Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Obituari

Sarbini Sumawinata: Ekonom, Pembangun Lembaga, dan Politisi Idealis

19 Maret 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Syahrir

  • Ekonom

    Bagaimana menjelaskan ekonom yang wafat pada usia mendekati 89 tahun pada Rabu pekan lalu itu? Sebagian mencoba menulis in memoriam Sarbini Sumawinata dengan menonjolkan sikap politik dan pandangan ekonominya, lengkap dengan peran kesejarahannya yang secara politis amat menonjol dalam waktu yang teramat singkat, tepatnya pada 1964-1968 dan 1974.

    Seorang Sarbini jelas tidak bisa dikotak-kotakkan sebagaimana layaknya ekonom akademisi dengan memasukkan dirinya sebagai ekonom klasik, neoklasik, Keynesian, atau penamaan apa saja yang lazim diberikan kepada ekonom semata-mata. Seorang Sarbini juga bukanlah politisi murni yang pekerjaan politiknya dapat dibandingkan dengan politisi lain yang dikenal sejak zaman revolusi hingga kini, baik yang berasal dari militer maupun dari kalangan partai politik dulu hingga sekarang.

    Sarbini termasuk ”manusia langka” karena dia mengombinasikan seorang ekonom dan seseorang yang amat suka pada politik, sekaligus mendalami politik secara intensif dan analitis. Mengategorikan dia dengan para ekonom ”murni” ataupun dengan para teknokrat adalah pengategorian yang salah dan tidak tepat.

    Karena itu, mencoba mendalami seorang Sarbini perlu upaya khusus dengan melihat pikiran dan perbuatannya yang beragam, dari seorang pemilik modal yang memimpin buletin ekonomi Business News hingga seorang sosialis yang amat mendambakan sosialisme sebagai sistem ekonomi Indonesia (baca Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Luar Biasa dalam Ilmu Ekonomi di Fakultas Ekonomi UI, 3 Agustus 1963, berjudul ”Pengerahan Modal Pembinaan Masyarakat Sosialis Indonesia”) serta membayar kontan keyakinannya itu dengan dipenjarakannya dia dalam peristiwa Malari (15 Januari 1974).

    Saya tidak akan mau mengulas ”in memoriam” dirinya yang menjelaskan bagaimana ia terpental keluar dari lingkaran dalam pemerintah Soeharto di awal-awal pemerintahannya. Saya pun tak bersedia meromantisasi apa yang dilakukannya dengan menjadikan dirinya legenda, karena yang paling disukai Sarbini adalah bila ia diperlakukan sebagai manusia biasa.

    Bagaimana saya menilai seorang Sarbini? Pertama-tama, menurut saya, ia patut disebut sebagai seorang institution builder. Dialah pendiri Biro Pusat Statistik (BPS), seperti dinyatakan Soetjipto Wirosardjono, yang dalam buku peringatan 70 tahun Sarbini menulis sebuah artikel berjudul ”Prof. Sarbini Sumawinata, Peletak Dasar-Dasar Modernisasi Kegiatan Statistik di Indonesia”. Bila sekarang angka-angka statistik di-”manipulir” dan menjadi ”senjata politik” yang dipakai tanpa pemahaman terhadap kaidah-kaidah penggunaan data itu sendiri, saya yakin dari kuburannya ia menyeringai menertawai ekonom dan politisi di DPR yang menganggap diri mereka tahu tentang statistik!

    Selain itu, bagi seorang pengamat ataupun pengusaha, ada sebuah buletin yang unik bernama Business News. Dialah pendiri dan arsitek di belakang buletin tersebut, sebagai buletin unik yang distensil tapi selalu menjadi bahan bacaan selama 50 tahun lebih! Editorialnya ditulis oleh Sarbini, juga oleh berbagai ekonom ternama, seperti Moh. Sadli, (almarhum) Dr Soeroso, Sanjoto, dan Panglaykim. Kualitas editorial Business News dapat ditandingkan dengan editorial harian dan mingguan terkemuka hingga sekarang. Saya sendiri merasa beruntung pernah menulis editorial dalam buletin itu.

    Sarbini Sumawinata juga tidak bisa terlepas dari organisasi ekonom Indonesia, ISEI (Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia). Bukan saja ia pernah menjadi Ketua Umum ISEI, periode ketika dia menjadi ketua umum bukanlah periode demokratis seperti sekarang atau periode di masa pemerintah Soeharto, yang mengidentikkan Ketua Umum ISEI dengan jabatan di pemerintah. Ia menjadi Ketua Umum ISEI ketika organisasi tersebut berhadapan dengan para ekonom yang beraliran atau bersimpati pada komunisme.

    Barangkali yang kurang dibahas adalah peran Sarbini sebagai politisi, sehingga ia selalu dicap sebagai ”orang PSI” (Partai Sosialis Indonesia). Perlu diingat, ketika PSI ada secara formal dan turut berkuasa, nama ekonom yang dikategorikan sebagai PSI adalah Sumitro Djojohadikusumo. Tapi, ketika Sumitro memilih exile di luar negeri, Sarbini muncul di dalam negeri sebagai ekonom ”sisa-sisa PSI” karena partai itu dinyatakan terlarang oleh Presiden Soekarno.

    Dalam kondisi demikian, berkolaborasi dengan Soedjatmoko, Sarbini menghasilkan Dekon atau Deklarasi Ekonomi, yang diumumkan oleh Presiden Soekarno. Namun, seperti diduga, Dekon ini pun gagal karena pihak-pihak yang tidak menginginkan ”normalisasi perekonomian” tetap memenangi simpati Presiden Soekarno. Akibatnya, perjuangan konfrontasi terhadap ”Nekolim” dan kegiatan politik bisa mengalahkan akal sehat yang mengharapkan Presiden Soekarno memperhatikan ekonomi Indonesia. Setelah itu, kondisi perekonomian kita memburuk, pertumbuhan merosot, dan inflasi mencapai 650 persen.

    Jelas di sini manusia Sarbini secara institusi ataupun ”spiritual” dapat dihubungkan dengan perbaikan dan penguatan kelembagaan pada BPS, ISEI, PSI, dan buletin ekonomi Business News. Rekam jejak seseorang yang menyentuh begitu banyak lembaga yang berbeda hingga saat ini pun dirasakan secara konkret oleh masing-masing lembaga itu. Misalnya, ketika orang berbicara tentang kepengurusan ISEI, Dr Mari Pangestu sebagai Menteri Perdagangan pernah mengimbau agar ISEI dapat dipimpin bukan oleh birokrat atau pejabat. Artinya, keinginan menempatkan ISEI sebagai organisasi profesional yang terlepas dari kekuasaan masih menggema, hal yang pasti membuat seorang Sarbini senang.

    Sementara itu, pada generasinya yang diasosiasikan dengan PSI, dia adalah ”one of the last Mohicans” di antara para pendiri dan senior partai tersebut. Pada hari ia meninggal, juga telah wafat Listio, sahabat dekatnya. Sebelumnya, telah ”pergi” Soebadio Sastrosatomo, Soedjatmoko, Moerdianto, dan Maruli Silitonga. Sebelumnya juga, telah berpulang Sutan Sjahrir dan Djohan Sjahruzah. Kalau mau dihitung, yang kini tersisa dari orang-orang yang disebut-sebut sebagai PSI atau ”berbau PSI” adalah Rosihan Anwar dan Soedarpo Sastrosatomo. Tapi ”legacy PSI” tampaknya tetap akan muncul dalam berbagai bentuk. Bentuk yang paling disukai para politisi ”kotor” adalah menyalahkan setiap situasi pada ”konspirasi PSI” atau ”konspirasi Masyumi dan PSI”, seperti yang dimunculkan pada peristiwa Malari.

    Bagaimana kita menempatkan seorang Sarbini Sumawinata sebagai ekonom? Kita harus sangat terbuka melihat ini. Saya tahu bahwa kita selalu berbicara dengan pujian amat tinggi pada nama seperti Hatta, Sumitro Djojohadikusumo, Widjojo Nitisastro, dan Sarbini Sumawinata. Pada dataran yang purely academic, ada beberapa tolok ukur untuk menilai reputasi ekonom-ekonom tersebut dalam skala internasional. Dengan segala hormat saya pada nama-nama tersebut, kita harus mengakui bahwa belum ada ekonom kita yang bisa dinilai pantas mendapatkan hadiah Nobel dalam ilmu ekonomi atau belum ada ekonom kita yang mendapatkan penghargaan dengan dimuatnya artikel mereka pada buletin ekonomi terkemuka secara berkali-kali.

    Tapi apakah serta-merta kita mau menafikan para ekonom Indonesia tersebut? Justru sebaliknya. Saya kira tidak ada ekonom yang bergulat dengan kekuasaan secara intensif seperti ekonom Indonesia, dibandingkan dengan ekonom mana pun di negara berkembang, bahkan di negara maju. Sementara pihak mengagumi Profesor Widjojo Nitisastro, yang dinilai sebagai arsitek ekonomi Orde Baru dan berperan amat besar selama berpuluh tahun.

    Namun, pada sisi yang lain, peran ekonom yang besar juga dapat disebut ada pada pundak seorang Sarbini Sumawinata dan Dorodjatun Kuntjoro-Jakti. Sebab, ditahannya kedua orang tersebut dalam peristiwa Malari tanpa diadili sesungguhnya membuktikan ketakutan dari rezim yang berkuasa saat itu pada pemikiran mereka. Jadi kita harus melihat besarnya peran para ekonom Indonesia dalam politik dari mata uang yang sama dengan sisi yang berbeda.

    Dari sisi kekuasaan, ekonom Indonesia ”ahli” dalam mengabdi pada kekuasaan itu sendiri, dan dari sisi per-lawanan terhadap kekuasaan, ekonom Indonesia membayar dengan ”harga kontan” pemikiran mereka itu dalam bentuk dipenjarakannya mereka. Dari sisi ini, perginya Sarbini Sumawinata meninggalkan lubang besar dari orang-orang yang sedia terus berpikir tanpa jargon dan tanpa berkoar-koar.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus