Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kerugian yang besar akibat kebocoran pipa berkarat memang jadi soal serius bagi penyuplai air minum. Lihat saja karat yang menggerogoti jaringan pipa milik Thames Pam Jaya, perusahaan air minum asal Inggris di sebagian wilayah DKI Jakarta. Hal itulah yang memaksa mitra swasta PDAM Jaya tadi mengganti semua pipanya dengan PVC (polyvinyl chloride).
Apalagi setelah diketahui timbal yang dipakai memperkuat kuningan dari korosi ternyata berbahaya bagi kesehatan. Konsentrasi tinggi timbal dapat merusak jaringan saraf, fungsi ginjal dan menurunkan tingkat kecerdasan pada anak.
Direktur Komunikasi Thames Pam Jaya Rhamses Simanjuntak mengatakan, dalam waktu dekat ini semua pipa besi akan diganti. ?Sekarang, semua jaringan tersier dan sekunder sudah diganti PVC supaya lebih tahan dan tidak korosi,? kata Rhamses. Pipa plastik ini dianggap sebagai solusi masalah korosi yang kerap terjadi.
Tapi, bagaimana dengan limbah pipa logam bekas yang makin bertumpuk, bukankah ini merupakan persoalan baru? Pemikiran inilah yang mendorong Nurul Taufiqu Rochman, peneliti di Pusat Penelitian Fisika LIPI tertarik mencari teknologi mengeliminasi timbal lewat daur ulang limbah logam kuningan.
Pria berperawakan kurus dan berkacamata ini tengah mencari komposisi unsur yang tepat untuk pipa dan keran kuningan di Indonesia. Bukan hanya mengangkat timbal atau logam beracun lainnya, tapi juga unsur penguat logam tahan korosi yang cocok dengan kandungan mineral air di dalam negeri.
Metode yang ditemukan lelaki yang terpilih sebagai peneliti muda terbaik ke?12 LIPI 2004 itu, sebenarnya sederhana saja. Skrap atau limbah kuningan yang masih mengandung berbagai unsur pengotor seperti krom, nikel, atau timbal dilebur pada tungku bersuhu 1.000 derajat Celsius. Agar timbal terpisah dari kuningan, ditambahkan kalsium silikon yang berat jenisnya lebih ringan. Timbal yang mengambang kemudian digumpalkan dengan natrium fluorida. Gum-palan timbal yang mengapung ini dipisahkan.
Sebagai ganti timbal, Nurul menambahkan unsur fosfor atau timah putih agar kuningan tahan korosi. Fosfor dipilih sebagai unsur penguat karena murah dan ramah lingkungan. ?Dalam konsentrasi yang sangat kecil, 0,01 persen, bisa memperbaiki struktur kuningan sehingga tahan korosi,? kata doktor lulusan Kagoshima University, Jepang.
Kunci dari kesuksesan ini berawal dari ketidaksengajaan Nurul menemukan sebuah software yang mampu menghitung unsur kimia apa yang bisa bereaksi dengan suatu unsur tetapi tidak bereaksi dengan unsur lainnya. Perangkat sederhana ini membantunya menemukan unsur apa yang bereaksi dengan timbal tetapi tidak bereaksi dengan kuningan (tembaga dan zinc).
Nurul optimistis, metode baru ini tak hanya bisa diaplikasikan untuk daur ulang limbah kuningan saja, tapi juga pemurnian berbagai jenis logam, termasuk baja. Bersama peneliti LIPI lainnya, Nurul mempersiapkan penelitian daur ulang baja. Sama dengan penelitian sebelumnya di Jepang dan Bandung, kali ini dia juga menggandeng perusahaan baja sebagai ?laboratorium? pengujiannya.
Kerja sama dengan industri ini adalah upayanya melompati kendala minimnya peralatan laboratorium dan dana penelitian di Tanah Air. Keluhan ini bukan lagi rahasia di antara para peneliti. ?Kalau dana penelitian dipakai beli alat saja, jelas, tidak cukup, sedangkan industri punya alat lengkap. Jadi, uji coba di industri, analisis baru di laboratorium,? ujar Nurul.
Tak mengherankan jika di ruang kerjanya maupun di laboratorium yang sebesar lapangan bola voli di Serpong, tidak ada produk keran kuningan, apalagi tungku pembakaran yang besar dan mahal. Hanya ada peralatan praktikum sederhana seperti mikroskop, alat ukur, alat penguji, tabung gas dan beberapa jenis bahan kimia.
Hanya satu setengah tahun sejak tahun 2000, Nurul bisa menyempurnakan teknik lama. Bila metode lama hanya bisa mengeliminasi timbal sampai 29 persen, temuan pria kelahiran Malang ini bisa mencapai 90 persen. Nurul berhasil mengeliminasi timbal dari kuningan cair sampai 90 persen dari kandungan awal 2,15 persen dengan teknologi compound separation.
Terobosan baru di bidang daur ulang logam ini tentu saja membuat dunia internasional terpana. Selama ini para peneliti di Eropa dan Amerika sudah berusaha keras untuk mencari jalan menghilangkan pengotor beracun dari logam. Selain biaya besar, hasil yang kurang efektif membuat mereka mengambil saja bahan murni dari alam. ?Dan tidak kepikiran menggunakan metode ini,? kata pria berusia 35 tahun ini.
Temuan pria yang fasih berbahasa Jepang ini memberikan pemecahan sekaligus terhadap dua masalah daur ulang logam. Bisa memurnikan logam, sekaligus membuat limbah dapat didaur ulang. Unsur fosfor yang aman bagi kesehatan ditambahkan ke dalam logam untuk menahan korosi.
Ketertarikan mencari rumus penghilang timbal ini juga didorong keinginan untuk menghemat biaya pembelian dan penggantian produk keran, meteran air dan pipa kuningan yang kerap berkarat dan bocor. Dan memang, logam campuran tembaga dan zinc yang selama ini digunakan alat-alat tersebut sangat mudah berkarat. ?Kadang baru tiga bulan sudah bocor,? katanya.
Nurul memperkirakan, akibat produk yang harus sering diganti ini, total kerugian bisa mencapai Rp 2,4 triliun tiap tahun. Asumsinya, dengan lima orang dalam satu rumah, maka 200 juta penduduk Indonesia tinggal di 40 juta rumah. Bila ada satu keran yang rusak dan harus diganti setiap enam bulan maka setiap tahun setiap rumah mengeluarkan biaya Rp 60 ribu untuk perbaikan.
Meski cara penghitungan kerugian tidak sesederhana dan seakurat itu, paling tidak, dia ingin mengatakan, penghematan itu bisa dilakukan jika menggunakan produk keran, pipa kuningan ramah lingkungan yang dihasilkan dengan metode baru ini. Sebab barang-barang tersebut bisa tahan sampai 30 tahun.
Atas usahanya ini, Indonesia Toray Science Foundation memberi dana bantuan penelitian Rp 31,6 juta. Nurul berharap karyanya ini juga dapat dipatenkan di Indonesia dan diaplikasikan untuk memperbaiki sistem instalasi air yang ada. ?Royaltinya ya untuk kantor, peneliti sudah puas kalau karyanya bisa bermanfaat,? ujarnya.
Nurul mengaku kepuasan sebagai peneliti jika bisa memecahkan masalah dan mengatasi tantangan. Pria Jawa Timur yang 14 tahun tinggal di Jepang ini pernah bekerja sebagai pegawai negeri selama empat tahun di sana. Pengalamannya di Negeri Samurai diperolehnya ketika mendapat beasiswa Program Pengembangan Sumber Daya Manusia Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, ketika lulus sebagai pelajar terbaik di SMA Negeri Lawang, Malang, pada tahun 1989. Sejak saat itu dia menjadi peneliti LIPI dan menimba ilmu di Jepang.
?Sudah cukup 14 tahun di negeri orang, saya sudah dapat ilmunya,? kata Nurul di kantornya yang sepi di kompleks Puspitek, Serpong, Tangerang.
Ilmu yang dimaksud Nurul adalah teknologi daur ulang logam. Limbah logam yang tidak bisa digunakan karena mengandung berbagai pengotor dapat dimurnikan kembali. Bermodalkan metode baru temuannya ini?sudah dipatenkan di Jepang pada Januari 2005?Nurul berharap bisa memberikan sumbangan penyelesaian bagi masalah yang dihadapi industri logam di Indonesia.
Tjandra Dewi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo