Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Enak benar jadi gubernur. Hidup dengan fasilitas negara. Jika tersangkut masalah hukum, tinggal minta jasa advokat kondang untuk tampil membela di pengadilan. Mahalnya biaya tak menjadi soal, toh yang membayar negara juga. Misalnya dengan cara membelokkan dana dari salah satu mata anggaran di APBD.
Tentu saja tak semua gubernur sepakat, termasuk Djoko Munandar. Gubernur Banten yang sedang kesandung kasus dugaan korupsi ini menyatakan dengan tegas. "Saya tidak seperti itu. Saya masih punya duit pribadi untuk membayar pengacara," kata Djoko kepada Tempo, Selasa pekan lalu.
Djoko, yang saat ini telah ditetapkan sebagai tersangka penyelewengan dana APBD tahun 2003 senilai Rp 14 miliar oleh Kejaksaan Tinggi Banten, mengatakan untuk membayar pengacara dia merogoh kantongnya sendiri. "You sendiri tahu, saya jadi tersangka karena kasus APBD. Mana saya berani menggunakan dana APBD untuk membayar pengacara?" katanya.Â
Djoko tak bersedia mengungkap total biaya yang dikeluarkan untuk pengacaranya. "Saya rasa itu sangat terkait dengan etika pengacara dan saya sebagai kliennya. Saya jamin tak ada uang rakyat Banten yang masuk kantong pengacara saya," kata Djoko.
Menurut tuduhan jaksa, dana yang diselewengkan itu sedianya untuk bencana alam yang dialokasikan dalam pos pengeluaran tak terduga APBD Banten 2003. Namun, dalam tuduhan jaksa disebutkan, uang itu digunakan untuk pengadaan rumah pribadi anggota DPRD Banten senilai Rp 10,5 miliar, sisanya untuk kegiatan anggota Dewan.
Kepada Tempo, Djoko mengaku hanya melakukan pelanggaran administrasi. "Tak seperak pun uang negara masuk ke kantong saya," katanya. Kendati demikian, dia tetap akan menaati proses hukum. "Sebagai warga negara yang baik, mari kita bangun negara hukum," katanya. Dan Djoko kemudian menunjuk Hendri Yosodiningrat sebagai kuasa hukumnya.
Tokoh di daerah lain yang kini juga sedang berurusan dengan penegak hukum adalah Adolf J. Sondakh. Bekas Gubernur Sulawesi Utara ini terkait kasus menyalahgunakan dana Rp 11,3 miliar dalam proses pembayaran utang hotel milik Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara, Manado Beach Hotel (MBH).
Sejauh ini, Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara menempatkan Sondakh sebagai saksi. Itu sebabnya dia belum memakai jasa pengacara. "Bila memang perlu, saya akan menggunakan biro hukum. Ini kan masalah pemerintahan," katanya, Selasa pekan lalu. Kendati demikian, Sondakh tidak menutup kemungkinan memakai jasa pengacara profesional. Soal biaya, dia belum bisa memastikan sumbernya.
Zainal Bakar, yang telah melepaskan jabatannya sebagai Gubernur Sumatera Barat pada 8 Maret lalu, juga dituduh korupsi. Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat sudah menetapkannya sebagai tersangka dalam kasus penyelewengan dana anggaran DPRD Sumatera Barat 2002 senilai Rp 5,9 miliar.
Hingga kini, sumber dana yang digunakannya membayar pengacara belum jelas benar dari mana datangnya. Wakil Ketua DPRD Sumatera Barat, Mahyeldi Ansyarullah, merasa perlu mempertanyakan masalah itu. Dia berjanji akan menelusurinya. Sementara itu Kepala Biro Hukum Pemerintah Provinsi Sumatera Barat, Suherman Raza, mengatakan, "Saya tak mau diwawancarai tentang masalah ini. Saya tak mau komentar."
Yang kini banyak dipersoalkan, bisakah biaya perkara, termasuk ongkos pengacara bagi pejabat yang terkena kasus hukum, dibebankan ke negara? Menurut Mahyeldi "Tidak pantas dibebankan ke negara, karena itu perilaku pribadi," katanya tegas.
Nurlis E. Meuko, Faidil Akbar (Banten), Ahmad Heid (Manado), dan Febrianti (Padang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo