Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Hai Pengadilan, Hentikan Kekerasan

Keluarga korban pembantaian di simpang jalan KKA Aceh menuntut presiden dan Panglima TNI. Beranikah pengadilan menghukum pelaku kekerasan terhadap warga sipil?

10 Oktober 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERISTIWA berdarah di Kampus Universitas Trisakti—empat mahasiswa tewas diberondong peluru yang berasal dari pasukan berseragam tak dikenal—sampai kini tinggal teka-teki yang tak bisa dijawab oleh pemerintahan Habibie. Demikian pula peristiwa berdarah Semanggi—November 1998—yang merenggut 22 nyawa. Di bawah pemerintahan B.J. Habibie, selain bentrokan di daerah—dari Aceh, Ambon, Sambas, Banyuwangi, hingga Ciamis—pekan lalu, di sekitar Jembatan Semanggi, Jakarta, terjadi lagi pertumpahan darah. Kali ini enam orang tewas, seorang di antaranya Yap Yun Hap, mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Indonesia. Kalau ditilik jumlah korban yang jatuh, Aceh berada di peringkat teratas, dari penembakan membabi buta di simpang jalan Pabrik Kertas Kraft Aceh (KKA), Krueng Geukeuh, Aceh Utara, berlanjut di Ara Kundoe, Aceh Timur, sampai kasus pembantaian di Beutong Ateuh, Aceh Barat. Kejadian di simpang KKA pada siang hari tanggal 3 Mei 1999 terhitung tragis. Ketika itu, rentetan mitraliur dari senjata tentara bertubi-tubi ditembakkan ke arah massa. Akibatnya, 40 warga sipil tewas dan 115 orang luka parah. Kepala Pusat Penerangan Tentara Nasional Indonesia (TNI), waktu itu Mayor Jenderal Syamsul Maarif, mengaku bahwa tindakan keras aparat keamanan semata-mata untuk membela diri terhadap amuk massa. Selain dipicu oleh hilangnya seorang anggota tentara, menurut Syamsul, tindakan itu juga untuk melindungi instalasi vital berupa markas detasemen peluru kendali. Di situ memang terdapat gudang amunisi berisi peluru kendali yang dipersiapkan untuk menjaga proyek penting, termasuk Ladang Gas Arun, Lhokseumawe. Namun, warga Aceh tak bisa menerima dalih "demi peluru kendali" itu. Apalagi pada peristiwa berdarah di Krueng Geukeuh, rentetan senapan menyalak tanpa kendali dari arah belakang kerumunan massa. Empat bulan setelah kejadian itu berlalu, pemerintah tak kunjung mengusutnya. Nasib serupa juga terjadi pada berbagai aksi kekerasan terhadap warga sipil di Aceh. "Bagaimana bisa dalam suatu negara ketidakadilan seperti itu terus terjadi?" kata Abdul Rahman Yacob, salah seorang pengacara keluarga korban penembakan di Krueng Geukeuh. Karena sudah patah arang dengan sikap pemerintah, akhirnya delapan warga dari para korban tadi menggugat presiden, Panglima TNI, serta Gubernur Aceh. Mereka mendaftarkan gugatannya ke Pengadilan Negeri Banda Aceh, Sabtu dua pekan lalu. Abdul Rahman mengakui bahwa gugatan itu lebih bersifat perjuangan moral. Namun, kalaupun gugatan terhadap aksi kekerasan TNI gagal di pengadilan, mereka akan melanjutkan perkaranya ke Mahkamah Internasional. Dalam menghadapi prakarsa Abdul Rahman, Kepala Pusat Penerangan TNI, Mayjen Sudrajat, beranggapan bahwa keluarga korban peristiwa Krueng Geukeuh tidak realistis. "Tragedi itu mesti dipandang secara keseluruhan, termasuk sebab-sebabnya," demikian tutur Sudrajat. Ia berharap, masyarakat tidak semata-mata menyalahkan TNI. Alasannya, sewaktu kejadian, TNI sudah dikepung oleh masyarakat yang membawa senjata tajam. Dan tiba-tiba ada rentetan tembakan dari arah masyarakat yang, menurut pengusutan pihak TNI, dilakukan oleh kelompok separatis Gerakan Aceh Merdeka. "Prajurit TNI benar-benar terancam, sehingga terjadilah tragedi itu," ujar Sudrajat, dengan kisah versi TNI. Ditambahkannya, agar dapat benar-benar menyelesaikan masalah Aceh, kedua pihak sebaiknya tak saling menghujat dan menuntut. "Mestinya bisa dialog. Kalau ada yang salah, ya, saling memaafkan, demi masa depan Aceh yang lebih baik," kata Sudrajat, di akhir keterangannya. Versi sipil dan versi TNI cukup jauh berbeda, hingga gugatan Abdul Rahman akan menjadi kasus yang tidak mudah bagi pihak pengadilan. Yang pasti, tragedi Krueng Geukeuh mengandung muatan tindak kekerasan sangat mencolok terhadap warga sipil. Ironisnya, berbagai kasus yang memperburuk rapor Orde Baru itu bukannya ditanggulangi, sebaliknya malah diulangi. Kalaupun ada satu-dua kasus yang sampai ke pengadilan, hasilnya sangat mengecewakan. Contohnya, peradilan kasus penculikan mahasiswa serta penggiat demokrasi, dan peradilan kasus Trisakti. Selain terdakwa yang diajukan cuma petugas lapis bawah, mereka itu pun diistimewakan karena diadili di Mahkamah Militer. Dan pengadilan khusus ini hanya membedah perkaranya dari segi prosedur militer, dan memvonis para terdakwa dengan hukuman ringan. Menurut Munir, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), pangkal persoalannya ada pada pemerintah, yang enggan mempertanggungjawabkan berbagai kesalahan tadi. "Bila pemerintah tetap tak mau mempertanggungjawabkannya, ketidakpercayaan masyarakat bisa semakin luas," ujar Munir. Lebih dari itu, tindak kekerasan yang kasusnya tidak diputus di pengadilan hanya akan memicu disintegrasi bangsa. Tuntutan Aceh untuk diadakannya referendum adalah satu langkah maju ke arah merdeka, sementara bagi Republik Indonesia, ia merupakan ancaman disintegrasi. Hp. S., Zainal Bakri (Lhokseumawe), Mustafa Ismail (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus