Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Pesan Terakhir untuk Hendri

Junania Mercy mengakhiri hidup setelah membunuh empat anaknya. Pertanda niat bunuh diri sering luput dari perhatian.

19 Maret 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sayang, sori aku sudah bunuh anak-anak! Aku hancurkan hidup and impian mereka. Juga impianku tentang anak and hari tua kita. Hidup yang benar ya, Sayang.… Aku and anak2 cinta kamu, tahu kan?... GBU (God bless you).”

Selarik pesan yang diketik Junania Mercy di telepon genggamnya itu tidak pernah terbaca suaminya, Hendri Suwarno, 35 tahun. Pesan perpisahan Mercy kepada Hendri, sebelum dia bunuh diri pada Sabtu dua pekan lalu itu, terhenti di ponsel Mercy. Entah karena sinyal di teleponnya terlalu lemah atau karena Mercy, 37 tahun, keburu meregang nyawa.

Mercy merencanakan dan mengerjakan ”prosesi” bunuh diri ini dengan tenang, dingin, dan rapi. Sabtu sore itu, Mercy masih sempat keluar rumah membeli telur di warung sebelah rumah. Susi Herwanti, salah seorang tetangganya di Jalan Taman Sakura, Lowokwaru, Malang, Jawa Timur, mengatakan sempat bertegur sapa dengan Mercy. ”Raut mukanya biasa saja,” kata Susi. Mereka memang tidak banyak bercakap-cakap, karena pasangan Hendri-Mercy tidak akrab dengan tetangga.

Sekitar pukul 18.30, Cesar Marcio, adik Mercy, singgah. Cio, panggilan Cesar, dan Rudy Suwarno, adik Hendri, memang tinggal di rumah itu. Dia melihat Mercy tengah sibuk merapikan baju anak-anaknya. Kepada polisi yang memeriksanya kemudian, Cio mengatakan sempat bertanya kepada Mercy di mana keempat anaknya: Athena Latonia, 11 tahun, Prinsessa Ladova, 9 tahun, Hendrison, 7 tahun, dan Gabriella Al Cein, 18 bulan.

Mercy mengatakan anak-anaknya sudah lelap tidur. ”Cio melongok ke kamar dan melihat anak-anak itu sudah berbaring rapi di tempat tidur,” kata Kepala Kepolisian Resor Kota Malang, Ajun Komisaris Besar Polisi Erwin Chahara Rusmana, mengutip pengakuan Cio. Tanpa curiga, Cio berlalu begitu saja.

Polisi menduga, saat itu Mercy sudah mengakhiri hidup keempat anaknya. Satu per satu mereka dicekoki pil potasium yang bekasnya berserakan di sekitar tempat tidur. Setelah semuanya tak bernapas, Mercy memandikan mereka dan memakaikan baju tidur kesukaan anak-anaknya, lalu membaringkan mereka berdempetan rapi di atas tempat tidur. Seakan ingin menyimpan wajah keempat anaknya selamanya, Mercy mengambil foto mereka dengan kamera di ponsel.

Setelah itu, Mercy mempersiapkan baju yang akan dipakai anak-anaknya dan dia nanti ketika dikremasi. Ketika itulah Cio datang. Namun kedatangan Cio sama sekali tidak membelokkan niat Mercy. Begitu Cio berlalu, dia segera berganti baju dan menuliskan pesan-pesan terakhirnya. Selain pesan di ponsel yang tidak terkirim, Mercy meninggalkan tiga lembar surat.

Surat pertama ditujukan kepada kedua adiknya, Cio dan Sara Maria. ”Sara Maria ’n Cio, maaf atas semua salahku ya. Aku bukan kakak yang baik. Aku sayang kalian, juga Mama and Dad. Bawa aku dan anak-anak dalam doa kalian. Dosaku benar2 akeh (banyak). Jalani hidup dengan baik ya. I love you.”

Dalam surat kedua, Mercy meminta biaya kremasi diambil dari sumbangan. Sisanya diberikan kepada ibunya, Susie. Baru dalam surat terakhir, dia menuliskan permintaan bagaimana tata cara kremasi. ”Ini baju-baju akan dipakai anak-anak. Tolong aku dan Bellie (Gabriella) satu peti. Semua dikremasi sama-sama, jangan dikubur abunya, biar Hendri yang mengurus abunya. Aku didoakan secara Katolik, dengan keempat anakku, dimintakan doa ke GMS (Gere-ja Mawar Sharon). Tidak usah ada upacara macam-macam setelah dibakar. Tapi tolong orang-orang yang sayang dengan kami, mendoakan sendiri-sendiri. Beli peti mati yang murah saja. Trims. Sori merepotkan saja.” Setelah semua pesan ditulis, Mercy langsung menenggak pil maut itu dan berbaring di kasur kecil di samping kasur anak-anaknya.

Mayat mereka baru ditemukan Rudy Suwarno pada Minggu keesokan harinya. Ketika itu Rudy baru pulang setelah menginap di rumah temannya. Rudy kemudian memberi kabar mengejutkan ini kepada kakaknya, suami Mercy, yang saat itu sedang mengantar motor ke Surabaya.

Mengapa Mercy bunuh diri dan sampai hati menghabisi nyawa keempat anaknya sendiri belum benar-benar terang. Hendri, sang suami, masih bungkam. Ketiga surat Mercy dan pesan di ponsel juga tidak memberikan petunjuk. Ibu Mercy, Susie, mengatakan bahwa tindakan Mercy sama sekali tidak terkait dengan persoalan keuangan atau dengan suaminya. ”Ini murni karena Mercy tertekan menghadapi penyakit anaknya,” katanya. Hendrison, putra ketiga Mercy, diduga menderita leukemia.

Namun polisi menduga tekanan ekonomi plus biaya berobat Hendrison membuat Mercy depresi berat dan mendorongnya memilih mengakhiri hidup. Apalagi usaha bengkel motor besar Hendri tidak lagi moncer. Dia terpaksa bekerja serabutan. ”Itu yang membuat mereka sering cekcok,” kata Kepala Satuan Reserse Polresta Malang, Inspektur Satu Decky Hermansyah.

Soal ketenangan Mercy mengerjakan semua prosesi bunuh diri, menurut Albert Maramis, psikiater dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, tidak mengherankan. Hal itu biasa terjadi pada kasus bunuh diri yang terencana. Setelah melewati proses pertarungan batin yang panjang dan tidak menemukan pemecahannya, bunuh diri menjadi satu-satunya pilihan yang terlintas. Ketika keputusan bunuh diri telah diambil, saat itu juga dia menjadi sangat tenang dan fokus. ”Pada tahap ini, jarang sekali ada hal yang bisa membatalkan niatnya,” kata Albert.

Perubahan inilah yang semestinya dicermati orang-orang terdekat. Sebelum si pelaku bunuh diri, biasanya mereka menunjukkan pertanda. Kadang lewat kata-kata seperti, ”Lebih baik aku mati saja.” Atau tiba-tiba dia minta maaf kepada orang-orang terdekat. Pada tahap itu, jika mendapat penanganan yang tepat, calon pelaku bunuh diri bisa diselamatkan. Pertanda inilah yang sering luput dari perhatian.

Sayangnya, di Indonesia, lembaga yang khusus menangani orang-orang yang berniat bunuh diri, atau mereka yang trauma akibat orang terdekatnya bunuh diri, tidak banyak. Menurut Luh Ketut Suryani, psikiater dari Denpasar, memang belum ada badan khusus yang menangani persoalan bunuh diri. Itulah yang mendorong Suryani mendirikan Layanan Hidup Bahagia.

Di kliniknya, Suryani tak hanya memberikan konseling kepada mereka yang depresi berat atau pernah punya niat bunuh diri, tapi juga mereka yang ditinggal orang terdekat bunuh diri. Menurut Suryani, mereka juga rentan karena trauma yang muncul bisa juga memicu keinginan serupa. Dia menggabungkan teknik pengobatan modern dengan meditasi untuk menangani sang pasien.

Lewat meditasi, mereka dibawa ke masa lalu dan kembali mengingat kasih sayang orang tua dan orang-orang terdekat. Biasanya, kata Suryani, jika telah berhasil merasakan kasih sayang, mental mereka akan lebih kuat. Agar efektif, meditasi ini harus rutin dilakukan minimal dua kali per hari selama 10 menit. Cara ini sangat pas di Indonesia, karena murah dan bisa dilakukan secara mandiri.

Ada juga bentuk layanan bagi para penderita depresi berat dan tekanan mental lainnya, termasuk keinginan bunuh diri, yaitu Unit Psikiatri Keliling Rumah Sakit Jiwa Soeharto Heerdjan, Jakarta. Ini merupakan unit aktif yang bekerja 24 jam. ”Petugas kami akan langsung datang jika diperlukan,” kata Fidiansjah Mursjid, Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Kejiwaan DKI Jakarta.

Sayangnya, perhatian pemerintah dalam soal ini masih minim. Hal ini termasuk yang dikeluhkan Suryani, yang banyak menangani kasus percobaan bunuh diri yang banyak terjadi di Bali setelah bom Bali 2002. Bisa jadi, rendahnya perhatian ini karena Badan Kesehatan Dunia (WHO) belum punya data tentang orang yang bunuh diri di Indonesia. Namun, tak berarti kasus seperti ini boleh diabaikan.

Sapto Pradityo, Abdi Purnomo (Malang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus