MASA silam di Indonesia nampaknya cuma diingat-ingat, tapi tak
disimpan. Awal Oktober, misalnya, ternyata sebuah dokumen
penting--film mengenai penggalian jenazah para Pahlawan Revolusi
di Lubang Buaya--dikabarkan hilang. TVRI sendiri, yang
memfilmkan peristiwa tersebut ketika itu, juga kaget.
Untung saja sebuah sumber masih menyimpan copy film itu. Atas
jasa sumber inilah, peristiwa bersejarah tadi bisa ditonton
dalam acara Gema Pancasila di TVRI di bulan Oktober itu pula.
Pada kesempatan ltu, diputarkan pula film dokumenter operasi
pasukan baret merah RPKAD di Jawa Tengah dan Bali di tahun 1968,
ketika pasukan yang kini bernama Kopasandha itu membersihkan
orang-orang PKI. Film itu dibuat wartawan TVRI Hendro Subroto.
Di luar dugaan, pemutaran film tadi mendapat pujian. Sejumlah
kalangan kemudian meminta agar film itu diputar kembali untuk
mengingatkan generasi muda akan peristiwa itu.
Sadar akan pentingnya film dokumenter semacam itu, TVRI berusaha
mengumpulkan kembali film-film yang memuat peristiwa bersejarah.
Dari berbagai sumber, antara lain pemerinuh . Belanda, TVRI
berhasil memperoleh film mengenai pendaratan tentara sekutu di
Surabaya. Juga film mengenai mobilisasi pemuda Indonesia jadi
Heiho dan Peta, peristiwa Lapangan Ikada, Jakarta, serta
kedatangan PM Jepang Tojo ke awa sekitar Juni 1942 yang dibuat
Nippon Eigasja Java.
TVRI juga memperoleh film peristiwa Aksi Polisionil II Belanda
1949. Di situ tampak Panglima Besar Jenderal Sudirman yang
diundu memimpin perlawanan dengan gigih di pedalaman. "Sayang
jika visualisasi heroisme seperti itu tidak diketahui generasi
muda," kata Willy Karamoy, Kepala Seksi Dokumentasi, Pusat
Pemberitaan TVRI.
TVRI kini menyediakan dana Rp 50 juta buat tahun anggaran
1981/82. Dengan uang itulah, film dokumenter hitam-putih
--biasanya 16 mm--dibeli, dan selanjutnya ditransfer ke pita
video U-matic. Koleksinya kini berjumlah sekitar 49.000
peristiwa yang bisa dipelajari dan ditransfer para peminat.
Dalam usaha mencari film-film bersejarah tadi, Willy juga
membongkar dokumentasi TVRI. Di sinilah dia kemudian mengetahui
ada sejumlah film penting yang hilang. Film mengenai pengumuman
Repelita I yang disampaikan Presiden Soeharto di Istana Bogor
1969, misalnya, tak diketahui tercecer di mana. Juga film
operasi Dwikora (1964) di perbatasan Kalimantan Barat, yang
dibuat Hendro Subroto, hilang pula.
Kenapa hal itu terjadi? Baik Willy maupun Hendro mengungkapkan
bahwa di masa lalu pendokumentasian film kurang diperhatikan.
"Film-film diletakkan begitu saja sesudah disiarkan," kata
Hendro. Dan.karena tidak dibubuhi catatan lengkap, maka sekitar
4.000 rekaman peristiwa di atas film hitam-putih 16 mm dan 8 mm
kini sulit dikenali. Untung saja film Ulang Tahun PKI Mei 1965
di Istora Senayan bisa diselamatkan. Dengan rekaman gambar
inilah, aparat keamanan, antara lain, melacak sejumlah tokoh
PKI.
Terlambat
Karena sistem penyimpanan yang tidak baik juga, maka ratusan
film dokumenter milik Pusat Produksi Film Negara (PPFN) hancur
dan sulit dikenali. Untuk menyelamatkan yang tersisa, Agustus
lalu PPFN menyerahkan 6.880 reel film ke Arsip Nasional. Di
tempat baru itu "peralatannya lebih lengkap," kata Drs. G.
Dwipayana, Direktur PPFN. Sementara itu, PPFN kini berusaha
mengenali kembali sekitar 9.000 reel film yang dibuat pada
periode 1945-50.
Di gudang PPFN di Jl. Oto Iskandardinata, Jakarta, kini masih
tersimpan film mengenai operasi penangkapan atas gembong DI/TII
Kartosuwiryo, penumpasan pemberontakan PRRI di Sumatera Barat
dan pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Beberapa di
antaranya kemudian ditransfer TVRI ke pita video U-matic.
Sayang, kesadaran mendokumentasi film-film bersejarah itu datang
terlambat. Padahal sesungguhnya, banyak karya gemilang
ditelurkan sejumlah juru kamera dan wartawan Indonesia. Hendro
Subroto, misalnya, adalah satu-satunya wartawan yang berhasil
mengabadikan penglepasan 200 pilot AS, tawanan perang Vietcong,
di Loc Nint di uhun 1973. Karena hal itu merupakan peristiwa
yang pertama kalinya, sejumlah stasiun televisi AS berusaha
membeli rekaman tersebut--berapa pun harganya. Untuk satu still
photo yang dibuat Hendro, mereka, kata Hendro, berani menawar
US$1.000. Tapi Hendro, atas insttruksi TVRI Jakarta, menolak
semua penawaran tersebut. "Kalau saya mau, saya bisa kaya,"
katanya.
Tapi tentu saja, bukan cuma Hendro yang bisa menghasilkan film
gemilang yang patut didokumentasi. Persoalannya tinggal: jika
film itu telah ditelurkan, akankah selamat dan berumur panjang?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini