Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Lampu kuning untuk janur kuning

Pembuatan film "janur kuning" baru selesai 60% yang mengisahkan letkol suharto (presiden) mengalami hambatan karena kurang biaya. ada niat minta bantuan keluarga pak harto. (fl)

21 Juli 1979 | 00.00 WIB

Lampu kuning untuk janur kuning
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
KEDUANYA sama-sama digarap 3 produser. Keduanya sama-sama berbiaya di atas 200 juta rupiah, berlokasi di Yogyakarta, dan bertolak dari sejarah. Tapi film November 1828 sudah lama selesai dan kini tengah beredar di Jakarta. Sedang film Janur Kuning seperti mesin yang kehabisan minyak dan rontok sekrup-sekrupnya. Janur hendak mengungkapkan kembali Serangan Umum 1 Maret yang dipimpin Letnan Kolonel Suharto. Baru selesai 60%, 12 Juli lalu seluruh pemain dan awak kembali ke Jakarta. Mereka meninggalkan hotel 'Maera Kaca' yang menjadi markas mereka selama berada di Yogya sejak 9 April. Film yang disutradarai Alam Surawijaya dengan pemain utama Kaharudin Syah (Let.Kol. Suharto) dan Dedi Sutomo (Jend. Sudirman) ini diproduksi bersama oleh Metro 77, PT Daya Karya Mandiri dan Oceanic Grup. Biaya keseluruhan ditaksir 250 juta rupiah. Sudah 75 Juta Kehendak memberi kesan adanya persiapan matang itu ternyata boyak di tempat lain. Kericuhan mulai tampak ketika penyanyi Moogi Darusman mengeluh soal kecilnya honorarium. Keluhannya disiarkan koran Kedaulatan Rakyat Yogyakarta. Merasa dipelopori, para karyawan lain pun ramai-ramai menuntut uang saku. Memang uang ini seret. Semula pihak produser membantah kesan kekurangan uang. Tapi akhirnya sesudah produksi macet, Alek Pakasi, Pimpinan Produksi mengaku. "Ada kesulitan keuangan," katanya pada TEMPO di Yogya. Menurut Pakasi biaya makan dan penginapan untuk sekitar 60 orang lebih per hari Rp 500 ribu. "Belum untuk lain-lain," katanya. "Sampai pengambilan gambar 60%, pengeluaran di Yogya saja sudah 75 juta rupiah," lanjutnya. Tapi tentunya bukan ongkos mahal yang jadi soal, melainkan ketentuan siapa yang bertanggungjawab. "Menurut perjanjian, Oceanic Grup yang harus menanggung biaya lebih dulu. Tapi sejak Juni lalu perusahaan itu ingkar janji," tutur Kol. (Pur) CHR Marsoedi dari PT Daya Karya Mandiri, jengkel. Karena itu, "untuk mencegah terhamburnya uang secara tak karuan, semua pemain dan kru ditarik ke Jakarta. Untuk konsolidasi," tambahnya. "Itu tidak betul," bantah Edwin, dari Oceanic Grup. "Kami akan terus melaksanakan pembuatan film itu sampai selesai. Kalau ada kesulitan teknis di lapangan, itu 'kan biasa. Soalnya persiapannya meman buru-buru dan pelaksanaannya tergesa," katanya. Tapi toh bintang film Dedi Sutomo pun bilang, "terhentinya film ini memang karena soal biaya." Di Yogya, gadis yang biasa mengurusi makan para kru, juga mengeluh. Akibat seretnya uang, "beberapa minggu belakangan ini saya sering nombok pakai uang pribadi," katanya. Produser yang lain, Metro 77 -- sebuah usaha yang dikelola oleh Letkol (Polisi) Abas W. Kusumah, dan sudah membuat beberapa film cerita kepolisian -- juga memperkuat keluhan itu. Dana yang diberikan Oceanic Grup, menurut Abas W. Kusumah, baru cuma Rp 9 juta lebih sedikit, "dan itu berupa bahan baku film kurang-lebih 200 can." Biaya produksi selebihnya selama ini menurut Abas datang dari pinjaman pihak lain. "Jadi Oceanic sebenarnya boleh dikatakan tak punya uang, menurut saya," kata Abas. Dan inilah pengalaman pertama yang pahit bagi Alam Surawijaya. "Kita shooting sekali, lalu mengaso, menunggu uang dari Jakarta, lalu shoottng lagi, lalu ngaso lagi . . . ," kata sang sutradara. Saking seringnya menganggur, Alam yang bergaya amat santai ini lantas mengasyikkan diri dengan burung gemak dan cicakrowo. Granat di Kepala Para pendukung film itu juga sudah pada meninggalkan lokasi. Untuk meneruskan pembuatannya akan mengalami problim baru bilaharus menarik mereka kembali. "Gua yakin, 80% nggak bakal mau kerja lagi kecuali dengan kontrak baru," kata seorang karyawan bagian kesejahteraan. "Kru 'kan nggak mau dimainkan," tambahnya, seraya menyebut bahwa kontrak lama sudah lewat waktunya. Dalam keadaan produksi film lesu, mungkin para awak produksi tidak akan terlalu kuat bertahan ngambek. Tapi berbagai ketegangan memang pernah memuncak selama ini. Pernah misalnya, Koordinator Kesejahteraan Kru mau meledakkan granat di kepala seorang staf produser gara-gara duit seret. "Tapi bagaimana pun film ini harus selesai," kata sutradara Alam -- tanpa menyebut tindakan apa yang harus dilakukan, misalnya untuk mencairkan uang yang dibutuhkan itu. Oceanic Grup sendiri nampak mengalami kerepotan. Pihak Metro 77 bermaksud tak akan mengajaknya lagi dalam produksi. Abas W. Kusumah akan mengembalikan uang mereka yang cuma Rp 9 juta, "dan lebih dari itu saya hanya angkat topi atas kenekadan, keberanian mereka," kata Abas. "Semula saya percaya, kan mereka muda-muda. Sekarang tidak lagi." Alam Surawijaya, sebaliknya diam-diam punya harapan lain, sebagaimana diucapkannya kemudian. "Andaikata keluarga Pak Harto mau membantu, tentu tidak akan jadi begini. Segalanya pasti lancar . . . " katanya. Tapi mungkin saja keluarga Pak Harto segan -- sebab nanti diduga mau mempropagandakan diri. Dan kalau filmnya ternyata kurang bagus hasilnya, lebih berabe.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus