Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di rumah pelukis Barli Sasmitawinata di Bandung, Jawa Barat, Nus Salomo belajar membuat sketsa. Salomo kecil memperhatikan setiap sosok yang lewat di muka rumah sang seniman. Ia lalu menuangkannya ke dalam bentuk sketsa. ”Sejak awal saya memang tertarik sketsa dengan obyek sosok,” kata perupa kelahiran Medan, Sumatera Utara, 9 Mei 1967, itu.
Kini, sekitar tiga dekade berselang, Salomo tetap menekuni dunia sketsa. Obyeknya juga tetap sosok manusia. Namun, sketsa-sketsanya kali ini bukan hanya muncul dalam dua dimensi, tetapi juga tiga dimensi. Dari sketsa itu ia terus bergerak, merambah ke seni patung, lukisan, dan video.
Karya-karya terbaru Salomo bisa dinikmati di Galeri Lontar, Jakarta, sejak 15 September sampai 15 Oktober 2006. Bertajuk The Post Human, pameran tunggal itu menampilkan sketsa, patung, lukisan, yang menjadikan sosok manusia sebagai fokus utama. Salomo menyodorkan sebuah konsep: sosok manusia sesudah manusia.
Menurut Salomo, sosok-sosok yang hadir dalam pameran itu merupakan tafsir visual atas fenomena The Post Human. Ini sebuah ramalan evolusi manusia di masa mendatang dari kalangan ilmuwan pemuja fiksi ilmiah. Selama ini, sosok-sosok rekaan itu kerap ditemui dalam film-film science fiction, seperti Cyborg, Matrix, dan Star Trek, lalu komik kontemporer, serta film animasi.
Menikmati karya-karya Salomo, pemirsa seperti menatap serangkaian tafsir visual atas hibrida manusia-mesin. Sosok-sosok rekaan Salomo menerbangkan imajinasi pada sosok manusia di dunia antah-berantah di masa entah kapan. Wujudnya jauh dari kelaziman manusia umum: tubuh-tubuh aneh, mata melotot, telinga melebar, perut membuncit, lengan dan kaki memanjang, hingga jemari yang menyerupai mesin penggaruk. Manusia-manusia asing itu memiliki ekspresi monoton: wajah menyeringai, air muka tegang dan serius.
Pencitraan sosok-sosok tak lazim itu mulai akrab dengan Salomo sejak ia hengkang dari Arsitektur ITB pada 1992. Ia lalu belajar seni patung serta animasi di Amerika. Di sana ia juga pernah bekerja membuat model sosok-sosok imajinatif, dan membuat animasi untuk efek film.
Sejak hengkang dari ITB itu Salomo meninggalkan gambar teknik yang kaku dan serba terukur. Ia makin intensif mengembangkan studi anatomi dengan goresan-goresan bebas dan intuitif. Sejak itu ia akrab menggambarkan tubuh-tubuh yang bukan seperti manusia lazimnya.
Coba simak patung Motherhood Instinct. Patung seorang perempuan dengan bentuk tubuh tak proporsional. Tangannya yang panjang menggenggam sebutir telur besar. Perutnya membuncit. Buah dadanya menggelayut. Wajahnya dingin dengan tatapan mata sayu. Di bawah kakinya yang memanjang terdapat tiga butir telur, juga dengan ukuran tak wajar: besar-besar.
Tafsir visual atas patung berbahan resin itu ingin mengungkapkan daya hidup yang dimiliki sang tokoh. Meski mengalami perubahan lewat rekayasa ilmu dan teknologi, ia tetap seorang manusia, yang terus berketurunan demi melangsungkan hidup.
Sementara itu, dalam rangkaian sketsa bertajuk Anatomy Details, Salomo menyuguhkan sosok hasil sebuah kegagalan rekayasa genetika. Kedua belas sketsa dengan ukuran beragam itu menampilkan wajah-wajah menyeramkam. Wajah-wajah rusak dan tak utuh. Lewat sketsa-sketsa itu Salomo ingin menyampaikan betapa ilmu dan teknologi juga berpotensi merusak. ”Bisa menciptakan sosok-sosok dengan bentuk seenaknya,” ia menjelaskan.
Salomo telah mengamati munculnya gejala The Post Human itu sejak lima tahun belakangan. Munculnya teknologi kloning merupakan salah satu contoh gejala itu. Bukan hal baru bahwa di Eropa dan Amerika kini bisa pesan anjing hasil perkawinan campuran. Itu semua bisa terjadi berkat peran bioteknologi. Lalu dengan kemampuan nanoteknologi, kesadaran manusia pun kelak bisa dimampatkan ke dalam benda yang jauh lebih kecil dari kacang hijau.
Hans Moravec, seorang ilmuwan futuristik, mengungkapkan bahwa gerbang ke arah revolusi di bidang ilmu pengetahuan telah terjadi sejak manusia bisa menciptakan robot. Ini merupakan sebuah mesin yang dapat diprogram dengan komputer dan dapat menggantikan pekerjaan manusia.
Itu semua menggoda ide kreatif Salomo. Ia lalu melakukan kajian-kajian atas anatomi. Mengamati perubahan-perubahan bentuk anatomi manusia, menonton film-film fiksi ilmiah dan animasi. Ia juga berdiskusi dengan ahli-ahli teknologi. Hasilnya adalah serangkaian sosok yang secara teknis realis, secara visual merupakan perpaduan antara surealis dan fiksi ilmiah.
Memang, Salomo bukan satu-satunya perupa yang punya perhatian utama pada sosok manusia sebagai obyek dalam karya-karyanya. Tapi, menikmati karya Salomo, kita menemukan kekuatan detail anatomi yang disajikan.
Itu bisa disimak, misalnya, dalam karya The Rise of the Post Human yang menampilkan 22 wajah yang seolah-olah muncul dari dalam tanah. Bentuk wajah yang tak lazim itu beraneka ragam. Ada yang utuh, ada yang cuma sebagian, ada pula yang muncul hidungnya saja.
Menurut Salomo, lewat pemeran ini ia ingin mengajak berpikir, merenungi masa depan kehidupan manusia di tengah kian majunya ilmu dan teknologi. ”Sehingga tak lahir sosok-sosok seenaknya yang menyeramkan,” katanya.
Nurdin Kalim
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo