KEDUANYA sama-sama digarap 3 produser. Keduanya sama-sama
berbiaya di atas 200 juta rupiah, berlokasi di Yogyakarta, dan
bertolak dari sejarah. Tapi film November 1828 sudah lama
selesai dan kini tengah beredar di Jakarta. Sedang film Janur
Kuning seperti mesin yang kehabisan minyak dan rontok
sekrup-sekrupnya.
Janur hendak mengungkapkan kembali Serangan Umum 1 Maret yang
dipimpin Letnan Kolonel Suharto. Baru selesai 60%, 12 Juli lalu
seluruh pemain dan awak kembali ke Jakarta. Mereka meninggalkan
hotel 'Maera Kaca' yang menjadi markas mereka selama berada di
Yogya sejak 9 April.
Film yang disutradarai Alam Surawijaya dengan pemain utama
Kaharudin Syah (Let.Kol. Suharto) dan Dedi Sutomo (Jend.
Sudirman) ini diproduksi bersama oleh Metro 77, PT Daya Karya
Mandiri dan Oceanic Grup. Biaya keseluruhan ditaksir 250 juta
rupiah.
Sudah 75 Juta
Kehendak memberi kesan adanya persiapan matang itu ternyata
boyak di tempat lain. Kericuhan mulai tampak ketika penyanyi
Moogi Darusman mengeluh soal kecilnya honorarium. Keluhannya
disiarkan koran Kedaulatan Rakyat Yogyakarta. Merasa dipelopori,
para karyawan lain pun ramai-ramai menuntut uang saku. Memang
uang ini seret. Semula pihak produser membantah kesan kekurangan
uang. Tapi akhirnya sesudah produksi macet, Alek Pakasi,
Pimpinan Produksi mengaku. "Ada kesulitan keuangan," katanya
pada TEMPO di Yogya.
Menurut Pakasi biaya makan dan penginapan untuk sekitar 60 orang
lebih per hari Rp 500 ribu. "Belum untuk lain-lain," katanya.
"Sampai pengambilan gambar 60%, pengeluaran di Yogya saja sudah
75 juta rupiah," lanjutnya.
Tapi tentunya bukan ongkos mahal yang jadi soal, melainkan
ketentuan siapa yang bertanggungjawab. "Menurut perjanjian,
Oceanic Grup yang harus menanggung biaya lebih dulu. Tapi sejak
Juni lalu perusahaan itu ingkar janji," tutur Kol. (Pur) CHR
Marsoedi dari PT Daya Karya Mandiri, jengkel. Karena itu, "untuk
mencegah terhamburnya uang secara tak karuan, semua pemain dan
kru ditarik ke Jakarta. Untuk konsolidasi," tambahnya.
"Itu tidak betul," bantah Edwin, dari Oceanic Grup. "Kami akan
terus melaksanakan pembuatan film itu sampai selesai. Kalau ada
kesulitan teknis di lapangan, itu 'kan biasa. Soalnya
persiapannya meman buru-buru dan pelaksanaannya tergesa,"
katanya.
Tapi toh bintang film Dedi Sutomo pun bilang, "terhentinya film
ini memang karena soal biaya." Di Yogya, gadis yang biasa
mengurusi makan para kru, juga mengeluh. Akibat seretnya uang,
"beberapa minggu belakangan ini saya sering nombok pakai uang
pribadi," katanya.
Produser yang lain, Metro 77 -- sebuah usaha yang dikelola oleh
Letkol (Polisi) Abas W. Kusumah, dan sudah membuat beberapa film
cerita kepolisian -- juga memperkuat keluhan itu. Dana yang
diberikan Oceanic Grup, menurut Abas W. Kusumah, baru cuma Rp 9
juta lebih sedikit, "dan itu berupa bahan baku film kurang-lebih
200 can." Biaya produksi selebihnya selama ini menurut Abas
datang dari pinjaman pihak lain. "Jadi Oceanic sebenarnya boleh
dikatakan tak punya uang, menurut saya," kata Abas.
Dan inilah pengalaman pertama yang pahit bagi Alam Surawijaya.
"Kita shooting sekali, lalu mengaso, menunggu uang dari Jakarta,
lalu shoottng lagi, lalu ngaso lagi . . . ," kata sang
sutradara. Saking seringnya menganggur, Alam yang bergaya amat
santai ini lantas mengasyikkan diri dengan burung gemak dan
cicakrowo.
Granat di Kepala
Para pendukung film itu juga sudah pada meninggalkan lokasi.
Untuk meneruskan pembuatannya akan mengalami problim baru
bilaharus menarik mereka kembali. "Gua yakin, 80% nggak bakal
mau kerja lagi kecuali dengan kontrak baru," kata seorang
karyawan bagian kesejahteraan. "Kru 'kan nggak mau dimainkan,"
tambahnya, seraya menyebut bahwa kontrak lama sudah lewat
waktunya.
Dalam keadaan produksi film lesu, mungkin para awak produksi
tidak akan terlalu kuat bertahan ngambek. Tapi berbagai
ketegangan memang pernah memuncak selama ini. Pernah misalnya,
Koordinator Kesejahteraan Kru mau meledakkan granat di kepala
seorang staf produser gara-gara duit seret.
"Tapi bagaimana pun film ini harus selesai," kata sutradara Alam
-- tanpa menyebut tindakan apa yang harus dilakukan, misalnya
untuk mencairkan uang yang dibutuhkan itu. Oceanic Grup sendiri
nampak mengalami kerepotan. Pihak Metro 77 bermaksud tak akan
mengajaknya lagi dalam produksi. Abas W. Kusumah akan
mengembalikan uang mereka yang cuma Rp 9 juta, "dan lebih dari
itu saya hanya angkat topi atas kenekadan, keberanian mereka,"
kata Abas. "Semula saya percaya, kan mereka muda-muda. Sekarang
tidak lagi."
Alam Surawijaya, sebaliknya diam-diam punya harapan lain,
sebagaimana diucapkannya kemudian. "Andaikata keluarga Pak Harto
mau membantu, tentu tidak akan jadi begini. Segalanya pasti
lancar . . . " katanya. Tapi mungkin saja keluarga Pak Harto
segan -- sebab nanti diduga mau mempropagandakan diri. Dan kalau
filmnya ternyata kurang bagus hasilnya, lebih berabe.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini