Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Angka tuli pada bayi baru lahir mencapai 1/1.000 kelahiran, sehingga penting untuk melakukan deteksi dini pendengaran pada semua bayi baru lahir. Hal itu dijelaskan oleh Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (Unair), Prof. dr. Nyilo Purnami.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dia mengatakan bahwa deteksi dini pada bayi baru lahir bisa menggunakan alat bernama auditory brainstem response (ABR). Jika telah terdeksi gangguan pendengaran, maka pasien bisa dirujuk untuk penilaian diagnostik lengkap ke rumah sakit.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Jadi setelah dipastikan gangguan pendengaran bersifat permanen, maka anak perlu diberi resep dan dipasang alat dengar, lalu ditinjau rutin,” kata Prof. Nyilo kepada Tempo, Senin, 13 Mei 2024.
Setelah itu, anak yang mengalami gangguan pendengaran bisa segera diperkenalkan dengan bahasa isyarat. Konseling rutin dan menyiapkan guru tuna rungu juga tak kalah penting sejak anak didiagnosis.
“Anak dengan gangguan pendengaran yang telah menerima Identifikasi dan Intervensi Dini (IID) akan bisa memiliki kemampuan berbicara dan berbahasa seperti layaknya anak normal seusianya,” ucap Guru Besar Ilmu Neurotologi Aspek Komunitas itu.
Sejauh ini, Jawa Timur menjadi satu-satunya provinsi untuk pilot project program IID sejak 2023. Ada lima Resource Center (RC) yang tersebar pada empat kota di Jatim untuk deteksi dini hingga intervensi gangguan pendengaran pada anak-anak, yaitu di Surabaya, Gresik, Sidoarjo, dan Pasuruan.
“Layanan ini semuanya gratis, difasilitasi oleh pemerintah daerah setempat dan didukung pemerintah Australia untuk pengembangannya,” ujar Prof. Nyilo.
Dia berharap agar seluruh orang tua bisa melakukan deteksi dini itu kepada anaknya yang baru lahir. Tujuannya, anak-anak yang memiliki gangguan pendengaran bisa diintervensi sedini mungkin agar memiliki masa depan yang cerah.