MATARAM Kuno ternyata tidak sedamai yang pernah dibayangkan. Menurut Prof. Dr. J.G. de Casparis, sejarawan dan epigraf dari Universitas Leiden, Belanda, para raja zaman itu memerintah rata-rata 20 tahun. Kini terbukti ada beberapa raja yang berkuasa hanya setahun. Bahkan ada yang bertahta cuma 27 hari, lalu dinyatakan "minggat", hilang tak tentu rimba. Itulah beberapa hal penting yang terungkap dari Prasasti Wanua Tengah III (PWT III), yang ditemukan November 1983, dan selesai dibaca tuntas pekan lalu. "Memang masih ada kata yang belum jelas maknanya," ujar Drs. Kusen, dosen epigrafi Fakultas Sastra Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, orang pertama yang membaca prasasti tadi. "Tetapi, secara umum, tidak sampai mengganggu." PWT III memang akan melempangkan beberapa hal yang selama ini meragukan, bahkan sering dipertentangkan para arkeolog, tentang Kerajaan Mataram Kuno atau Mataram Hindu. "Baru sekarang kita memperoleh tanggal meninggalnya raja secara eksak," kata Drs. Buchari, dosen epigrafi Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Jakarta, yang turut membaca prasasti itu. PWT III tidak hanya memuat tanggal, hari, dan bulan, melainkan sampai ke hari pasarannya. PWT III dibuat pada masa pemerintahan Rakai Watukura Dyah Balitung, 908. Prasasti ini, seperti halnya PWT I dan PWT II, menyebut nama Desa Wanua Tengah, yang berkaiIan dengan status tanah perdikan atau tanah sima - bebas pajak - yang dipersembahkan kepada biara di Pikatan oleh Rakai Panangkaran, anak Rahyangta i Hara. Biara itu sendiri didirikan oleh Rahyangta i Hara, adik Rahyangta i Mdang - yang kemudian diketahui adalah Sanjaya. Status tanah itu kemudian berubah-ubah selama pemerintahan para pengganti Rakai Panangkaran. "Di sini saja sudah muncul hal-hal yang menarik," kata Buchari. Selama ini, para sejarawan terpaku pada anggapan sarjana terdahulu, yang menyatakan bahwa tidak ada raja yang berani mengubah status tanah perdikan, karena takut mendapat kutukan mengerikan. "Ternyata, menurut prasasti ini, raja-raja itu berani mengubahnya," tutur Buchari. Hal lain, yang tak kalah pentingnya, PWT III menampilkan nama-nama raja yang selama ini tidak dikenal. PWT III memuat urutan raja Mataram Kuno: Rakai Panangkaran (746), Rakai Panaraban (784), Rakai Warak Dyah Manara (803), Dyah Gula (827), Rakai Garung (828). Rakai Pikatan Dyah Saladu (846), Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala (855), Dyah Tagwas (884), Rakai Panumbangan Dyah Dewendra (885), Rakai Gurunwangi Dyah Bhadra (886), Rakai Wungkalhumalang Dyah Jbang (894), dan Rakai Watukura Dyah Balitung (898). Melihat masa pemerintahan para raja itu, bisa ditarik kesimpulan terjadinya beberapa kali pergolakan sepanjang tegaknya Mataram Kuno. Dyah Tagwas dan Rakai Panumbangan Dyah Dewendra, misalnya, masing-masing hanya sempat memerintah setahun. Keduanya kemudian dikatakan "terusir dari istana". Rakai Gurunwangi Dyah Bhadra bahkan hanya bertahan 27 hari, lalu "minggat". "Walaupun di dalam prasasti tidak dijelaskan, pasti terjadi perebutan kekuasan waktu itu," kata Buchari. Sayangnya, tidak ada keterangan yang jelas setelah Gurunwangi "minggat". Di dalam prasasti hanya dikatakan, "Selama delapan tahun dunia tanpa pemimpin, penuh pergolakan," ujar Drs. M.M. Sukarto Kartoatmodjo, epigraf Fakultas Sastra UGM, dan staf ahli Provek Javanologi Yayasan Panunggalan, yang juga turut membaca PWT III. Dalam Prasasti Mantyasih, juga disebut Prasasti Tembaga Kedu, hanya nama 9 raja yang disebut, sedangkan PWT III mencantumkan 12 nama. Padahal, kedua prasasti itu hanya terpaut setahun, dan dibuat oleh raja yang sama. Mengapa berbeda? "Mungkin pertimbangan politis," ucap KJsen. Raja-raja yang "memberontak" tampaknya tidak digubris Prasasti Mantyasih. PWT III memang menampilkan sebuah nama "kontroversial": Rakai Panaraban (784). Nama ini tidak disebut Prasasti Mantyasih, dan hanya bisa ditemukan dalam Kitab Carita Parahyangan, yang berbahasa Sunda. Karena kitab itu dinilai tidak layak sebagai sumber sejarah, selama ini Panaraban dianggap tokoh fiksi. Paling tidak, ia diperkirakan sebagai penyimpangan tulisan untuk tokoh Panangkaran, meski nama itu juga disebut dalam lempengan emas di gapura Candi Ratu Bokoh di Yogya. "Sekarang sudah jelas, Panaraban itu betul-betul tokoh historis," ujar Sukarto, ahli epigrafi Balai Arkeologi di Yogyakarta, tempat PWT III kini disimpan. PWT III juga satu-satunya sumber sejarah yang menyebut nama pribadi Dyah Manara, yaitu Rakai Warak. Data ini cocok dengan Pustaka Rajya-Rajya i Bhumi Nusanara, yang menyebutkan bahwa Panaraban (Tamperan) digantikan oleh Sang Manarah - yang berarti sama dengan Manara. Dalam buku Sejarah Nasional Indonesia jilid II, Dyah Saladu dikatakan sebagai nama pribadi Rakai Gurunwangi. Ternyata, menurut PWT III, kedua nama itu dimiliki oleh orang yang berbeda. Dyah Saladu adalah nama Rakai Pikatan, sementara Rakal Curunwangi sendiri adalah Dyah Bhadra. "Maka, akan ada perubahan dalam penyusunan sejarah nasional kita, khususnya mengenai Kerajaan Mataram Kuno," kata Buchari. PWT III terdiri dari dua lempengan. Yang pertama berukuran 53,5 x 23,5 cm, dengan tebal sekitar 2,5 mm. Yang kedua berukuran 56 x 26 cm, dengan tebal yang sama. Keduanya terbuat dari tembaga. Lempeng pertama hanya dtuhsi satu sisi, dengan 17 bans tulisan. Lempeng kedua disurati bolak-balik, masing-masing 26 dan 18 baris. Prasasti yang mengubah sejarah nasional itu ditemukan Ramlan, 23, di ladangnya di Dukuh Kedunglo, Desa Gandulan, Kaloran, sekitar 4 km arah timur laut Kota Temanggung. Ramlan diberi imbalan Rp 25 ribu uang tunai, dan Tabanas Rp 175 ribu. "Uang itu habis untuk foya-foya," katanya gembira.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini