MEREKA yang berusia 18 hingga 45 tahun, waspadalah, bila tiba-tiba pemerintah mengharuskan Anda menjadi rakyat terlatih. Bila menolak, Anda bisa dipidana enam bulan penjara. Pidana serupa juga berlaku terhadap rekan Anda yang berupaya menggagalkan program wajib militer terhadap Anda. Bila upaya itu dilakukan oleh pemimpin instansi atau perusahaan Anda, mereka bisa dipidana setahun penjara.
Dalam program rakyat terlatih, para pemuda digembleng seperti militer. Sesudah itu, mereka dibolehkan kembali ke lingkungan semula, berdasarkan hubungan hukum dan digaji oleh instansi atau perusahaan yang lama. Tapi, bersamaan dengan itu, sebagai rakyat terlatih, mereka menerima penghasilan tambahan plus biaya perawatan yang dikucurkan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Konsekuensinya, mereka wajib melaksanakan tugas yang kemudian diberikan oleh pemerintah. Tugas itu ada beberapa: diperbantukan ke pemerintah daerah di bidang ketertiban umum dan perlindungan rakyat, atau ke jajaran polisi di bidang keamanan rakyat, atau bahkan bergabung memperkuat TNI bila menghadapi musuh.
Dengan perangkat peraturan itu, personel keamanan rakyat (kamra), pertahanan sipil (hansip), resimen mahasiswa (menwa), bantuan polisi (banpol), juga polisi khusus (polsus), serta satuan pengamanan (satpam), otomatis menjadi rakyat terlatih. Sepintas, aturan dalam Rancangan Undang-Undang Rakyat Terlatih itu—disetujui DPR pada 23 September lalu, bersamaan dengan Rancangan Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya (RUUPKB)—sepertinya tak bermasalah.
Mungkin lantaran orang menganggap ketentuan itu cuma pelaksanaan Pasal 30 UUD 1945 tentang kewajiban membela negara. Atau karena perhatian masyarakat sangat tersita hanya pada RUUPKB, yang sampai menimbulkan banyak korban. Sementara itu, pemerintah memanfaatkan jangka waktu yang begitu mendesak pada masa akhir tugas DPR dengan mengajukan segerobak rancangan undang-undang. Walhasil, banyak rancangan undang-undang yang tak terpantau.
Padahal, menurut Koordinator Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, Munir, calon undang-undang rakyat terlatih sebagaimana RUUPKB bakal menjadi sumber kecemasan masyarakat. Sebab, ketentuan itu juga melegitimasi dominasi militer terhadap masyarakat sipil. Tilik saja kriteria pemberlakuan rakyat terlatih, yang tak diatur secara tegas dalam calon undang-undang tersebut.
Mestinya, menurut Munir, rakyat terlatih diterapkan dalam keadaan perang. Itu pun rakyat hanya bertugas membantu pelayanan publik, bukan ikut berperang. Pada 1962, ketentuan semacam itu diterapkan sewaktu konfrontasi Indonesia dengan Malaysia dan pengembalian Irianjaya ke Indonesia.
Sebaliknya, bila ketentuan itu diberlakukan dalam keadaan normal, rakyat terlatih akan bertugas menghadapi siapa? Pengalaman pahit yang dialami anggota pengamanan swakarsa (pamswakarsa) dalam sidang MPR tahun 1998 ataupun kamra sekarang ini menunjukkan bahwa mereka ternyata digunakan untuk melawan mahasiswa. "Kalau rakyat terlatih dijadikan bemper (bantal pengaman) dan diadu dengan sesama rakyat, jelas itu tidak benar," ujar Munir.
Selain itu, kriteria orang yang bisa dijadikan rakyat terlatih juga sangat bergantung pada TNI. Tak ada mekanisme kontrol pada proses penentuan itu. Tak mustahil kelak, yang dikenai wajib militer adalah tokoh mahasiswa yang sering unjuk rasa atau orang yang dianggap suka mengkritik pemerintah. Dengan kondisi demokrasi yang babak-belur, Munir berpendapat sebaiknya Undang-Undang Rakyat Terlatih tak perlu ada.
Kritik Munir ditepis dengan keras oleh anggota DPR, Aisyah Amini, dan Kepala Pusat Penerangan TNI, Mayor Jenderal Sudrajat. Menurut kedua tokoh itu, rakyat terlatih bukan merupakan alat perpanjangan tangan militer. "Soal membela negara bukan hanya urusan militer, tapi menjadi kewajiban semua warga negara," kata Aisyah, yang ikut membahas RUUPKB. Lagi pula, konsep pertahanan dan keamanan Indonesia menganut sistem perlawanan rakyat semesta.
Menurut Sudrajat, rakyat terlatih diperlukan baik dalam keadaan normal maupun perang. Alasannya, jumlah tentara diperkirakan tidak cukup untuk menangkal ancaman agresi negara lain atau pemberontakan yang melibatkan pihak asing. "Misalnya, di Sumatra terjadi pemberontakan yang diprovokasi Australia. Tanpa perlu menunggu perang meletus, pasukan rakyat terlatih bisa segera dibentuk dan mereka siap perang," katanya.
Sudrajat juga membantah tudingan bahwa kamra sebagai rakyat terlatih digunakan untuk menghadapi demonstrasi mahasiswa. Justru sekarang terbukti bahwa kamra sangat berguna untuk membantu polisi lalu lintas. "Saya kira, ribut-ribut soal Undang-Undang Rakyat Terlatih akan berakhir bila orang sudah melihat hasilnya," Sudrajat berusaha meyakinkan.
Happy S., Andari Karina Anom
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini