Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Serangan itu terjadi pada sebuah pagi, pertengahan Juni lalu. Begitu Gagah, 33 tahun, tiba di tempat parkir kantornya di Jakarta Selatan dan membuka helm, pop!, telinga kanannya mendadak tuli. Suara orang yang berdiri dua meter di dekatnya lantas terdengar seperti gumaman. Semula dia cuek saja. Apalagi telinganya tidak nyeri ataupun mengeluarkan cairan, hanya berdenging. Namun, hingga siang, pendengaran telinga kanan Gagah tak kunjung membaik.
Gagah pun mencoba merunut kondisi kesehatannya beberapa hari terakhir, tapi ia merasa baik-baik saja. Sebelum telinga kanannya tiba-tiba tak berfungsi, dia juga tak mengalami pusing, mual, flu, ataupun demam. "Budek-nya seperti coming from nowhere. Mendadak saja telinga kanan seperti mati rasa. Enggak sakit sih, tapi kalau budek kan mengganggu juga," ujar Gagah, yang tinggal di Matraman, Jakarta Timur, Rabu sore pekan lalu.
Emoh berlama-lama budek, malam itu juga Gagah merujuk ke dokter spesialis telinga, hidung, dan tenggorokan. Setelah menjalani serangkaian pemeriksaan, ia didiagnosis dokter mengalami sudden deafness atau tuli mendadak. Pun dokter spesialis THT kedua yang disambangi Gagah meneken vonis yang sama. Menurut dokter, kualitas pendengaran telinga kanan Gagah rendah untuk suara berfrekuensi tinggi.
Sudden deafness adalah gangguan pendengaran yang 90 persen kasusnya terjadi pada satu telinga saja. Tuli mendadak bukanlah penyakit, tapi bisa menjadi petunjuk keberadaan banyak penyakit. Di Indonesia, prevalensi tuli mendadak adalah 5-20 orang per 100 ribu penduduk per tahun. Gangguan tersebut kebanyakan dialami orang berusia 43-53 tahun, dengan komposisi seimbang antara perempuan dan laki-laki.
Namun kini, kata dokter spesialis THT Brastho Bramantyo, makin banyak pasiennya yang berumur 20-an tahun mengalami tuli mendadak. Pemicunya karena gaya hidup, seperti terlalu banyak bekerja, sering lembur dan kurang istirahat, terlambat makan, serta sering menyantap makanan tak sehat. "Sekarang makin banyak pasien berusia muda yang sudah kena sudden deafness karena faktor tuntutan gaya hidup dan pekerjaan," ujarnya Kamis petang lalu.
Dokter spesialis THT Trimartani menjelaskan, tuli mendadak terjadi ketika telinga kehilangan pendengaran 30 desibel-satuan kekerasan bunyi-pada minimal tiga frekuensi, yaitu rendah, sedang, dan tinggi. Proses mandeknya kemampuan dengar itu terjadi kurang dari 72 jam. Saking mendadaknya proses menjadi tuli, banyak yang menyebut sudden deafness sebagai stroke telinga.
Menurunnya kemampuan dengar telinga disebabkan oleh adanya gangguan pasokan pembuluh darah dan oksigen pada bagian koklea atau rumah siput di telinga bagian dalam. Gangguan tersebut bisa disebabkan oleh sejumlah hal. Contohnya tekanan darah tinggi atau hipertensi, trombus atau pembekuan di pembuluh darah, dan kekentalan darah. Padahal koklea, yang terdiri atas sel-sel saraf mirip rambut, berfungsi merespons berbagai frekuensi getaran.
Selama ini, menurut Trimartani, banyak orang tak sadar mengalami gangguan tersebut karena telinga yang budek biasanya hanya sebelah. Gejalanya pun mirip dengan tuba katar atau pekak karena pilek dan gangguan pendengaran karena timbunan kotoran telinga. "Bedanya, tuba katar dan gangguan pendengaran karena kotoran telinga mudah teridentifikasi. Sedangkan pada pasien dengan sudden deafness, semua terlihat baik-baik saja. Gendang telinganya pun normal, tapi tiba-tiba tuli."
Kendati bukan merupakan penyakit, kata Trimartani, tuli mendadak bisa jadi merupakan pertanda keberadaan penyakit dalam tubuh. Misalnya diabetes atau kadar gula tinggi dalam darah, autoimun, autotoksik, kolesterol tinggi, trigelserid tinggi, tekanan darah tinggi atau hipertensi, inflamasi, infeksi virus, juga gangguan metabolisme.
Adapun pada kalangan pekerja, tuli mendadak bisa terjadi jika seseorang mengalami stres, kurang istirahat, kelelahan, dehidrasi, atau kurang minum, ditambah merokok. Kondisi itu membuat seseorang mengalami autoimun. Seperti halnya Gagah, yang mengalami tuli mendadak karena terlalu lelah bekerja. "Menurut dokter, kemungkinan besar penyebab saya tuli mendadak adalah karena sehari sebelumnya saya lembur sampai dinihari," ujarnya. "Apalagi, setelah dicek, tensi, kolesterol, dan gula darah saya normal semua. Saya pun tidak merokok."
Rokok, Trimartani mengungkapkan, memang bisa jadi faktor yang mempersulit penyembuhan tuli mendadak karena menghambat pasokan oksigen. Menurut penelitian, tingkat keberhasilan penyembuhan tuli mendadak pada perokok hanya 40 persen. Sedangkan pada pasien non-perokok, tingkat kesembuhannya sebesar 60 persen.
Keberhasilan penyembuhan tuli mendadak juga dipengaruhi seberapa cepat pertolongan diberikan kepada pasien. Trimartani mengatakan tuli mendadak sebaiknya diperiksakan paling lambat 14 hari setelah gangguan dialami. Sebab, jika segera mendapat penanganan, persentase kesembuhannya bisa mencapai 80 persen.
Sedangkan jika lewat dua pekan tak mendapat pertolongan medis, tuli yang dialami bisa menjadi permanen. "Tuli mendadak memang kadang fluktuatif, sehingga sebagian pasien menunda memeriksakan diri ke dokter. Padahal, kalau penyembuhannya tertunda, tulinya bisa tidak ada perbaikan," kata Trimartani.
Penanganan medis tuli mendadak melalui sejumlah tahap. Begitu menyambangi klinik, pasien akan menjalani tes pendengaran untuk membandingkan kemampuan telinga kanan dan kiri, lewat pengecekan desibel. Setelah itu, pasien akan melalui pemeriksaan BERA untuk mengetahui apakah ketulian terjadi di dalam atau belakang koklea. Jika dibutuhkan, pasien juga diminta menjalani tes audiometri, ENG untuk tuli yang disertai pusing dan vertigo, serta CT scan.
Pada beberapa kasus, dokter juga akan meminta pasien mengecek kadar kolesterol, gula darah, dan tekanan darah untuk menelusuri penyebab tuli mendadak. Penyebab tuli mendadak sebaiknya diketahui agar di kemudian hari pasien tak lagi mengalami gangguan pendengaran. "Sebab, kalau tidak hati-hati, bukan tidak mungkin seseorang mengalami tuli mendadak dua-tiga kali," ujar Brastho.
Pengobatan untuk tuli mendadak sendiri kini lebih praktis. Beberapa tahun lalu, kata Trimartani, penanganan tuli membutuhkan sejumlah obat, di antaranya anti-inflamasi dan antikoagulan. Sedangkan kini pasien dengan tuli mendadak akan diberi kostikosteroid dosis tinggi dalam sebulan, yang perlahan-lahan akan diturunkan dosisnya. Fungsi kostikosteroid adalah memperbaiki aliran darah mikrovaskuler di koklea.
Pemberian obat tersebut disertai terapi oksigen hiperbarik, yang biasa digunakan penyelam untuk mengeluarkan gelembung udara dari dalam tubuh. Terapi hiperbarik yang bertujuan menyusupkan oksigen ke tubuh disarankan Trimartani dilakukan 15-20 kali, masing-masing selama satu jam. Gagah sendiri belum sampai 15 kali menjalani terapi hiperbarik, tapi tuli mendadaknya sudah beranjak sembuh. "Tiga kali terapi, telinga sudah kembali normal," katanya.
Isma Savitri
Gangguan di Rumah Siput
Tuli mendadak bukanlah penyakit, tapi bisa menjadi petunjuk keberadaan banyak penyakit. Misalnya diabetes atau kadar gula tinggi dalam darah, autoimun, autotoksik, kolesterol tinggi, trigelserid tinggi, tekanan darah tinggi atau hipertensi, inflamasi, infeksi virus, juga gangguan metabolisme.
Definisi
Sudden deafness adalah gangguan pendengaran yang 90 persen kasusnya terjadi pada satu telinga saja.
Prevalensi
Di Indonesia, prevalensi tuli mendadak adalah 5-20 orang per 100 ribu penduduk per tahun. Gangguan tersebut kebanyakan dialami orang berusia 43-53 tahun, dengan komposisi seimbang antara perempuan dan laki-laki.
Penyebab
Gangguan pasokan pembuluh darah dan oksigen pada bagian koklea atau rumah siput di telinga bagian dalam.
Pemicu
Terlalu banyak bekerja, sering lembur dan kurang istirahat, terlambat makan, sering menyantap makanan tak sehat, kurang minum, serta merokok.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo