PENAMPILAN dan tingkah laku Doogie laiknya tikus biasa. Berbulu cokelat, bermata bulat, dan berbuntut panjang serta senang mengendus, menggerogoti kayu, dan memanjat. Tapi ada yang membuatnya luar biasa. Tikus ini ternyata jauh lebih pintar ketimbang tikus-tikus lainnya. Setiap diajari sesuatu, Doogie—namanya meniru Doogie Howser, dokter cilik jenius dalam drama TV populer yang pernah diputar di Indonesia pada awal 1990-an—dengan cepat bisa menguasainya.
Meski tikus sepintar dia belum pernah ditemui, Doogie bukanlah spesies tikus baru. Keistimewaan yang dimilikinya itu adalah "anugerah" para ilmuwan di Universitas Princeton dan Universitas Washington, AS. Untuk pertama kalinya di dunia, para ilmuwan berhasil mengganti materi genetik Doogie, DNA (asam deoksiribonukleat), dengan suatu gen tunggal yang disebut NR2B. Hasilnya adalah tikus super yang cerdas.
Ke dalam embrio tikus, para peneliti menyisipkan salinan ekstra gen yang berperan dalam mekanisme hubungan yang terjadi di antara 100 miliar saraf yang terdapat di dalam otak. Gen NR2B itu tidak hanya dimiliki tikus tapi juga seluruh mamalia, termasuk manusia. Gen ini membantu pembentukan suatu protein saraf yang membuat otak mengenali dua hal yang berhubungan, misalnya bunyi klakson sepeda motor dan klakson pengantar makanan pesanan.
Dibandingkan dengan tikus lainnya, Doogie terbukti lebih cepat mengenali obyek yang beberapa menit sebelumnya diperkenalkan kepadanya. Doogie juga cepat belajar dari pengalamannya. Ada salah satu pengujian, misalnya, yang membuat Doogie menerima kejutan setelah suatu suara dibunyikan. Hingga 10 hari kemudian Doogie bisa melakukan antisipasi untuk menghindari sakit begitu ia mendengar suara yang sama.
Namun, kemampuan Doogie ada batasnya. Kehebatan memorinya ternyata hanya untuk ingatan jangka pendek. Ia hanya bisa mengingat kejadian dalam jangka waktu seminggu. Lewat dari itu, ia tidak bisa lagi membedakan benda-benda lama dan baru yang dikenalnya.
Meski begitu, keberhasilan para ilmuwan mengubah tikus biasa menjadi cerdas telah mengundang perdebatan etika apabila teknik serupa dicobakan pada manusia. Dikhawatirkan teknik itu akan disalahgunakan untuk membuat manusia cerdas. Tak terbayangkan bahwa kelak orang tua bisa memesan anak yang inteligensinya setinggi Einstein, misalnya.
"Kita memang berada pada era ketika temuan di bidang biologi dan inteligensi melampaui kapasitas budaya untuk bisa menerimanya secara etis," kata Joe Tsien, ahli biologi molekuler di Universitas Princeton, yang memimpin penelitian yang menghasilkan Doogie, kepada Washington Post.
Namun, untuk menciptakan "manusia Einstein" saat ini mungkin masih terasa mustahil. Soalnya, inteligensi manusia merupakan suatu fenomena yang kompleks. Tak sekadar kemampuan mengingat, ada lingkungan sosial dan pengalaman yang mempengaruhi otak dalam menghubungkan dan mengolah berbagai informasi.
Saat ini pun yang diketahui para ilmuwan mengenai memori baru sedikit. Yang pasti, otak manusia terdiri dari banyak sistem. Setiap sistem itu punya peranan sendiri-sendiri. Bentuk, tekstur, bunyi, rasa, wajah, nama, bahasa, dan sebagainya, direkam oleh sistem-sistem yang berbeda. Setiap sistem ini kemudian mengirim memori yang telah terekam ke hippocampus, bagian otak tempat memori jangka pendek dibuat permanen. Dari hippocampus, memori yang sudah diawetkan ini kemudian disimpan di berbagai titik di korteks atau kulit otak terluar. Sampai di sini, para ilmuwan belum tahu pasti apa sebetulnya yang terjadi di setiap titik dan bagaimana setiap bagian akhirnya bisa kompak berfungsi bersama-sama.
Kekompakan itu terjadi dalam setiap proses mengingat, contohnya sebagai berikut. Andaikan Anda mencoba membayangkan sebuah kursi. Yang Anda ingat tentu bukan hanya namanya (yaitu kursi), tapi juga fungsi, bentuk, berat, warna, dan kenyamanannya. Setiap memori itu datang dari berbagai titik di korteks, bukan hanya dari satu bagian otak. Otak Andalah yang membuat koneksi dari berbagai memori tadi sehingga akhirnya kursi tersebut tervisualisasi secara komplet.
Kalau seseorang ingat wajah tapi lupa nama, itu biasanya terjadi karena kegagalan otak membuat koneksi. Semakin tua, biasanya kejadian begini semakin sering dan semakin parah. Proses melemahnya memori yang berhubungan dengan usia inilah yang mendorong para pakar biologi di Princeton melakukan eksperimen dengan Doogie. Dan tampaknya para ilmuwan akan maju terus hingga intervensi genetik bisa dilakukan pada manusia. Maklumlah, terapi dengan gen NR2RB menjanjikan prospek cerah. Setidaknya, terapi itu bisa dikembangkan untuk mengatasi penyakit pikun semacam alzheimer, yang hingga kini belum ada obatnya.
Wendi Ruky
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini