya. "Ini kan baru eksperimen dari konsep." Agaknya Dr. Harahap sudah punya konsep. Ia menyarankan daerah peternakan supaya mempergunakan unitbiomas, dan daerah pertanian yang berbukit, sebaiknya mempergunakan pompa hidran sehingga air bisa dinaikkan ke atas, sedang untuk daerah nelayan sebaiknya perahu dibuat dari ferosemen. ITB agaknya sudah menetapkan bahwa kini tepat waktunya untuk mengembangkan perahu dari fero-semen, sekalipun belum ada keterangan dari pihak nelayan bahwa memang demikian. Promotor teknologi ini, ir. Harro Salim dari DTC ITB, menjelaskan bahwa demi kelestarian lingkungan, sebaiknya jati jangan dipakai lagi untuk pembuatan perahu. Jati hanya tahan sampai 6 tahun. Sebaliknya fero-semen tahan sampai 50 tahun dengan perawatan baik. "lni dibuktikan di Muangthai," katanya. Sasarannya bukan perahu nelayan kecil, melainkan kapal trawler sebesar 20 ton. Jenis ini bisa dibuat dengan harga Rp 2 juta, tanpa perlengkapan dan mesin. Kelemahannya ada. "Bila terbalik, perahu fero-semen tenggelam seperti batu," kata Salim. Dr. Doddy Tisnaamidjaja, pejabat rektor ITB, yang sempat meninjau program latihan itu meragukan apakah misalnya pompa hidran bisa dibuat penduduk desa. "Tapi paling tidak merobah cara berfikir masyarakat desa," katanya. Ia mengakui bahwa tehnologi elementer sebenarnya sudah ada di desa, tetapi ini perlu ditingkatkan, sesuai dengan kebutuhan masyarakat pemakai. Hanya beberapa kilometer dari pusat latihan itu, berdiri sebuah menara air beton dan sebuah diesel pembangkit listrik. Hadiah itu dari sebuah Lembaga Bantuan di Negeri Belanda, NOVIB, kini menjadi besi tua, tidak terpakai. Penduduk memerlukannya tapi tidak bisa merawatnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus