KAMPUS di Jalan Jenderal Soehrto itu tampaknya kurang terawat.
Halamannya luas, bertanah batu-batuan karang. Ada beberapa
laboratorium yang kurang peralatan. Salah satu atapnya menganga,
jebol. Di sebuah teras tergeletak tulang punggun kerangka ikan
paus raksasa. Sisa kerangka lainnya teronggok di pojok ruangan
lain yang disebut 'museum'.
Dalam usia 16 tahun, Universitas Nusa Cendana (Undana) di
Kupang, NTT, nampaknya belum mantap juga. Dengan 4 fakultas --
Fakultas Peternakan, Keguruan, Ilmu Pendidikan serta Fakultas
Ketatanegaraan, Ketataniagaan dan Hukum -- kini jumlah mahasiswa
5.280 orang. Sebagian terbesar dari luar Kupang, 60% di
antaranya dari keluarga berpenghasilan rendah.
Selama ini tampaknya kemampuan untuk tumbuh dengan kekuatan
sendiri sangat terbatas. Itu juga diakui sendiri oleh kalangan
Undana. Maka produktivitasnya pun rendah: sarjana muda ,4%,
sarjana 3,2%. Namun keterbatasan itu tidaklah mengurangi minat
Menteri P&K untuk menitipkan harapannya. "Tak mustahil dalam
keadaan fasilitas kurang, dapat tumbuh sikap dan mentalita
akademik," kata Menteri P&K Daoed Joesoef 22 Maret lalu ketika
melantik Frans E. Likadja, 49 tahun, sebagai Rektor Undana yang
baru menggantikan Soetan Moehamad Sjah.
Mengambil contoh Universitas Cenderawasih di Jayapura dan
Universitas Mulawarman di Samarinda yang masingmasing mengambil
antropologi dan teknologi kehutanan sebagai fokus bidang
studinya, Daoed menyarankan agar Undana memilih bidang studi
pertanian dan kehutanan. Diharapkannya pula kelak bisa
dikembangkan suatu teknoIogi pertanian daerah kering: Sebagian
terbesar tanah di NTT adalah tanah kering.
Harapan itu, bagi Frans merupakan isyarat ia tidak bertepuk
sebelah tangan. Sejak beberapa waktu lalu Undana memang sudah
bertekad memilih sektor pertanian tanah kering sebagai PIP (pola
ilmiah pokok). "Dan ini akan merupakan identitas Undana. Hingga
kelak bila orang bertanya tentang pertanian tanah kering akan
datang ke Undana, tidak ke universitas lain," harap Frans sambil
mengunyah jagung rebus.
IPB Sangsi
Maka niat membuka Fakultas Pertanian Tanah Kering pun mulai
dijajagi, bersama Kantor Wilayah Departemen Pertanian setempat.
Karena selama ini teknologi yang ada adalah untuk pertanian
tanah basah, dianggap kurang cocok untuk NTT. Maka tak kurang
dari Bappeda (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah) NTT dan
Gubernur Ben Mboi pun menyokong pembukaan fakultas tersebut.
Bahkan menurut Frans Likadja, ada 2 lembaga internasional yang
merekomendasi niat tersebut: ClDA.(Canadian /nternational
Development Agency) yang kabarnya akan membantu membuka sebuah
pusat pengkajian pertanian tanah kering serta MUCIA (Mid West
University Consortium for International Activities) yang konon
menjanjikan membantu penyusunan kurikulum, tentang pengajar dan
fasilitas lain. MUCIA beranggotakan 7 universitas di AS, antara
lain Universitas Michigan, Ohio dan Wiscounsin.
Apa yang dimaksud dengan tanah kering? Frans menunjuk hasil
kongres Agronomi di Jakarta (1977) yang menampilkan 3 pengertian
tanah kering:
Yang hampir sepanjang tahun tidak tergenang air secara
permanen (pengertian umum).
Yang secara alamiah lapisan atas dan bawahnya hampir sepanjang
tahun tidak jenuh atau tidak tergenang air (untuk pertanian
pangan).
Tanah darat yang tidak dapat digenangi air irigasi (untuk
perkebunan tanah kering).
Musim hujan di NTT memang hanya turun antara Desember-Maret
saja, sementara tanahnya kurang mampu 'mengikat' air. "Di sini
hanya 100 hari saja mengalami hujan. Selama 9 bulan para petani
boleh dikata menganggur tidak bercocok tanam," kata Gubernur Be
Mboi. Hasil pertanian di wilayahnya sebagian besar jagung,
kedelai dan kacang hijau, di samping kelapa, kayu cendana dan
tanaman keras lainnya. Kondisi tanah kering seperti itu
sebenarnya juga bukan lantaran musim kering yang berkepanjangan,
tapi juga karena ulah penduduk setempat. Misalnya ada penebangan
pohon yang sewenang-wenang perladangan yang berpindah-pindah
dengan cara tebas-bakar dan penggembalaan ternak yang tidak
terkontrol.
Belum Mantap
Tapi, pihak Dirjen Pendidikan Tinggi tampaknya belum bisa
diyakinkan. S. Pramoetadi, Direktur Pembinaan Sarana Akademis
cenderung menyarankan agar Undana lebih dulu meningkatkan sumber
daya pendukung -- misalnya tenaga pengajar dan laboratorium. Di
Undana memang ada laboratorium, tapi menurut Frans Likadja
peralatannya masih kurang memadai. Dan sementara itu masalah
pertanian tanah kering dijadikan PIP (pola ilmiah pokok).
Pendapat Pramoetadi seperti itu ditopang oleh bekas Rektor IPB,
A.M. Satari Ahli tanah yang kini menjadi Ketua Departemen Ilmu
Tanah Fakultas Pertanian IPB Bogor itu juga menyarankan Undana
menjadikan pertanian tanah kering sebagai kegiatan universitas
secara keseluruhan atau PIP tadi. Dan tidal usah dulu membuka
sebuah fakultas yang khusus untuk itu. Ia menyangsikan
tersedianya tenaga pengajar. "Dosen IPB tentu terlalu jauh untuk
mengajar ke sana," katanya. Yuyu Wahyu, tokoh IPB lainnya yang
juga Ketua Konsorsium Ilmu-Ilmu Pertanian yang belum lama ini ke
Undana kabarnya juga belum melihat kemantapan konsep fakultas
tersebut.
Lebih jauh Satari bahkan menyatakan, pada prinsipnya pertanian
di manamana itu sama saja, baik untuk tanah basah maupun tanah
kering. "Soalnya tinggal bagaimana kita mengelola masalah air,"
katanya. Dijawa sendiri bukannya tak ada tanah kering, misalnya
sepanjang pantai selatan atau pulau Madura. "Bahkan daerah
Gunung Kidul di Yogya sama keringnya dengan NTT," tambah ahli
tanah itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini