HAMPIR sejak dua abad yang silam orang-orang Minangkabau telah
memiliki kincir air. Tak diketahui siapa yang telah
menemukannya. Tetapi alat tersebut banyak menolong penduduk
dalam menumbuk padi. Sebelumnya, masyarakat mempergunakan
lesung, sebagaimana masih nampak dalam lukisan-lukisan tua
seorang gadis sedang menumbuk padi di halaman rumah gadang.
Sebelum menemukan kincir air, ada yang dinamakan lesung
"berindik". Di sini kaki yang berfungsi menggantikan tangan,
menekan sebuah balok untuk menggerakkan alu. Setelah ada kincir
air yang lebih praktis, 543 negari seluruh Propinsi Sumatera
Barat memasuki abad kincir. Di samping lebih efisien, bentuk
kincir ternyata enak dipandang.
Kincir terdiri dari roda yang dihubungkan dengan sumbu ke bagian
dalam bangunan. Di bagian dalam bangunan ada yang disebut
"tangan-tangan" yang jumlahnya 36 buah. Tangan-tangan inilah
yang kemudian berputar menarik 12 buah alu yang sudah disiapkan.
Tentu saja roda harus berdiri di sebuah bandar kecil dan
letaknya rendah. Air dengan kemiringan 70 derajat akan
memungkinkan roda bergerak.
Fungsi Sosial
Ada juga yang disebut tarhpian, semacam kipas angin yang
berputar dengan bantuan tenaga manusia. Ini terdapat juga di
dalam kincir, berguna untuk memisahkan beras dengan sekam dan
de(llk ieluruh bangunan kincir yang terdiri dari kayu biasanya
berukuran 8 kali 10 meter. Dengan kekuatan 10 PK, tiap kincir
padi mampu memproses padi menjadi beras sekitar 66 ton setiap
tahun.
Harga sebuah kincir kalau disesuaikan dengan perongkosan
sekarang sekitar Rp 1 juta. Sedangkan penghasilan setiap tahun
ambillah Rp 320 ribu. Jadi kalau seorang membangun sebuah kincir
dalam tempo 3 tahun modalnya bisa kembali. Kincir juga
membutuhkan 2 tenaga kerja untuk melepaskan air, menjemur dan
melayani lesung yang terus menerus memproses beras. Ini
menunjukkan di samping efisien, enak dipandang, kincir juga
punya fungsi sosial.
Tetapi rupanya masa keemasan kincir segera akan lenyap. Alat
yang lebih praktis sudah muncul sekitar 10 tahun terakhir ini.
Namanya huller. Atas nama teknologi huller pun muncul dan
merebut posisi dengan cepatnya. Ia menyerang kincir-kincir
dengan ganas. Rata- rata ada 2 buah huller di setiap negari
karang.
Jorong Batang Tabit di negari Sungai Kamuyang Kabupaten 50 Kota
(jorong sama dengan desa di Jawa) bahkan memiliki 11 buah
huller. Sudah tentu kincir air di jorong ini jadi mati kutu.
Pada Batang Tabit dikenal sejak dahulu agar gudang beras.
Mutunya kesohor setaraf dengan beras Solok dan IV Angkat di
Propinsi yang sama. Terkenal sebagai "beras kincir". Sekarang ia
masih tetap dianggap gudang beras, hanya saja identitas "beras
kincir" sudah tak bisa dikenakan lagi.
Dengan huller memang memproses di jadi beras bisa lebih cepat.
Menghemat tenaga. Huller yang mula-mula didapati di desa
tetangga Batang Tabit telah menggerakkan hati Pemuka Masyarakat
untuk juga membuat Batang Tabit pula buller. Serta merta para
pemilik kincir protes. Kepala Negari memihak milik kincir.
Mula-mula dapat digagalkan. Tetapi kemudian desa-desa tetangga
makin banyak mempergunakan huller. Pemilik kincir jadi keder,
apalagi langganan-langganannya satu persatu pindah mencari mesin
huller.
Bangkai
Koperasi Desa kemudian bertindak. 'Daripacla orang lain kan
lebih baik kia-kita juga," kata pengurus koperasi, kepada para
pemilik kincir. Melihat poisi makin terjepit akhirnya pemilik
kinir menyerah. "Kami menyerah. Itu kan perintah dari atas,"
kata Nahar salah serang pemilik kincir kepada Muchlis Suin dari
TEMPO Maka mulailah huller menjamah Batang Tabit.
Demikianlah awal dari kemusnahan Kincir air. Sekarang masih
banyak dijumpai bangkai-bangkainya. Ia berupa bangunan lapuk
yang menunggu dibongkar saja. Pada beberapa pensiunan kincir
rodanya sudah dibuka. Ada juga yang kemudian sudah mulai
berfungsi sebagai rumah biasa. Yang lebih menyedihkan, ada
kincir yang ditinggalkan begitu saja. Rodanya tanggal dengan
sendirinya, tak ada yang merasa perlu untuk merawatnya. Sayang
sekali.
"Pusat renghendaki kebijaksanaan begitu, mau apa?" kata seorang
pejabat Propinsi. Sementara diam-diam dapat diketahui akhirnya
bahwa huller di samping membawa efisiensi juga membawa beberapa
persoalan. Polusi dedaknya kadangkala merusak sawah-sawah di
sekitar bangunan. Belum lagi diketahui bagaimana jaminan
peralatan huller kalau rusak. Di samping itu karena cepatnya
proses, bagi masyarakat jadi ada waktu tersisa. Untuk ini
orang-orang di Batang Tabit misalnya berkata: "Kami sedang
memikirkan pengarahan agar kelebihan waktu karena prosesing yang
cepat, bisa dimanfaatkan."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini