Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Mi-17 Tak Mendarat di Gedung Bundar

BPK meminta kejaksaan segera mengusut kasus pembelian heli Mi-17. Sejumlah petinggi Departemen Pertahanan direkomendasi untuk diperiksa.

28 Maret 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketua Badan Pemeriksa Keuangan, Anwar Nasution, tak bisa menyimpan rasa penasarannya. Enam bulan sudah, segepok berkas pemeriksaan dari lembaganya telah dikirim ke Kejaksaan Agung. Tapi hingga detik ini tak tampak ada proses lanjutan dari laporan itu. Padahal kasus yang diadukannya itu tak hanya masalah miliaran uang negara, tapi juga menyangkut institusi penting, Departemen Pertahanan. "Masa, Kejaksaan Agung mau lelet terus? Penyidikan kasus bantuan likuiditas Bank Indonesia berjalan lelet, masa kasus kontrak helikopter itu akan berjalan lelet juga," kata Anwar, Ahad pekan lalu.

Perkara yang membuat mantan Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia itu masygul adalah kasus pembelian empat helikopter jenis Mi-17. Setahun silam kasus ini membuat geger banyak orang. Sejumlah nama pejabat tinggi Departemen Pertahanan dan Keamanan pun ikut terseret-seret. Uang negara, menurut BPK, tergerus sekitar US$ 3,2 juta (Rp 27 miliar). "Karena itu kami ingin secepatnya masalah ini diperiksa," kata Imran, anggota BPK yang khusus menangani Departemen Pertahanan, Departemen Luar Negeri, dan Kejaksaan Agung.

Kasus ini bermula pada 2002. Ketika itu TNI Angkatan Darat membutuhkan sejumlah helikopter. Departemen Pertahanan menunjuk Andy Kosasih, perwakilan Swifth Air Ltd., perusahaan jual-beli senjata bermarkas di Singapura, memegang proyek ini. Pilihan jatuh ke heli jenis Mi-17 buatan pabrik Kazan, Rusia. Heli canggih ini, selain mampu mengangkut 30 pasukan, juga dilengkapi peralatan perang elektronik. Swifth memesan heli ini lewat Rosoboronexport, agen penjualan senjata Rusia, dengan harga US$ 21,6 juta (sekitar Rp 185 miliar).

Andy kemudian menerima uang muka US$ 3,24 juta (sekitar Rp 27,2 miliar) dari Departemen Keuangan untuk proyek itu. Tapi, di sinilah muncul kesemrawutan itu. Uang itu tidak disetorkan Andy. Rosoboron protes dan meminta Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Ryamizard Ryacudu turun tangan. Menurut Rosoboron, bukti pengiriman uang dari Andy lewat Bank BNI Jakarta ternyata palsu (Tempo, 6 Juni 2004).

Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto terkejut mendengar kasus ini. Skandal "capung besi" ini pun bergulir kencang. Komisi Pertahanan DPR membentuk tim khusus untuk menelisik masalah ini. Andy, kata Panglima TNI di DPR, bisa menerima uang muka US$ 3,2 juta?meski tak memiliki bank garansi secuil pun?karena dilindungi pejabat Departemen Pertahanan. "Ini memang kesalahan beberapa instansi, tapi yang terkait dengan hukum harus dituntaskan, dan pelakunya harus masuk daftar hitam," kata anggota Komisi Pertahanan DPR Djoko Susilo.

Badan Pemeriksa Keuangan pun tak tinggal diam. Ketua BPK, kala itu Satrio "Billy" Joedono, memerintahkan kasus ini diperiksa. Sekitar lima auditor diterjunkan Billy untuk memelototi dokumen dan aliran dana di balik kasus ini. Ada tiga hal yang menjadi perhatian utama BPK: lelang dan kontrak seputar pembelian heli, masalah pembayaran uang muka, dan tidak diserahkannya heli itu menurut jadwal.

Sejumlah pejabat tinggi di Departemen Pertahanan juga dimintai keterangan. Menurut sumber Tempo, mereka antara lain Sekretaris Jenderal Marsekal Madya Suprihadi, Direktur Jenderal Perencanaan Strategi Pertahanan Mas Widjaja, dan Direktur Jenderal Sarana Pertahanan Mayor Jenderal Aqlani Maza. "Selama sekitar sebulan penuh kami memeriksa kasus ini," ujar seorang auditor BPK kepada Tempo.

BPK memang menemukan keganjilan di balik pengadaan heli tersebut. Misalnya, tak adanya garansi bank dalam pembelian heli tersebut, serta waktu pengeluaran dokumen yang ganjil. "Lucu, kontraknya tanggal 19 Februari, bayar uang mukanya 17 Februari 2004," kata Imran.

Semua hasil pemeriksaan BPK itu kemudian dikirim ke Kejaksaan Agung pada pertengahan September 2004. Dalam dokumen itu BPK menyebut sejumlah nama, termasuk pejabat Departemen Pertahanan, yang direkomendasi untuk diperiksa. Sumber Tempo menyebut sejumlah nama di Direktorat Jenderal Perencanaan Strategi Pertahanan dan Direktorat Jenderal Sarana Pertahanan. "Maaf, saya tak akan membeberkan nama-namanya," kata Imran.

BPK juga mengirim surat ke Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono. Isinya, meminta Juwono membantu proses hukum kasus ini. Pada November 2004 Juwono membalas surat BPK dan mempersilakan semua pejabat di departemennya yang tersangkut kasus ini diproses secara hukum. Juwono sendiri dalam waktu dekat akan mengganti sejumlah dirjennya. Tapi Juwono menolak penggantian itu dihubungkan dengan kasus Mi-17 ini. "Tidak ada kaitannya, mereka sudah waktunya diganti," kata Yuwono kepada Nezar Patria dari Tempo.

Pada September lalu Kejaksaan Agung sebenarnya sudah melakukan gelar perkara kasus ini. Lima auditor BPK dipanggil mengikuti acara itu di Gedung Bundar, kantor Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus. "Kejaksaan menyimpulkan ada indikasi perbuatan melawan hukum dalam kasus ini," kata I Sekar Pasek, auditor utama BPK yang ikut hadir dalam acara itu.

Namun belakangan ternyata Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga mendapat laporan kasus ini. Kejaksaan pun berkoordinasi dengan KPK, dan pada Desember lalu kasus ini pun "terbang" ke KPK. "Menurut undang-undang, kalau sudah ditangani KPK, kejaksaan tak lagi berhak," kata Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, Sudono Iswahyudi.

Erry Riyana Hardjapamekas, Wakil Ketua KPK, mengakui kasus Mi-17 kini dipegang komisinya. "Kami sedang mengumpulkan semua data dan keterangan yang terlibat kasus ini," katanya. Erry menegaskan, KPK akan mengusut kasus hingga tuntas. "Kita melacaknya dari hulu hingga hilir, karena yang terlibat bukan hanya orang yang disebut-sebut di media saja," ujarnya. Jadi, BPK mungkin harus bersabar dulu dengan hasil temuannya itu.

L.R. Baskoro


Kisah Si "Capung Besi" Mi -17

10 Oktober 2002 PT Putra Pobiagan Mandiri, rekanan Departemen Pertahanan, dipilih Angkatan Darat untuk pengadaan empat helikopter Mi-17.

19 Desember 2002 KSAD Jenderal Ryamizard mewakili Menteri Pertahanan meneken kontrak dengan perusahaan Singapura, Swifth Air & Industrial Supply Pte. untuk pengadaan empat heli. Swifth adalah mitra Putra Pobiagan.

30 Desember2002 Uang muka US$ 3,2 juta (sekitar 27 miliar) dari total empat heli Mi-17 senilai US$ 21,6 juta (sekitar Rp 185 miliar) dikirim Departemen Keuangan kepada Swifth yang diwakili Andy Kosasih. Uang muka ditransfer dari Bank Indonesia ke rekening Switfh di kantor Bank HSBC cabang Jurong, Singapura.

19 Februari 2003 Swifth mengikat kontrak dengan Rosoboronexport, agen penjualan peralatan militer Rusia, untuk pembelian empat helikopter.

30 Desember 2003 Andy Kosasih menyatakan perusahaan keuangan Alternarig, mitra Swifth Air, sudah mentransfer US$ 2,6 juta, sebagai bagian dari uang muka, lewat Bank BNI Jakarta.

Januari 2004 Perwakilan Rosoboron Indonesia mendapat laporan tidak ada dana yang masuk ke rekening mereka. Rosoboron mengecek bukti transfer ke BNI dan menemukan bukti pengiriman uang itu palsu.

12 Januari 2004 Rosoboron mengirim surat kepada Kepala Staf Angkatan Darat atas ketidakberesan Swifth dan belum dibayarnya uang muka. Rosoboron menyatakan proses akhir produksi empat helikopter dihentikan.

11 Maret 2004 Komisi Pertahanan DPR memanggil semua pihak yang terkait kasus ini.

23 Maret 2004 BPK mulai memeriksa kasus pembelian heli Mi-17

10 September 2004 BPK mengirimkan berkas pemeriksaan kasus Mi-17 ke Kejaksaan Agung

22 September 2004 Tim BPK menghadiri pemaparan kasus Mi-17 oleh tim Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus. Kesimpulan kejaksaan: Ada indikasi perbuatan melawan hukum

April 2005. Ketua BPK Anwar Nasution mendesak Kejaksaan Agung segera memeriksa kasus pembelian Mi-17.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus