Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Malang - Pohon kapur barus sudah lama dikenal di Nusantara dan banyak dimanfaatkan masyarakat Eropa dan Timur Tengah sejak abad kedua Masehi. Tanaman bernama ilmiah Dryobalanops aromatica Gaertn ini tumbuh di Pulau Sumatera, Pulau Kalimantan, dan sebagian wilayah Malaysia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peneliti Balai Penelitian dan Pengembangan Kementerian Lingkungan Hidup (BP2LHK) Aek Nauli Sumatera Utara, Ahmad Dany Sunandar, mengatakan pohon kapur merupakan jenis kayu perdagangan (golongan meranti) dan menghasilkan produk khas nonkayu berupa kristal yang populer dengan sebutan kapur atau kamper serta minyak kapur atau ombil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Pohon kapur sering juga dinamakan sebagai pohon kamper yang sejak zaman dulu sudah jadi komoditas perdagangan yang utama dan sangat berharga,” kata Dany dalam seminar daring bertema “Kapur Barus, Warisan yang Dilupakan” yang diselenggarakan Teater Siklus, Kota Medan, baru-baru ini.
Kegiatan seminar itu dilaksanakan bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) sebagai bagian dari kampanye Jalur Rempah oleh Kemendikbudristek.
Selain Dany, kegiatan seminar itu menghadirkan narasumber Ichwan Azhari (Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan dan Ketua Asosiasi Museum Indonesia Sumatera Utara), Irfan Simatupang (Ketua Program Studi Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara), serta Anton Sujarwo, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Tapanuli Tengah.
Dany yang dihubungi Tempo Kamis, 14 Oktober 2021, mengatakan kamper dari Pulau Sumatera berbeda dengan kamper dari Cina yang berasal dari jenis Cinnamomum champora. Di kawasan Asia Tenggara, berdasarkan literatur yang dibaca Dani, terdapat tujuh spesies pohon kapur, yakni Dryobalanops aromatica, Dryobalanops rappa, Dryobalanops keithii, Dryobalanops lanceolata, Dryobalanops oblongifolia, Dryobalanops fusca, serta Dryobalanops beccarii.
Dari tujuh spesies, hanya Dryobalanops aromatica yang tumbuh di Pulau Sumatera, khususnya di Provinsi Sumatera Utara dan Provinsi Aceh, serta Pulau Kalimantan. Dryobalanops beccarii tumbuh di Semenanjung Malaya dan Pulau Kalimantan. Sedangkan lima spesies lagi tanaman kapur endemik di Pulau Kalimantan.
“Nah, dari tujuh spesies itu, Dryobalanops aromatica-lah yang paling populer di dunia dan identik sebagai kapur dari (Kecamatan) Barus di (Kabupaten) Tapanuli Tengah,” ujar Dany.
Penyebaran jenis ini meliputi jazirah atau semenanjung Malaya dan Kalimantan, penyebaran pada elevasi di bawah 400 meter di atas permukaan laut (mdpl). Di Sumatera, jenis ini banyak tersebar di sepanjang pantai barat, khususnya di daerah Subulussalam (Ibu Kota Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam) hingga ke Barus dan Kecamatan Natal di Kabupaten Mandailing Natal, Provinsi Sumatera Utara.
Sebagai jenis kayu perdagangan, kapur merupakan salah satu primadona sehingga menjadi sasaran penebangan dan pemenuhan target tebangan di areal hutan produksi atau hutan yang berstatus HPH (hak penguasaan hutan). Selain di kawasan hutan yang menjadi areal HPH, kayu kapur yang di luar kawasan juga semakin langka dengan adanya perubahan tutupan lahan dari kayu menjadi sawit, karet atau cokelat.
“Saat ini, status pohon kapur berada pada taraf critically endangered (terancam punah) menurut Daftar Merah IUCN (International Union for Conservation of Nature) karena kondisinya makin kritis dan langka, kata dia.
Semakin berkurangnya populasi kapur di alam disebabkan oleh berbagai faktor, baik yang terkait dengan sifat alaminya (internal) maupun yang terkait dengan kondisi dan situasi lingkungan yang berkembang (eksternal).
Secara alami, pohon kapur tidak berbuah setiap tahun, sehingga dalam perbanyakannya harus menyesuaikan dengan waktu berbunga dan berbuah pohonnya. Namun jika melihat sebaran alami dan sifatnya yang dominan, secara teori, meskipun kapur tidak berbuah setiap tahun, namun dapat menjadi pohon dominan dan tersebar luar dalam suatu hamparan.
“Dari sini dapat dapat disimpulkan bahwa jika dibiarkan tanpa terganggu dalam habitatnya, kelestarian pohon kapur dapat terjaga secara alami,” kata Dany.
Dany menukas, penurunan populasi pohon kapur lebih dominan disebabkan oleh perubahan situasi dan minat dari masyarakat secara umum. Ada lima penyebabnya:
- Nilai jual kristal kamper dan minyak kapur sudah kalah oleh nilai jual kayunya sehingga produk nonkayunya menjadi kurang diminati.
- Adanya produk substitusi dari kamper dan minyak kapur yang harganya lebih murah dan lebih mudah didapat sehingga permintaan kamper dan minyak kapur menjadi turun.
- Belum adanya bukti ilmiah faktor yang dapat menginduksi munculnya kristal dan minyak kapur dalam batang pohon sehingga untuk mendapatkan kedua produk itu, banyak batang yang harus dirusak atau bahkan ditebang meski hasilnya belum pasti.
- Waktu yang lama untuk mendapatkan kristal dan minyak kapur dibandingkan dengan produk pertanian lainnya seperti kelapa sawit, karet atau coklat sehingga masyarakat cenderung memilih tanaman produksi yang cepat menghasilkan uang.
- Terbatasnya pengetahuan dan informasi budi daya tanaman kapur sehingga masyarakat setempat tidak memahami ihwal pohon kapur dan nilai ekonominya.
Dany berpendapat, upaya melestarikan pohon kapur tidak terbatas hanya pada upaya budi daya, melainkan juga harus melalui pengenalan kembali nilai-nilai sejarah dan peran pentingnya kapur di masa silam dan potensinya di masa datang.
Upaya budi daya dapat dilakukan dengan perbanyakan tanaman melalui dua pendekatan, yaitu secara generatif dan vegetatif. Pendekatan pertama melalui generatif atau melalui biji. Pada saat tanaman berbuah, lakukan pengumpulan benih dan disemaikan dengan baik sehingga dapat menghasilkan bibit yang baik. Bibit yang ada kemudian disebarkan ke masyarakat yang berminat untuk menanamnya.
Secara vegetatif, perbanyakan dapat dilakukan melalui stek. Stek adalah perbanyakan tanaman yang relatif efektif dan efisien serta mempunyai beberapa keuntungan, yaitu biaya yang relatif murah, tingkat keberhasilan yang tinggi, sifat anak yang sama dengan induknya.
BP2LHK Aek Nauli yang berlokasi di Parapat telah berupaya melestarikan tanaman kapur dengan mengumpulkan anakan dari berbagai tempat dan menjadikannya sebagai kebun pangkas. Hal itu diharapkan dapat menjadi bahan baku dalam perbanyakan kapur melalui vegetatif.
“Saat ini banyak habitat alami tanaman kapur yang terdegradasi baik tutupan lahan maupun fungsinya. Hal ini tentu jadi tantangan berat untuk konservasi tanaman kapur di habitat aslinya. Ditambah pengetahuan masyarakat yang hilang tentang pohon kapur, maka pohonnya jadi makin sulit dijumpai,” kata Dany.
Karena itu, butuh perjuangan panjang dan susah untuk mengembalikan tegakan kapur di habitat aslinya sehingga diperlukan campur tangan pemerintah daerah apabila ingin tanaman kapur kembali berjaya.
BP2LHK merekomendasikan empat tahapan yang perlu dilakukan untuk mengembalikan kapur ke tanah kelahirannya. Pertama, memperkenalkan kembali atau reintroduksi kapur ke masyarakat melalui pelbagai cara dan media, baik langsung maupun dengan membentuk komunitas pencinta kapur yang bergerak di dunia maya.
Kampanye kepada kaum muda melalui dunia maya, khususnya media sosial, dirasakan lebih efektif dalam membentuk opini dan mengenalkan kembali kapur di tengah masyarakat.
Kedua, membangun plot percontohan tegakan kapur di tempat-tempat wisata, atau taman-taman yang banyak dikunjungi masyarakat disertai informasi penjelasan sejarah dan produknya.
Ketiga, menyiapkan perbanyakan dan persemaian yang memadai untuk menyebarkan jenis kapur bagi masyarakat yang berminat menanamnya. Persemaian dapat bekerja sama dengan pihak swasta pemegang HPH dan instansi kehutanan lainnya, seperti Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS).
Keempat, menyebarkan bibit kapur melalui instansi-instansi yang ada di masyarakat. “Misalnya, bagi pasangan yang akan menikah, diwajibkan menanam bibit kapur minimal dua batang di lokasi yang sudah ditentukan dengan bibit yang disediakan dan diharapkan bisa memeliharanya sehingga pada masa depan dapat menjadi cerita bagi keluarganya,” kata Dany.
Ichwan Azhari, Kepala Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-Ilmu Sosial (Pussis) Universitas Negeri Medan dan juga Ketua Asosiasi Museum Indonesia Sumatera Utara, juga menyatakan kondisi pohon kapur di Barus terancam punah.
Ichwan juga memberikan beberapa saran dan rekomendasi upaya konservasi tanaman kapur, yang secara substansial sesuai dengan rekomendasi yang diberikan BP2LHK Aek Nauli.
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.