Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kedelai barangkali cuma sejenis tanaman bahan baku tahu, tempe, atau kecap. Tapi, bagi Desta, jenis kacang-kacangan itu adalah jalan hidup. Kepada kedelai, Ir. Desta Wirnas Saiful, S.P., M.Si.—nama lengkap Desta—mengabdikan tenaga dan pikirannya. Dan itu bukan pengabdian sia-sia. Berkat kedelai, peneliti di Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB) itu menyabet dana penelitian Rp 25 juta dari L'Oreal Indonesia. Inilah penghargaan tahunan untuk perempuan peneliti Indonesia—tahun ini masuk tahun kedua—dari produsen produk kosmetik internasional itu, yang bekerja sama dengan Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO.
Desta, calon doktor agronomi berusia 34 tahun, memang sejak kecil akrab dengan ranah pertanian. Ayahnya adalah pemilik sawah, hamparan kebun, juga ternak di dekat areal permukiman transmigran di Sawahlunto, Sumatera Barat. Ketika pindah ke Payakumbuh, lingkungan pertanian tetap akrab dengannya.
Latar belakang itulah yang membulatkan tekadnya untuk terus bergelut di dunia pertanian. Berkat kepintarannya di SMA, ia diterima di jalur tanpa tes masuk dua universitas negeri, IPB di Bogor dan IKIP Padang untuk jurusan matematika. Tanpa pikir panjang, ia memilih IPB. "Saya besar di dunia pertanian, tentu saya masuk IPB," katanya.
Di kampus ini, dia masuk program studi ilmu dan teknologi benih. Di sini pula minatnya pada kedelai mulai tumbuh. Setiap melihat kedelai, ia selalu bertanya: mengapa Indonesia, yang begitu subur dan konon negara agraris, untuk sekadar kedelai saja harus mengimpor dari luar? "Lihat saja, tahun 2002 kita mengimpor sedikitnya 700 ribu ton kedelai untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri," kata Desta.
Minatnya pada kedelai mendapat pelampiasan ketika, seusai menyabet gelar master bidang pemuliaan tanaman IPB pada 1999, ia ikut ambil bagian dalam penelitian hibah pascasarjana. Bersama Prof. Didi Soepandi, pimpinan penelitian, Desta terlibat intens dalam proyek mereka yang bertajuk "Fisiologi, Genetika, dan Molekuler Adaptasi Kedelai terhadap Intensitas Cahaya Rendah, Pengembangan Varietas Unggul Kedelai sebagai Tanaman Sela". Tanaman sela, artinya kedelai itu ditanam di bawah naungan tanaman keras untuk menghemat lahan. Dalam penelitian ini, Desta khusus menyoroti bidang genetika dan molekuler.
Menurut Desta, kendala utama bagi kedelai yang ditanam di bawah pepohonan adalah sedikitnya intensitas cahaya matahari yang diterima. Padahal, agar berkembang sehat dan bisa panen dalam usia tanam tiga setengah bulan, kedelai perlu sinar matahari berlimpah. Karena itu, menurut Desta, tak ada cara lain, harus diciptakan varietas kedelai yang bisa tumbuh sehat meski sedikit mendapat sinar matahari. "Dia harus sehat, sekaligus produktivitas tetap tinggi," kata perempuan kelahiran Sawahlunto, Sumatera Barat, 28 Desember 1970 ini.
Desta kemudian memulai percobaannya dengan menggunakan kedelai bibit Ceneng (tahan naungan) yang disilangkan dengan bibit jenis Godeg (peka naungan). Untuk mengawinkan kedua bibit ini, dia merancang dua tahap. Tahap pertama meliputi pembentukan RILs (recombinant inbred lines), yaitu generasi keenam (F-6) dari perkawinan silang dua tetua (induknya). Tahap kedua adalah melakukan identifikasi dan pemetaan QTL (quality trait loci) untuk karakter yang terkait dengan adaptasi di bawah kondisi naungan.
Dengan teknik molekuler, QTL yang terkait dengan adaptasi terhadap naungan dapat diidentifikasi dengan cara mempelajari penampilan DNA tiap-tiap tanaman. Sedangkan penampilan DNA tanaman dapat dipelajari dengan bantuan marka molekuler dan mesin PCR (polymerace chain reaction). Adapun marka molekuler terkait dengan QTL yang mengendalikan adaptasi kedelai pada kondisi ternaungi dan dapat digunakan sebagai alat bantu untuk memperoleh atau menyeleksi kedelai yang adaptif pada kondisi naungan. "Dengan menggunakan marka DNA, seleksi dapat dilakukan pada generasi awal dengan akurasi yang lebih tinggi dan tepat," kata Desta.
Teknik kombinasi antara pemuliaan konvensional dan bioteknologi yang berbasis marka molekuler inilah yang menjadi alat bantu ampuh untuk mempersingkat waktu. Dengan cara ini, Desta tidak harus menunggu turunan ke enam (F6). Pada turunan kedua (F2), sudah bisa dipilih varietas bibit unggul yang bisa ditanam. "Hasilnya akan mempersingkat proses mencari bibit varietas unggul pada generasi (turunan) awal," kata Desta lagi.
Setelah menerima dana Rp 25 juta dari L'Oreal itu, Desta akan memperkaya penelitiannya dengan membuat kebun percobaan di Cikeumeuh, Cimanggu, Kota Bogor, dan Laboratorium Pusat Studi Pemuliaan Tanaman di Kampus IPB. Semua itu akan ia lakukan sepanjang Januari-November 2005 mendatang. "Saya perkirakan dalam satu setengah tahun sudah mendapatkan hasil," katanya.
Selain Desta, peneliti lain yang memenangi L'Oreal Fellowship itu adalah Dr. Rintis Noviyanti, Ph.D., peneliti Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Jakarta. Sementara Desta meneliti varietas kedelai, Rintis kini menekuni penelitian mengenai malaria. Menurut Richele Maramis Sung, Corporate Communication and Public Relation Manager L'Oreal Indonesia, Desta bersama Rintis Noviyanti terpilih dari 15 finalis lain yang bersaing ketat. "Kami ingin memberi kesempatan kepada perempuan peneliti Indonesia. Kami melihat selama ini tidak banyak regenerasi peneliti perempuan," ujarnya.
Raju Febrian, Deffan Purnama (Bogor)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo