Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RUDI benar-benar kesal akan kerja kepolisian. Pada 1999, konsultan keuangan itu melaporkan kasus penipuan yang menimpanya ke Polda Metro Jaya. Ia berharap kasus itu segera diselesaikan, dan pelakunya diganjar hukuman setimpal. Sayang, harapan itu menggantung di awang-awang.
Kasusnya baru masuk pengadilan empat tahun kemudian. "Alasan polisi macam-macam," ujar Rudi kepada Tempo, Rabu pekan lalu. Alasan itu, misalnya, komputer polisi lagi rusak, berkas pemeriksaannya hilang, atau berkas perkara ditolak kejaksaan dan perlu diperbaiki.
Ia mengaku pernah sampai mengangkut komputer pribadinya ke kantor polisi. Di sana ia ikut menunggu penyelesaian pengetikan berkas perkaranya itu. Pernah pula, saking jengkelnya, pria 45 tahun itu "menantang" polisi. "Kalau memang mau dihentikan, mana bukti surat penghentian penyidikannya?" katanya kepada polisi.
Menurut Rudi, setelah ngotot abis dan mengeluarkan sejumlah uang, baru kasus penipuan yang dilaporkannya itu dilimpahkan ke pengadilan. Di pengadilan, lagi-lagi, ia kecewa. Hakim memvonis penipunya?tak lain temannya sendiri?hanya enam bulan pidana. "Padahal ancaman hukumannya empat tahun penjara," katanya.
Leletnya penyelesaian berkas perkara dari polisi ke kejaksaan juga terjadi pada kasus pembobolan Bank BNI, yang merugikan negara Rp 1,7 triliun. Pada November 2003, Adrian Herling Waworuntu, salah seorang tersangkanya, mulai disidik kepolisian. Tapi penyidikan polisi rupanya tidak memuaskan kejaksaan. Berkas perkara Adrian bolak-balik dari Gedung Ke-jaksaan Tinggi Jakarta ke Markas Besar Polisi sampai enam kali.
Pada Maret 2004, berkas perkara Adrian dinyatakan P-21 alias lengkap. Tapi Adrian, yang sempat ditahan polisi, telanjur dilepaskan. Alasan kepolisian, masa penahanannya selama 120 hari telah habis. Adrian pun menghilang dan dinyatakan buron, sebelum akhirnya Jumat pekan lalu menyerahkan diri ke polisi.
Kasus-kasus semacam ini mungkin tak akan terjadi lagi jika Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) selesai direvisi dan disahkan. Sebuah tim yang dipimpin guru besar ilmu hukum pidana Universitas Trisakti, Andi Ham-zah, kini sedang giat menggodok naskah akademik Rancangan Undang-Undang KUHAP.
RUU itu sudah disosialkan ke sejumlah pihak. Dan salah satu pasal penting yang direvisi adalah berkas perkara pemeriksaan yang kerap bolak-bolak polisi-kejaksaan tersebut. Menurut T. Nasrullah, anggota tim revisi KUHAP itu, ada dua alasan penting merevisi KUHAP yang berlaku sekarang ini.
Pertama, beberapa pasalnya dinilai kontradiktif dan menimbulkan kebingungan. Kedua, beberapa pasalnya kerap diterjemahkan secara kacau oleh aparat penegak hukum sendiri. "Banyak aparat, baik polisi maupun jaksa, kurang memahami doktrin ilmu hukum," kata Nasrullah.
Nasrullah memberikan contoh Pasal 110. Di pasal itu disebutkan, penyidik segera menyerahkan berkas perkara yang sudah selesai disidik kepada penuntut umum. Namun, oleh aparat kepolisian, menurut Nasrullah, kata "segera" di pasal tersebut tidak dipahami maknanya.
Aparat bak tak memiliki kewajiban untuk secepatnya menyerahkan berkas itu. "Padahal arti 'segera' dalam doktrin ilmu hukum adalah secepat mungkin," kata Nasrullah. Karena itu, dalam KUHAP baru, kata "segera" akan diganti dengan tenggang waktu yang jelas. "Batas waktu itu akan diputuskan dalam tim," katanya.
Bolak-baliknya berkas perkara juga mendapat sorotan tim Andi Hamzah ini. Pasal 110 ayat 2 KUHAP sekarang memang tak mengatur berapa kali berkas perkara bisa seenaknya bolak-balik. Selama ini seorang jaksa memang bisa meminta polisi melengkapi berkas perkara yang dinilainya belum lengkap. Maksudnya agar berkas perkara diperbaiki sampai sempurna.
Hanya, kelonggaran ini kemudian dimanfaatkan untuk "memainkan" perkara. "Seorang pengacara nakal yang tidak berhasil deal dengan polisi bisa menggunakan jaksa lewat celah aturan ini," ujar Nasrullah. Caranya, saat berkas perkara masuk ke kejaksaan, jaksa yang memeriksa kasus itu selalu menilai penyidikan polisi buruk. "Jadi perkara itu bolak-balik tak kunjung selesai," katanya. Jika terus bolak-balik hingga lewat 120 hari, tersangka harus dibebaskan demi hukum.
Celah inilah yang akan dibenahi. Dalam aturan baru, pengembalian berkas perkara hanya boleh dilakukan sekali. Jaksa hanya diberi kesempatan sekali untuk mengembalikan berkas ke polisi. Bila jaksa menilai berkas penyidik masih tetap belum lengkap meski sudah diberi petunjuk perbaikan, berkas tak akan dipulangkan ke polisi. Penuntut umum, alias jaksa, bisa mengambil alih melakukan penyidikan lanjutan.
Yang juga baru dari KUHAP baru ini adalah lembaga yang bernama hakim komisaris. Lembaga ini, pada intinya, menggantikan lembaga praperadilan. Dalam KUHAP sekarang, fungsi praperadilan adalah mengawasi dan mengontrol tugas polisi dan jaksa. Menurut Nasrullah, praperadilan selama ini hanya bersifat pasif. "Praperadilan hanya diajukan oleh masyarakat yang paham akan hal itu," katanya.
Berbeda dengan praperadilan, hakim komisaris akan bersikap proaktif mengawasi polisi dan jaksa. Kelak, semua tindakan penyidikan harus dilaporkan kepada hakim komisaris. Dialah yang akan menilai sah tidaknya tindakan polisi atau jaksa. Dengan cara ini diharapkan tak akan terjadi lagi kesewenang-wenangan yang dilakukan polisi atawa jaksa.
Kewenangan hakim komisaris juga bakal lebih luas dari praperadilan. Hakim komisaris, misalnya, berhak menilai perlu tidaknya seseorang ditahan. Keberadaan hakim komisaris diharapkan ada di daerah setingkat kabupaten. Jabatan hakim ini diusulkan, antara lain, dari praktisi, akademisi, atau mantan jaksa. "Persyaratan itu akan diatur dalam peraturan pemerintah," kata Nasrullah.
Keberadaan hakim komisaris ini masih menjadi perdebatan di dalam tim revisi KUHAP sendiri. Salah satu yang menentang adalah Adnan Buyung Nasution, pengacara senior yang juga anggota tim KUHAP baru. "Meski dalam tim, saya menjadi lawan," kata Buyung.
Menurut Buyung, pemikiran tim revisi KUHAP sudah usang dan cenderung meniru Belanda. Ada perbedaan prinsipil dan filosofis, katanya, antara hakim komisaris dan lembaga praperadilan. Ia mengkhawatirkan keberadaan hakim komisaris ini akan merampas hak kemerdekaan warga negara.
Karena hak warga negara diambil alih hakim komisaris, menurut Buyung, kedudukan masyarakat secara hukum menjadi tidak sejajar. Apalagi, katanya, hakim komisaris bersifat tertutup, berbeda dengan praperadilan yang terbuka. "Ini berbahaya."
Kendati terhadap beberapa pasal pendapat tim RUU KUHAP belum padu, hasil kerja mereka disambut positif sejumlah pihak. Juru bicara Kejaksaan Agung, R.J. Soehandoyo, misalnya, menyebut pembatasan perbaikan berkas perkara itu bagus. "Ini suatu kemajuan," katanya. Dia juga setuju dibentuknya lembaga hakim komisaris. "Ini perubahan spektakuler," tuturnya. KUHAP sekarang, menurut Soehandoyo, "Tujuh puluh persen melindungi tersangka."
Juru bicara Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Polisi Tjiptono, juga menilai tidak ada masalah terhadap perbaikan sejumlah pasal KUHAP. Menurut dia, dalam Undang-Undang Kejaksaan pun sebenarnya penuntut umum berwenang melakukan pemeriksaan lanjutan bila penyidikan polisi dianggap kurang.
Kendati revisi KUHAP ini akan selesai dalam waktu dekat, masih perlu waktu untuk pengesahannya di DPR. Menurut Direktur Jenderal Hukum dan Perundang-Undangan Departemen Kehakiman, Abdul Gani Abdullah, RUU KUHAP tak bisa dipisahkan dengan RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). "Kedua RUU itu harus lebih banyak disosialkan," katanya.
Sukma N. Loppies
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo