SUASANA malam itu sunyi senyap. Apalagi di rumah Umar Thajib.
Semenjak sore Umar pergi menjaga air di sawahnya. Istri beserta
dua anaknya di rumah. Tiba-tiba dua orang penduduk kampung,
Kasian dan Buadi, melihat seseorang masuk ke rumah Umar.
Tidak salah lagi orangitu tetangga mereka juga, Sairi, 40
tahun. Kecurigaan segera saja muncul di benak kedua orang itu.
Beberapa orang penduduk dibangunkan. Bersama Hansip dan Kamituwo
Mustadjab, mereka mengepung rumah Umar. Salah seorang dari
mereka, adik Umar, masuk ke rumah.
Mengendap-endap adik Umar menuju rumah kakaknya. Tiba-tiba pintu
terbuka. Sairi keluar dari rumah dan langsung menyerahkan diri
kepada Mustadjab. "Saya mengaku salah dan bersedia menerima
hukuman apa saja dari kampung," ujar Sairi.
Kejadian yang menggemparkan Dukuh Wonokerto, Desa Minduredjo,
Jawa Timur pertengahan Oktober lalu itu segera diperiksa di
rumah Mustadjab. Baik Sairi maupun istri Umar, Ponasih, 37
tahun, tidak mengaku melakukan perzinaan malam itu. "Keduanya
hanya mengaku duduk-duduk di ruang depan dan tidak masuk ke
kamar," kata Kamituwo Mustadjab kepada TEMPO. Alasan Sairi
mendatangi rumah Ponasih tengah malam, katanya, karena "tergoda
setan".
Malam itu Sairi ditahan di rumah Carik Desa, Mudjaijin,
sementara Ponasih di rumah Mustadjab. Besoknya, di hadapan
Kepala Desa, H. Sardjoprajitno, kedua orang itu dipertemukan
dengan Umar. Kepala Desa menawarkan kepada Umar jalan damai.
Umar sendiri waktu itu bingung -- sehingga tawaran lurah itu
diterimanya.
Mirip dengan kasus Sarkowi yang dihukum membuat lapangan bola
di Desa Babakan, Majalengka, Jawa Barat (TEMPO, 10 Oktober)
Sairi dan Ponasih disidangkan di balai desa. Kedua tertuduh itu
oleh sidang desa dihukum masing-masing mengumpulkan 10 kubik
batu untuk pembangunan desa. Keputusan itu sesuai dengan rembuk
desa 1978. Barangsiapa yang melakukan hubungan kelamin dengan
bukan istri atau suaminya harus didenda masing-masing 10 kubik
batu kali.
Sairi menerima hukuman itu -- tapi ia tak usah memikul batu itu
dengan pundaknya senduri. Ia mengeluarkan biaya Rp 40 ribu untuk
membeli 20 kubik batu kali bagi dirinya sendiri dan Ponasih.
Setelah itu Umar kembali berkumpul dengan istri dan
anaknya-Ponasih sempat dipulangkan ke rumah orang tuanya selama
empat hari.
Persoalan semula dianggap selesai. Tetapi, entah bagaimana
caranya, Umar berhasil mengorek pengakuan istrinya bahwa Sairi
pernah menggaulinya sekali. Malam itu, cerita Ponasih, rumahnya
diketuk orang. Ponasih mengira suaminya pulang dari sawah. Tanpa
curiga ia membuka pintu dan melihat ada lampu teplok
remang-remang dibawa orang yang mengetuk pintu itu.
Tanpa curiga Ponasih langsung ke kamar mandi untuk buang air
kecil. Setelah itu ia langsung saja ke kamar dan tidur. Di
kegelapan malam itu, cerita Ponasih lagi, orang yang dikira
suaminya mengajaknya bersanggama. Ponasih melayaninya sekali.
Ponasih baru sadar bahwa orang yang menggaulinya bukan Umar,
katanya, setelah Sairi keluar rumah dan terdengar ramai-ramai di
luar. " Hubungan itu berlangsung sebentar saja," ujar Ponasih.
Cerita itu menggusarkan Umar. Ia merasa rumah tangganya sudah
ternoda oleh Sairi. "Kalau hubungan itu suka sama suka, saya
akan ceraikan istri saya, tapi kalau perkosaan akan saya
maafkan," kata Umar. Untuk menjernihkan urusan itu, Umar
mengirim pengaduan ke Kejaksaan Negeri Mojokerto.
Namun kejaksaan mengalami kesulitan, karena Sairi membantah.
Apalagi tidak ada saksi yang melihat maupun bukti-bukti lain.
"Sairi hanya mengaku duduk-duduk di rumah itu," ujar Fuad
Thalib, Kepala Kejaksaan Negeri Mojokerto.
Sairi sampai saat ini memang tidak mengaku berzina. Malam itu,
kata Sairi, ia merasa sukar tidur. Sebab itu ia mendatangi rumah
Umar, temannya sesama anggota Hansip, untuk sekedar mengobrol.
Setelah ia dipersilakan duduk, Ponasih baru memberitahu bahwa
Umar ke sawah. Setelah mengobrol sebentar, katanya, ia langsung
pulang. Siapa tahu, katanya lagi, begitu membuka pintu, ia sudah
dikepung penduduk.
Memang Nasib
Tetapi Sairi pasrah menerima hukumannya itu. "Saya rela untuk
menenangkan penduduk kampung," kata Sairi. Ia tidak berniat
mengambil kembali 20 kubik batu yang diserahkannya--apapun
putusan pengadilan yang sebenarnya nanti terhadapnya. Istrinya,
Antiani, juga pasrah saja. "Memang itu nasib kami," kata
Antiani, yang percaya sepenuhnya bahwa suaminya tak berbuat tak
senonoh.
Hukuman yang dijatuhkan sidang desa terhadap Sairi dan Ponasih
dinilai Kepala Kejaksaan Negeri Mojokerto, Fuad Thalib sebagai
hukum adat. Fungsinya agar penduduk desa mematuhi norma-norma
adat yang ada di desa itu. "Kami tidak bisa melarang," ujar Fuad
Thalib. "Asal saja putusan sidang desa itu tidak disalahgunakan
Kepala Desa untuk kepentingan pribadi," tambahnya. Tapi ia akan
tetap melanjutkan perneriksaan dan kalau perlu terus membawanya
ke pengadilan.
Hukuman yang pernah dijatuhkan desa akan dipertimbangkan untuk
meringankan putusan pengadilan -- kalau perkara perzinaan
terbukti. "Tidak adil dong, kalau hukuman itu tidak
dipertimbangkan," katanya.
Sebaliknya Carik Desa Minduredjo, Mudjajiin, bersedia
mengembalikan denda yang sudah diputuskan desa, kalau Sairi
dijatuhi hukuman oleh pengadilan. "Tetapi kalau ia rela dan
ikhlas, sumbangan desa tentu saja kami terima," kata Mudjajiin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini