Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Dalam pidato upacara eengukuhan sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Universitas Indonesia (UI), Erlina Burhan menawarkan diagnosis penyakit tuberkulosis (TB) menggunakan Artificial Intelligence (AI) sebagai upaya deteksi dini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Diagnosis standar TB yang digunakan saat ini adalah menggunakan pendekatan yang bertujuan untuk mendeteksi keberadaan kuman Mycobacterium tuberculosis (Mtb). Menurut Erlina Burhan, Diagnosis tersebut terdiri dari pemeriksaan materi genetik ataupun dengan melihat pertumbuhan bakteri pada suatu media. Namun, diagnosis standar tersebut seringkali mengalami kendala karena ketidakcukupan sampel atau ketidaktepatan sampel dahak yang diperiksa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Masalah tersebut biasanya didapati pada saat menentukan diagnosis pada anak-anak, lansia, maupun kondisi lain yang memiliki kendala untuk mengeluarkan dahak. Oleh karena itu, suatu pendekatan yang inovatif harus dilakukan, salah satunya dengan menggunakan AI.
Algoritma yang digunakan pada AI adalah deep learning dan radiomic. Erlina menyampaikan bahwa Deep-learning pada AI memungkinkan banyak peluang untuk solusi baru untuk memberantas TB. AI dapat dimanfaatkan baik pada diagnosis maupun tatalaksana dari TB.
Pada deep learning, sebagian besar memanfaatkan jaringan saraf konvolusional/ convolutional neural networks (CNN) yang terdiri dari beberapa lapisan, termasuk lapisan input, konvolusional, pooling, fully connected, dan output. Dari proses tersebut, dapat diperoleh gambar, ucapan, sekuensi gen, dan informasi teks klinis.
Pada radiomics, input yang berupa gambar akan dikumpulkan, kemudian dilakukan identifikasi region of interest (ROI) dari gambar tersebut. Berbagai ROI ini akan dipisahkan dari bagian non-ROI kemudian dilakukan ekstraksi dari berbagai fitur yang ada seperti tekstur, bentuk, intensitas, dan gelombang.
Berbagai fitur yang diekstraksi tersebut akan melalui tahap machine learning yang saling mengaitkan informasi dan akan menghasilkan output. Dalam konteks penggunaan AI dalam bidang medis TB, output dapat berupa diagnosis, tatalaksana, serta prognosis.
Lebih lanjut, kegunaan AI untuk kemajuan diagnosis TB dapat dilihat pada pemeriksaan radiologis dan mikrobiologis. Salah satu contoh adalah penelitian yang dilakukan oleh Xiong Y et al. Penelitian tersebut menggunakan model jaringan CNN bernama TB-AI yang merupakan sistem pendukung yang dapat digunakan untuk mendeteksi bakteri TB.
Setelah diperiksa berdasarkan diagnosis ganda yang dikonfirmasi oleh ahli patologi baik melalui mikroskop maupun slide digital, TB-AI mencapai sensitivitas 97,94% dan spesifisitas 83,65%. Angka tersebut menunjukkan diagnosis TB-AI bisa dikatakan berhasil. Pada pemeriksaan radiologis, pemanfaatan AI diperlukan karena variabilitas intra-pembaca dan kurangnya jumlah ahli radiologi di sebagian besar negara dengan beban TB tertinggi, termasuk Indonesia.
AI untuk diagnosis TB sudah diteliti dan diuji di luar negeri. Salah satu caranya adalah dengan foto toraks atau dada. Menurut Erlina, foto toraks mudah diakses, terjangkau, sangat sensitif dan spesifik untuk TB paru aktif, serta tersedia dalam perawatan kesehatan primer.
Beberapa perangkat lunak AI yang digunakan yaitu Artificial Neural Network (ANN), Deep Learning-based Automatic Detection (DLAD), Deep Convolutional Neural network (D-CNN), CheXaid, InferRead®, Genki™, serta CAD4TB™. Penggunaan berbagai AI tersebut dinilai meningkatkan efisiensi dan ketepatan diagnosis.
Tuberkulosis merupakan penyakit menular yang mematikan nomor 2 di dunia dan masih menjadi beban kesehatan global hingga saat ini. Angka kematian akibat TB diperkirakan mencapai 1,3 juta pada tahun 2022. Menurut Erlina Burhan, deteksi dini dengan diagnosis yang tepat merupakan salah satu cara untuk mengeliminasi penyakit TB di Indonesia.