SUASANA di ruang kerja Gubernur Jawa Barat hari itu awal bulan
lalu hening. Sejumlah hadirin menanti perkembangan. Dengan
tenang H.A. Kunaefi menekan beberapa tombol pada pesawat telepon
di mejanya. Seketika tampak menyala sebuah lampu kontrol pada
pesawat mirip alat fotokopi, tanda terjadi hubungan dengan
Kantor Presiden di Bina Graha, Jakarta.
Gubernur Kunaefi kemudian memberitahukan Bina Graha bahwa
pengiriman dokumen segera dilaksanakan. Telepon ditutup kembali
dan gubernur meletakkan seberkas dokumen berisikan data
pembangunan dan pertanian di Jawa Barat ke atas pesawat itu.
Secara otomatis lembar demi lembar tampak masuk ke dalam dan tak
sampai 4 menit berlalu kopi dokumen itu dapat dibaca Presiden
Soeharto di Bina Graha.
Pesawat itu sebuah telecopier, pesawat fotokopi jarak jauh yang
mempergunakan saluran telepon. "Telecopier ini merupakan
penyempurnaan dari telegraf dan teleks," ujar Moesjafrie
Effendy, Humas Perumtel. Kalau teleks hanya bisa menyalin huruf,
telecopier bisa mengirimkan gambar, bahkan tanda tangan persis
aslinya," lanjut Moesjafrie. Tapi kalau telegraf bisa
dipergunakan umum, releks dan telecopier hanya bisa digunakan
mereka yang punya pesawat itu. Tapi menurut rencana Perumtel,
dalam Pelita III ini, kantor telepon dikota-kota besar akan
dilengkapi alat telecopier, hingga bisa melayani kebutuhan umum
juga.
Alat itu sudah memasuki pasaran Indonesia sejak 1974. Tapi baru
mulai populer akhir 1979. Agaknya pesanan baru mulai berarti
setelah Perumtel akhir bulan lalu membuka kesempatan kepada
langganan untuk penyambungan pesawat itu.
Membaca Garis
Prosedurnya tak begitu sulit. Setelah permohonan untuk sambungan
alat itu diterima dari calon pelanggan, Perumtel akan menguji
pesawat yang sudah dibeli. "Kalau memenuhi persyaratan, Perumtel
mengeluarkan sertifikat kelayakan," ujar Moesjafrie. Pengujian
alat itu dilakukan di Pusdiklitbang Perumtel, Bandung, paling
lama satu minggu. Biaya penyambungan cuma Rp 50.000, tentu saja
kalau pelanggan itu sudah punya sambungan telepon. Biaya
operasinya dihitung seperti pemakaian pesawat telepon,
berdasarkan jumlah pemakaian pulsa, suatu fungsi dari jarak dan
waktu. Berbeda dengan mesin fotokopi biasa, telecopier tak
memakai silinder pemantul cahaya (drum) ataupun tinta.
Persamaannya karena kedua jenis mesin itu sama menggunakan
cahaya untuk menimbulkan citra.
Pada telecopier seberkas sinar "membaca" garis demi garis
dokumen yang hendak dikirim dan pelan bergerak ke dalam mesin.
Sejumlah cermin memantulkan sinar itu--yang intensitasnya
berbeda sesuai hitam variasi putih di dokumen asli--ke dalam
sebuah lensa. Lensa itu memfokuskan pantulan sinar ini pada
sederet sel cahaya Photo diode array, yang mengubah cahaya sinar
itu menjadi sederet tegangan listrik.
Besarnya setiap unsur deretan tegangan listrik itu bervariasi
sesuai variasi intensitas cahaya. Arus tegangan bervariasi itu
kemudian "ditumpangkan" (modulasi) pada gelombang pembawa dan
dikirim melalui saluran telepon, melalui satelit komunikasi
Palapa, sampai ke pesawat penerima yang mungkin ratusan
kilometer jaraknya.
Di pesawat penerima itu isyarat listrik yang bervariasi itu
dipisahkan kembali (demodulasi) dari gelombang pembawa dan
dikirim ke thermal head: sebuah kotak kecil berisikan sederetan
elemen panas yang tersusun dan seukuran dengan deretan sel
cahaya pada pesawat pengirim Elemen ini bisa mengubah tegangan
listrik menjadi panas, bervariasi suhunya sesual variasi
tegangan listrik yang masuk.
Sementara sinyal dari demodulator diumpankan ke thermal head,
kertas khusus (thennal paper) bergerak melewatinya Kertas ini
bila dipanasi berubah menjadi hitam. Bila sebagian yang
dipanasi, sebagian pula yang menjadi hitam, tak ubahnya seperti
kertas foto bila kena sinar. Variasi ini yang akhirnya membentuk
kopi dokumen asli yang dikirim. Agar efisien dan menghemat
pemakaian pulsa, thermal paper dipergunakan dalam bentuk rol
sepanjang 100 m hingga proses mengkopi itu tidak terputus.
Sekalipun pabriknya berbeda, telecopier bisa saling berhubungam
"Semua jenis telah diuji CCITT," ujar Ir. Sudarma Wanasuria,
ahli teknik dari Xerox, salah satu perusahaan yang memasarkan
telecopier itu. Oleh CCITl (Consultative Committee for
Interntional Telephone and Telegraph), badan internasional yang
mengendalikan tata tertib penggunaan berbagai alat
telekomunikasi, telecopier itu dibagi tiga kelompok.
Pengelompokan itu berdasarkan waktu transmisi yang dibutuhkan
setiap pesawat itu.
Belum Banyak
Kini yang dipasarkan di lndonesia termasuk pesawat kelompok 2
yang membutuhkan waktu dua sampai tiga menit untuk transmisi.
Sementara kelompok 3 membutuhkan waktu transmisi hanya satu
menit, juga sudah mulai dipromosikan perusahaan lain. Ricoh
misalnya mengklaim produknya hanya membutuhkan waktu transmisi
20 detik! Produksi Xerox dalam kelompok ini belum masuk di
Indonesia. Sementara produksi tahun 1974, yang termasuk kelompok
1, tidak lagi dipasarkan. Selembar folio pada pesawat kelompok
ini membutuhkan sampai enam menit untuk transmisi. Dari segi
pemakaian pulsa ini tentu sangat boros.
Untuk menghemat pulsa ini produksi Xerox punya keistimewaan lain
juga. Pesawatnya, yang konon mencapai harga US$ 4,8 juta itu,
bisa meniadakan spasi pada saat pengiriman. Ini tentu menghemat
lagi waktu dan pulsa tanpa mengganggu kecermatan kopi. Soalnya
secara otomatis spasi itu dipulihkan lagi dalam pesawat penerima
hingga tetap mirip aslinya.
Meski cepat, hemat dan praktis, permintaan pemasangan agaknya
belum banyak. "Telecopier baru dikenal sejak awal 1980 di
Bandung," ujar Handian Suhardi, Manajer cabang Xerox di Bandung.
Dan telecopier itu tak bisa bertepuk sebelah tangan. Seperti
halnya pesawat teleks, "pihak sana" juga harus punya alat
serupa. Tapi sementara-- dengan menekan salah satu
tombol--telecopier juga bisa digunakan sebagai mesin fotokopi
biasa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini