Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Obat Generik Versus Obat Esensial

Masalah obat ramai diperbincangkan. istilah "obat generik" dan "obat esensial" telah banyak dikacaukan oleh dokter, ahli farmasi & wartawan. istilah yang tidak mempunyai hubungan langsung satu sama lain.

28 Januari 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AKHIR-akhir ini masalah obat ramai diperbincangkan. Berbagai istilah yang mungkin membingungkan bermunculan. Antara lain istilah 'obat generik" dan "obat esensial". Kedua istilah ini telah banyak dikacaukan, oleh dokter, ahli farmasi maupun wartawan. Terutama bila dikaitkan dengan harga obat dalam isu "menurunkan harga obat" atau "harga obat yang tinggi", atau "bagaimana kita dapat menulis resep yang lebih murah". "Obat generik" dan "obat esensial" adalah dua istilah yang berbeda, yang tidak mempunyai hubungan langsung satu sama lain. Pengertian mengenai kedua istilah ini perlu dijernihkan sehingga Konsep Obat Esensial (KOE) yang merupakan konsep Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) tidak menjadi kabur. KOE sudah diterapkan dalam pelayanan kesehatan pegawai negeri yang terkenal dengan Perum Husada Bhakti (Askes). Di rumah sakit pemerintah dan puskesmas, konsep ini telah juga diterapkan pada penderita swasta, namun mengalami berbagai hambatan. Untuk suatu negara berkembang, memang tidak ada jalan lain untuk mencukupi pembiayaan kesehatan nasional sektor obat, mengingat pemborosan yang dapat timbul akibat pemberian obat yang tidak terkendali. Karena itu, pemerintah bertekad menerapkan KOE ini di rumah sakit pemerintah dan puskesmas secara konsekuen. Obat generik berarti suatu sediaan obat jadi yang tidak diberi nama dagang dan dipasarkan dengan nama generik. Nama generik ialah nama umum, atau nama resmi yang dipakai dan dikenal di seluruh dunia. Tujuannya untuk memberi pengertian yang sama pada semua orang terhadap suatu zat kimia tertentu, sehingga beribu-ribu zat kimia ini dapat dibedakan dengan jelas. Dalam policy produksi obat, tentunya si pembuat mau mencantumkan nama yang menarik dan mudah dikenal sebagai kaitan dengan nama pabriknya, dan karena itu sebagian besar pabrik obat memberi nama dagang tertentu pada obat produksinya. Misalnya: asetosal antara lain diberi nama dagang Aspirin dan Cafenol, sedang ampisilin sebagai Penbritin, Amfipen, Ultrapen, dan sebagainya. Berbeda dengan nama generik, nama dagang suatu obat terkadang hanya dikenal di suatu negara tertentu. Nama dagang ini, walaupun berasal dari pabrik (multinasional) yang sama, mungkin diperdagangkan dengan nama dagang lain di negara lain. Tidak demikian halnya dengan obat generik, karena nama generik akan selalu sama di seluruh dunia. Kadang-kadang nama generik bisa lebih dari satu, misalnya adrenalin dan epinefrin, yang sebenarnya identik. Konsekuensi menjual obat dengan nama generik biasanya ialah bahwa harga jualnya jauh di bawah harga obat yang mempunyai nama dagang. Ini lazim terjadi dengan obat-obat yang masa berlaku hak paten produknya (bedakan dengan hak paten nama dagang) sudah lewat. Namun, di suatu negara tempat hak paten produk tidak diakui seperti di Indonesia, suatu obat yang relatif baru bisa saja diproduksi dengan nama generik, karena produk ini bisa diperoleh di pasaran dunia bebas sebagai hasil "bajakan" oleh produsen tertentu. Biasanya obat baru seperti ini hampir selalu akan diberi nama dagang, karena lebih menguntungkan untuk dijual. Obat generik yang relatif baru ini pasti akan berharga lebih murah dari produk pabrik penemunya, tetapi kadang-kadang kualitasnya dapat berbeda. Walaupun secara kimia suatu obat sudah ditentukan rumusnya sehingga semestinya tidak akan berbeda dari satu produk ke lain produk, selalu ada kemungkinan bahwa dua produk itu tidak identik. Pernyataan ini tidak berarti bahwa "selalu" akan ada perbedaan, dan harus diartikan "kadang-kadang ada perbedaan". Dengan pengertian nama generik seperti diuraikan di atas jelaslah bahwa bila beberapa obat dicampur dalam satu obat kombinasi, tidak bisa dipakai nama generik karena namanya akan merupakan kombinasi dari nama generik komponen-komponen obat kombinasi tersebut. Kadang-kadang ada juga kombinasi obat yang diberi nama generik karena memang lazimnya digunakan selalu bersama, misalnya kotrimoksazol, yang merupakan campuran dari dua obat tunggal, trimetoprim dan sulfametoksazol. Nama "obat esensial" baru dikenal tahun 1977, setelah WHO mengeluarkan Technical Report Series No. 615, yang berjudul The Selection of Essential Drugs. Laporan ini telah dibuat oleh suatu panitia ahli, dan alasan pembuatan laporan ini ialah bahwa di hampir setiap negara terdapat: 1. pemborosan penggunaan obat 2. penggunaan obat yang berlebihan tanpa manfaat yang memadai 3. penggunaan obat yang tidak rasional Juga terdapat keluhan di negara berkembang bahwa rakyat yang kurang mampu tidak dapat menikmati faedah obat karena di luar jangkauan mereka. Walaupun masalah ini luas sekali dan tidak dapat dipecahkan oleh satu pihak, dengan menunjukkan bagaimana obat harus digunakan dengan baik, diharapkan dapat terjadi perbaikan terhadap masalah tadi. Hal inilah yang dituangkan dalam Technical Report Series tersebut. Dengan cara membuat daftar obat esensial, kita bisa memilih obat dengan lebih baik, dengan sendirinya membatasi penggunaan obat, dan mengobati penderita secara lebih rasional. Sebagai akibatnya, beban biaya pengobatan akan dikurangi karena digunakan hanya untuk obat-obat yang benar-benar mempunyai rasio manfaat-risiko yang paling baik. Daftar obat esensial terdiri dari 200-500 (jumlah absolutnya tidak penting) nama obat yang telah dipilih dari sekian banyak obat yang beredar. Dan telah terbukti secara ilmiah bahwa obat-obat ini adalah pilihan yang terbaik untuk kira-kira 90% dari semua penyakit yang ada. Ini tentu tidak berarti bahwa obat-obat yang di luar daftar tersebut tidak diperlukan sama sekali. Sebagian tetap diperlukan, namun tidak dalam jumlah yang begitu besar, karena mungkin berguna untuk keadaan atau kasus-kasus tertentu saja. Obat-obat esensial seharusnya dipilih sedemikian rupa sehingga sebagian terbesar penderita akan memberikan respons yang baik dengan obat-obat itu. Obat esensial mempunyai potensi menyembuhkan yang terbesar dan terbaik. Suatu keuntungan lain dalam pemakaian daftar obat terbatas seperti ini ialah bahwa dalam suatu unit kesehatan terorganisasi seperti rumah sakit, puskesmas, puskes ABRI, santunan asuransi, palang merah, penanganan kesehatan pada bencana alam dan sebagainya, dapat diperoleh kesederhanaan dalam menyediakan menyimpan, dan menggunakan obat-obat. Dengan demikian, obat yang tidak efektif dan relatif lebih berbahaya tidak perlu disediakan. Dari uraian tersebut di atas, telah jelas bahwa obat esensial tidak sama dengan obat generik. Obat esensial bisa disediakan dengan nama generik maupun nama dagang. Hal ini tergantung kemampuan keuangan yang tersedia. Yang lebih penting sebetulnya adalah kualitas obatnya. Bila obat-obat esensial yang disediakan tidak memenuhi persyaratan kualitas yang baik, tentu akan terjadi cemoohan bahwa obat esensialnya yang buruk. Tetapi sebenarnya bukan daftar esensialnya buruk, namun kualitas obatnya sendiri yang substandar. Obat (generik atau nama dagang) yang mutunya kurang memenuhi syarat ini seharusnya dilarang beredar, karena dalam hal obat tidak boleh berlaku standar ganda. Peraturan Departemen Kesehatan memang mengharuskan semua obat mempunyai kualitas yang baik, namun aparat pengontrolnya harus memuaskan. Karena itu, dokter, apoteker, dan masyarakat diharapkan melaporkan ke Departemen Kesehatan bila menemukan atau mencurigai obat substandar dan palsu. Nah, apa sekarang yang menjadi kesulitan untuk diterapkan, walaupun konsep ini mempunyai dasar ilmiah yang kuat dan rasional? Rupanya, para dokter, pemakai obat, yang tergabung dalam organisasi kesehatan rumah sakit dan lainnya belum dapat mengubah kebiasaan untuk menentukan obat untuk penderita secara berkelompok. Kebebasan yang telah "dinikmati" dokter selama berabad-abad rupanya sulit diubah. Dengan membengkaknya jumlah dokter (dan penderita) di suatu rumah sakit, dan sekaligus dengan bertambahnya jumlah obat baru yang mengalir di pasaran, mustahil bila cara-cara lama harus dipertahankan. Bayangkan jika 600 dokter di suatu rumah sakit mempunyai selera sendiri-sendiri dalam pemilihan obat, berapa banyak jenis obat harus disediakan oleh apotek? Dan bila satu jenis tidak dipakai lagi karena datang detailman yang mempromosikan obat lain, maka obat yang satu tadi akan rusak dan terbuang. Hal ini masih dipersulit dengan faktor bahwa mengenal obat baru yang datang dengan kecepatan yang menakjubkan tidaklah mudah. Obat baru adalah seperti teman baru yang masih harus dikenal sifatnya. Untuk dapat dipergunakan bersama, suatu daftar obat esensial tentunya harus dibuat dan ditetapkan oleh para pemakai sendiri. Dan untuk mengurangi perselisihan paham dan pendapat, mengenai pilihannya, obat-obat harus dipilih dengan dasar ilmiah dan tidak dengan cara "suka dan tidak suka". Dengan demikian, suatu daftar obat esensial tidak merupakan daftar obat untuk orang miskin, tetapi justru adalah obat-obat yang paling baik. Obat yang termasuk dalam daftar ini harus tersedia, tidak boleh tidak tersedia, dan dengan demikian tercermin yang dimaksud dengan "esensial". Daftar ini tentu dapat berbeda menurut kebutuhan riil institut yang menggunakannya. Jelas bahwa suatu rumah sakit besar akan membutuhkan lebih banyak jenis obat daripada suatu puskesmas. Tahap selanjutnya ialah bahwa obat-obat esensial perlu dimanfaatkan secara konkret. Untuk ini, telah ada banyak pabrik farmasi yang memproduksi obat-obat tersebut, karena itu diperlukan suatu proses pemilihan dari nama generik ke nama dagang. Tindakan yang logis ialah memilih dengan memperhatikan kualitas dan harga. Kualitas baik tidak boleh dikorbankan demi harga yang lebih murah. Pelanggaran terhadap prinsip ini akan merusakkan citra KOE, karena dengan demikian obat esensial akan dikaitkan dengan obat berkualitas rendah. Karena itu, obat-obat tertentu yang akan dipilih untuk pembelian tender perlu diperiksakan kualitasnya oleh instansi ketiga yang tidak memihak. Suatu bahaya lain di mana citra obat esensial ini bisa menjadi jelek ialah bila kita tidak memperhatikan jumlah obat yang dipesan/disediakan. Satu jenis bisa kekurangan, sedangkan jenis lain berlebihan, sehingga mengalami kerusakan. "Studi penggunaan obat" penting sekali diadakan untuk memperkirakan obat apa dan jumlah yang akan digunakan per 1.000 penderita per unit waktu. Setelah semua obat tersedia dengan jenis dan jumlah yang mencukupi, masih terdapat satu hal yang tak boleh terlupakan. Yaitu membahas pemakaian daftar obat ini dengan para dokter yang tergabung dalam unit kesehatan bersangkutan secara terus-menerus. Tanpa persuasi serta pengertian dan penerimaan mereka program obat esensial tidak mungkin dapat terlaksana dengan baik. Lazimnya, suatu perubahan sistem akan menimbulkan keengganan, apalagi menata kembali kebebasan dokter menulis suatu resep. Apakah dengan adanya pengarahan pada penulisan resep terjadi perampasan hak dan kompetensi dokter? Masalah ini sulit dipahami. Dokter memang diberi (oleh siapa tidak jelas) kekuasaan penuh untuk menentukan obat apa yang perlu diberikan pada penderitanya. Hal ini telah menjadi kebiasaan turun-temurun dari zamannya ilmu itu sendiri. Namun, dengan perkembangan yang begitu pesat dalam bidang penemuan dan produksi obat, kemajuan ini tak terjangkau lagi untuk dikuasai seorang dokter sepenuhnya. Malahan tak seorang pun dapat menguasa seluruh masalah obat. Walaupun di tingkat Direktorat Pengawasan Obat terdapat suatu panitia ekstern yang memberi nasihat tentang obat yang akan dipasarkan di negeri ini, tak dapat dijamin bahwa semua obat yang beredar di sini aman dan efektif. Sampai berapa aman dan berapa efektif, hal ini masih meupakan pertanyaan yang perlu diarahkan oleh undang-undang dan peraturan dengan dasarnya yang ilmiah. Kemudian, mempertimbangkan rasio manfaat-risiko pemakaian obat yang baik adalah tugas dokter untuk menerapkan pada setiap penderitanya. Bagaimana proses pertimbangan ini dilakukan supaya penderita mendapat manfaat sebesarnya dan risiko sekecilnya adalah di luar lingkup tulisan ini. Anggota dan Wakil Ketua WHO Expert Committee on the Selection of Essential Drugs (1977, 1979, 1983)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus