Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Fosil lalat yang hidup 54 juta tahun lalu telah mengungkap hal mengejutkan tentang bagaimana mata serangga berevolusi. Penelitian yang diterbitkan di Nature, menunjukkan bahwa mata serangga menjebak cahaya dengan cara sama dengan mata manusia.
Dikutip Phys, baru-baru ini, mata serangga itu menggunakan pigmen melanin, contoh lain dari evolusi yang menemukan solusi serupa untuk masalah serupa. Ahli biologi evolusi Charles Darwin mengantisipasi para skeptis, dengan memberikan penjelasan panjang tentang bagaimana mutasi acak yang diikuti selesksi alam mudah membentuk organ-organ sempurna.
Tidak mengherankan bahwa adaptasi ini telah berevolusi berulang kali di seluruh dunia hewan, toptopus dan cumi-cumi, misalnya, secara independen memperoleh mata yang mirip dengan kita. Karena penglihatan sangat penting, sebagian besar hewan saat ini memiliki sejenis fotoreseptor.
Pengecualian penting termasuk makhluk yang hidup dalam kegelapan total, seperti di gua atau lautan dalam. Namun catatan fosil mata sangat buruk. Rekaman batu umumnya hanya melindungi bagian yang keras seperti tulang dan kerang. Mata dan jaringan lunak lainnya, seperti saraf, vena, dan usus, bisa bertahan hanya dalam keadaan luar biasa.
Karena mata adalah ikon evolusi dan jarang dilihat dari fosil, penemuan yang terpelihara dari serangga selama 54 juta tahun ini patut dicatat. Dalam studinya, peneliti yang dipimpin oleh Johan Lindgren dari Lund University di Swedia mengumpulkan dan menganalisis mata dari 23 lalat.
Fosil itu tersimpan dengan indah dalam sedimen yang mengandung abu vulkanik berbutir tinggi. Mereka digali di tempat yang sekarang udaranya dingin di Denmark, tapi saat itu adalah surga tropis dengan kehidupan serangga melimpah.
Mata fosil itu secara mengejutkan mirip dengan mata kita dalam satu hal yang penting. Bagian belakang bola mata kita, yang disebut koroid, gelap dan buram, melindungi terhadap radiasi ultraviolet, juga menghentikan cahaya yang tersesat yang memantul dan mengganggu penglihatan.
Di mata manusia, lapisan anti-reflektif ini mengandung melanin pigmen tingkat tinggi, molekul yang sama yang terlibat dalam pigmentasi kulit, karena itu istilah seperti melanoma. Serangga juga memiliki lapisan anti-reflektif gelap di mata mereka, tapi ini telah lama dianggap seluruhnya terdiri dari molekul yang berbeda, ommochrome.
Menariknya, lapisan terluar mata fosil itu penuh dengan kalsit, mineral yang sebagian besar batu kapur. Tidak hanya itu, kristal dalam kalsit diselaraskan untuk mentransmisikan cahaya secara efisien ke mata.
Namun rekayasa halus ini (lapisan mata luar yang dioptimalkan untuk mentransmisikan cahaya) hampir pasti disebabkan oleh proses fosilisasi, karena mata burung hidup tidak mengalami mineralisasi. Sementara rekaman fosil dapat mengungkapkan, ia juga dapat menyesatkan, jika tidak ditafsirkan dengan cermat.
PHYS | NATURE
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini