Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIM pengajar di Program Studi Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung berhasil mengolah batu bara cokelat yang bermutu rendah menjadi batu bara hibrida dan menurunkan tingkat emisi karbonnya. Batu bara cokelat alias lignit yang berlimpah di Indonesia ini kurang laku digunakan dalam industri karena nilai kalor atau panas yang dihasilkannya di bawah 5.000 kilokalori per kilogram.
Riset yang dipimpin guru besar ITB, Dwiwahju Sasongko, itu mengkombinasikan lignit dengan biomassa yang biasanya berakhir menjadi limbah. Menurut pengajar yang biasa disapa Song itu, biomassa yang dipakai adalah limbah serbuk kayu. Campuran kedua komponen ini direkatkan dengan kanji.
Dimulai pada 2016, penelitian ini melibatkan Winny Wulandari, Jenny Rizkiana, serta Slamet Handoko dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Mineral dan Batu Bara di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. "Rasio bahan yang telah diuji itu 30 persen biomassa dan 70 persen batu bara," kata Sasongko, Rabu dua pekan lalu.
Batu bara memiliki sejumlah komponen, seperti karbon terikat, bahan yang mudah menguap alias volatil, dan kelembapan. Karena kandungan airnya tinggi, lignit hibrida dikeringkan dulu dengan teknik pirolisis untuk meningkatkan nilai kalornya. "Persis sama seperti orang membuat arang," ujarnya.
Temperatur untuk pengeringan diatur 200-300 derajat Celsius, sehingga produk ini hanya berubah menjadi setengah arang. Menurut Sasongko, lignit olahan ini telah memenuhi syarat sebagai bahan bakar. "Tinggal dimasukkan ke tungku," tuturnya.
Menurut Jenny Rizkiana, desain tungku di sejumlah pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) telah sesuai untuk pemakaian lignit. "Karena kalornya rendah, jumlah pemakaian lignit lebih banyak," tutur peneliti yang akrab disapa Jejen itu.
Formula batu bara hibrida bisa menurunkan emisi karbon dioksida (CO2) hingga 25 persen. Adapun emisi lignit dalam batu bara hibrida dianggap menyusut karena telah dicampur biomassa. "Jejak karbonnya berkurang," ucap Jejen.
Berdasarkan kesepakatan dunia, menurut Sasongko, emisi CO2 dari biomassa seperti serbuk kayu yang dipakai dalam riset ini dianggap netral. Ketika serbuk kayu dibakar, emisi CO2 yang muncul dipakai tumbuhan untuk proses fotosintesis dan bertumbuh menjadi kayu lagi. "Kadar emisinya tak perlu diukur lagi. Berbeda kalau membakar hanya batu bara, itu dianggap tidak netral," katanya.
Riset ini didanai Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat ITB. Memasuki tahun ketiga, dengan alokasi dana Rp 118 juta, tim peneliti akan menguji sejumlah biomassa tambahan. Di laboratorium, oven listrik dipakai untuk mengeringkan lignit. Sasongko mengatakan, di masa mendatang, proses pengeringan bisa memakai reaktor sendiri dengan bahan bakar batu bara hibrida.
Batu Bara Cokelat (lignit)
» Proporsi: 80 persen cadangan batu bara Indonesia
» Estimasi cadangan: 32 miliar ton (sumber daya 105 miliar ton)
» Nilai kalor: <5.000 kilokalori per kilogram
» Kandungan air: 20-30 persen
» Harga: Rp 600 ribu per ton, kurang dari separuh nilai batu bara hitam
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo