Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Hari Terakhir Kincir

Di seluruh Sumatera Barat alat penumbuk padi (kincir air) yang telah ada sejak 2 abad terdesak hampir musnah, dengan masuknya huller yang merebut posisi dengan cepatnya. (ilt)

7 April 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HAMPIR sejak dua abad yang silam orang-orang Minangkabau telah memiliki kincir air. Tak diketahui siapa yang telah menemukannya. Tetapi alat tersebut banyak menolong penduduk dalam menumbuk padi. Sebelumnya, masyarakat mempergunakan lesung, sebagaimana masih nampak dalam lukisan-lukisan tua seorang gadis sedang menumbuk padi di halaman rumah gadang. Sebelum menemukan kincir air, ada yang dinamakan lesung "berindik". Di sini kaki yang berfungsi menggantikan tangan, menekan sebuah balok untuk menggerakkan alu. Setelah ada kincir air yang lebih praktis, 543 negari seluruh Propinsi Sumatera Barat memasuki abad kincir. Di samping lebih efisien, bentuk kincir ternyata enak dipandang. Kincir terdiri dari roda yang dihubungkan dengan sumbu ke bagian dalam bangunan. Di bagian dalam bangunan ada yang disebut "tangan-tangan" yang jumlahnya 36 buah. Tangan-tangan inilah yang kemudian berputar menarik 12 buah alu yang sudah disiapkan. Tentu saja roda harus berdiri di sebuah bandar kecil dan letaknya rendah. Air dengan kemiringan 70 derajat akan memungkinkan roda bergerak. Fungsi Sosial Ada juga yang disebut tarhpian, semacam kipas angin yang berputar dengan bantuan tenaga manusia. Ini terdapat juga di dalam kincir, berguna untuk memisahkan beras dengan sekam dan de(llk ieluruh bangunan kincir yang terdiri dari kayu biasanya berukuran 8 kali 10 meter. Dengan kekuatan 10 PK, tiap kincir padi mampu memproses padi menjadi beras sekitar 66 ton setiap tahun. Harga sebuah kincir kalau disesuaikan dengan perongkosan sekarang sekitar Rp 1 juta. Sedangkan penghasilan setiap tahun ambillah Rp 320 ribu. Jadi kalau seorang membangun sebuah kincir dalam tempo 3 tahun modalnya bisa kembali. Kincir juga membutuhkan 2 tenaga kerja untuk melepaskan air, menjemur dan melayani lesung yang terus menerus memproses beras. Ini menunjukkan di samping efisien, enak dipandang, kincir juga punya fungsi sosial. Tetapi rupanya masa keemasan kincir segera akan lenyap. Alat yang lebih praktis sudah muncul sekitar 10 tahun terakhir ini. Namanya huller. Atas nama teknologi huller pun muncul dan merebut posisi dengan cepatnya. Ia menyerang kincir-kincir dengan ganas. Rata- rata ada 2 buah huller di setiap negari karang. Jorong Batang Tabit di negari Sungai Kamuyang Kabupaten 50 Kota (jorong sama dengan desa di Jawa) bahkan memiliki 11 buah huller. Sudah tentu kincir air di jorong ini jadi mati kutu. Pada Batang Tabit dikenal sejak dahulu agar gudang beras. Mutunya kesohor setaraf dengan beras Solok dan IV Angkat di Propinsi yang sama. Terkenal sebagai "beras kincir". Sekarang ia masih tetap dianggap gudang beras, hanya saja identitas "beras kincir" sudah tak bisa dikenakan lagi. Dengan huller memang memproses di jadi beras bisa lebih cepat. Menghemat tenaga. Huller yang mula-mula didapati di desa tetangga Batang Tabit telah menggerakkan hati Pemuka Masyarakat untuk juga membuat Batang Tabit pula buller. Serta merta para pemilik kincir protes. Kepala Negari memihak milik kincir. Mula-mula dapat digagalkan. Tetapi kemudian desa-desa tetangga makin banyak mempergunakan huller. Pemilik kincir jadi keder, apalagi langganan-langganannya satu persatu pindah mencari mesin huller. Bangkai Koperasi Desa kemudian bertindak. 'Daripacla orang lain kan lebih baik kia-kita juga," kata pengurus koperasi, kepada para pemilik kincir. Melihat poisi makin terjepit akhirnya pemilik kinir menyerah. "Kami menyerah. Itu kan perintah dari atas," kata Nahar salah serang pemilik kincir kepada Muchlis Suin dari TEMPO Maka mulailah huller menjamah Batang Tabit. Demikianlah awal dari kemusnahan Kincir air. Sekarang masih banyak dijumpai bangkai-bangkainya. Ia berupa bangunan lapuk yang menunggu dibongkar saja. Pada beberapa pensiunan kincir rodanya sudah dibuka. Ada juga yang kemudian sudah mulai berfungsi sebagai rumah biasa. Yang lebih menyedihkan, ada kincir yang ditinggalkan begitu saja. Rodanya tanggal dengan sendirinya, tak ada yang merasa perlu untuk merawatnya. Sayang sekali. "Pusat renghendaki kebijaksanaan begitu, mau apa?" kata seorang pejabat Propinsi. Sementara diam-diam dapat diketahui akhirnya bahwa huller di samping membawa efisiensi juga membawa beberapa persoalan. Polusi dedaknya kadangkala merusak sawah-sawah di sekitar bangunan. Belum lagi diketahui bagaimana jaminan peralatan huller kalau rusak. Di samping itu karena cepatnya proses, bagi masyarakat jadi ada waktu tersisa. Untuk ini orang-orang di Batang Tabit misalnya berkata: "Kami sedang memikirkan pengarahan agar kelebihan waktu karena prosesing yang cepat, bisa dimanfaatkan."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus