Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Angkat tangan. Penyelidik Australia menyatakan tak bisa menganalisis kotak hitam pesawat Garuda GA-200 yang terbakar di Bandar Udara Adisutjipto, Yogyakarta, tiga pekan lalu.
Wakil Direktur Biro Keselamatan Transportasi Australia, Joe Hattley, mengungkapkan, mereka telah berupaya dengan pelbagai cara untuk mendapatkan rekaman suara dari kokpit pesawat (cockpit voice recorder), tapi ”rekaman percakapan pilot pada menit-menit terakhir di kotak hitam tak bisa terbaca”. Mereka hanya bisa mengunduh isi perekam data penerbangan (flight data recorder). Data ini menggambarkan kecepatan pesawat, akselerasi vertikal, bentuk gerakan pesawat, dan kecepatan angin menjelang kecelakaan.
Alhasil, kotak itu pun terbang ke pembuatnya, Honeywell, di Seattle, Amerika Serikat. Indonesia harus menunggu, paling tidak, sebulan untuk mendapat hasilnya.
Apa yang salah dari kotak hitam itu? Rusak atau terbakar? Ketua Komisi Nasional Keselamatan Transportasi, Tatang Kurniadi, memastikan saat diterbangkan ke Australia, kondisi memori perekam suara masih bagus.
Menurut Tatang, tabung yang melindungi memori dirancang tahan banting. Dia bisa tahan panas hingga 1.100 derajat Celsius, tahan benturan sampai 3.400 kali gravitasi bumi, bisa menahan beban dengan berat 2.500 kilogram selama lima menit, dan mampu bertahan di kedalaman laut yang asin, serta tahan bahan kimia. Jadi, tak terbacanya perekam suara kokpit itu, kata Tatang, ”Bukan karena terbakar atau guncangan.”
Seandainya kotak sudah penyok atau terbakar, rekaman ini pun sebenarnya masih bisa terbaca. Seperti dikutip situs web howstuffworks, memori dalam kotak masih bisa dilepaskan dari tabung pelindungnya yang terbakar. Hasil rekaman kemudian ditransfer ke komputer melalui perangkat lunak khusus.
Hasil rekaman itu akan diterjemahkan dalam waktu minimal sebulan. Untuk menerjemahkan satu kata dalam rekaman bisa memakan waktu hingga 30 menit. Proses menerjemahkan rekaman ini akan melibatkan wakil pemilik pesawat, pembuat rekaman, komisi keselamatan transportasi, polisi, dan penerjemah. Dalam kasus Garuda, Tatang mengatakan, Indonesia akan diwakili Kedutaan Besar RI di Amerika sebagai saksi dan wakil pemilik pesawat.
Rekaman dalam kotak hitam ini berbeda dengan rekaman percakapan pilot dengan petugas menara pengatur lalu lintas udara. Perekam dalam kotak hitam bisa merekam hingga dua jam sebelum kejadian. Alat tersambung ke headset pilot dan kopilot, kru pesawat, serta bagian tengah kokpit yang bisa menangkap tanda peringatan atau suara lainnya. Artinya, kata Tatang, kotak hitam tetap menjadi bagian penting dalam proses penyelidikan penyebab kecelakaan.
Dosen teknik penerbangan Institut Teknologi Bandung, Said Djauharsyah Jenie, juga menyebutkan bahwa ledakan Boeing 737-400 itu tak akan membuat memori dalam kotak hitam hangus. ”Alat rekaman suara kokpit tak ter-baca karena Australia tak mempunyai alat yang bisa mengunduh datanya,” ujarnya.
Indonesia, kata Said, sebenarnya memiliki pengunduh data di PT Dirgantara Indonesia, namun komite nasional belum pernah memanfaatkan-nya untuk kepentingan penyelidikan. Meski tak memakai produk Dirgantara, Indonesia bisa mengadakan sendiri alat pengunduh itu. Menurut Said, harga bukan halangan mengingat pentingnya alat ini. ”Sekarang ini kan, selalu, sebentar-sebentar ke luar negeri,” ucapnya.
Mantan Ketua Komite Nasional Kecelakaan Transportasi, Setio Rahardjo, pernah mengimbau agar Indonesia memiliki alat yang bisa membaca kotak hitam, tapi harga perangkat itu bisa mencapai US$ 10 juta (sekitar Rp 92 miliar). Jadinya lebih murah bila mengunduh data ke luar negeri. Gratis. Indonesia hanya mengeluarkan biaya pengiriman kotak hitam.
Yandi M.R.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo