Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Cacat di Gerbang Udara

Sejumlah lapangan terbang besar di Indonesia punya cacat. Mana yang terbaik?

19 Maret 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Terlonjak-lonjak saat pesawat menyentuh landasan adalah soal biasa di Adisutjipto. Setidaknya itu yang dialami Salman Luthan. Setiap dua pekan dia terbang dengan rute Yogyakarta-Jakarta-Yogyakarta. Akhir bulan lalu, Ketua Lembaga Ombudsman Provinsi Yogyakarta itu kembali mendarat di bandar udara Yogyakarta itu. Lagi-lagi, tubuhnya tersentak keras saat pesawat turun ke landasan.

Mulanya Salman merasa biasa saja, tapi setelah pesawat Garuda terbakar di Bandara Adisutjipto tiga pekan lalu, dia mulai waswas. ”Sekarang saya memilih kereta. Kalau penting sekali, baru naik pesawat,” kata dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.

Pendaratan tak mulus seperti yang dialami Salman sebenarnya hal biasa bagi para pilot di Tanah Air. Kondisi landasan pacu yang bergelombang seperti di Bandara Adisutjipto adalah salah satu sebabnya. Percaya atau tidak, ini ciri khas sejumlah bandara di Indonesia, karena lebih dari separuh jumlah bandara di Indonesia semula memang dirancang untuk kebutuhan militer.

Nah, ketika lapangan terbang militer itu berubah status menjadi landasan penerbangan sipil, mestinya ada perbaikan struktur tanah dasar (subgrade) secara signifikan. Faktanya, banyak bandara sipil cuma ditebalkan permukaannya. Padahal, bobot pesawat terbang sipil relatif jauh lebih berat dibanding pesawat militer, terutama pesawat tempur. Ini yang membuat permukaannya jadi bergelombang. Penjelasan ini datang dari konsultan sekaligus perancang lapangan terbang Albertus Eliyeda.

Dia memberi contoh pesawat Boeing 737-400, tipe pesawat Garuda yang nahas di Yogyakarta tiga pekan lalu, memiliki bobot total (termasuk penumpang dan barang) sekitar 60 ton. Saat pesawat itu mendarat, beban yang diterima landasan lebih besar lagi karena dorongan dari atas. Beban ini terkonsentrasi pada sepasang roda utama. ”Landasan bergelombang terjadi, salah satunya, karena struktur tanah tidak kuat,” kata Albertus, lulusan Eidgenosische Technische Hochschule, sekolah perancangan bandar udara di Zurich, Swiss.

Panas matahari juga salah satu penyebab: aspal bandara memuai sehingga permukaan tak lagi rata. Masalah ini gampang diatasi asal ada perawatan rutin terhadap landasan pacu. ”Ini telah dilakukan. Bandara Adisutjipto, misalnya, sudah lebih rata dibanding tahun-tahun sebelumnya,” kata Bambang Darwoto, Direktur Utama PT Angkasa Pura I.

Lalu bagaimana mengatasi landas pacu bandara yang bergelombang akibat perubahan struktur tanah? Menurut Albertus, resepnya tak bisa lain kecuali menggali landasan sedalam dua meter lalu mengeraskannya. Namun, bagi Bambang Darwoto, ini resep yang sulit dicoba. ”Selain harus mendapat izin dari pemerintah pusat, bandara mesti ditutup. Ini menyulitkan penumpang,” kata Bambang

Soal lain adalah lapangan-lapangan udara militer, apalagi merupakan warisan penjajah, dibangun di balik pegunungan. ”Mungkin untuk menghindari pengintaian musuh,” kata Bambang. Ia memberi contoh Bandara Sam Ratulangi di Manado serta Bandara Abdul Rachman Saleh di Malang. Keduanya berada di bawah pengelolaan Angkasa Pura I.

Faktor pegunungan tak cuma mengurangi jarak pandang pilot dan pengawas di menara pengatur lalu lintas udara, tapi juga menimbulkan gangguan pada pesawat. Pada bandara jenis ini, termasuk Adisutjipto, angin yang memantul dari bukit akan mendorong pesawat ke bawah. Pilot terpaksa menambah kecepatan sebelum mendarat untuk menjaga kapal agar tak terhempas (lihat Satu Jam Menjelang Yogyakarta pada Tempo edisi 12 Maret 2007).

Dorongan angin (downdraft) inilah yang diduga menjadi salah satu faktor penyebab kecelakaan Garuda dengan nomor penerbangan GA-200. Menurut pengakuan pilot Marwoto Komar, yang disampaikan oleh Ketua Umum Asosiasi Pilot Garuda Stefanus Geraldus, saat akan mendarat pesawat diterpa angin kuat secara tiba-tiba. ”Pesawat tak bisa dikendalikan,” ujar Stefanus.

Mari kita tengok beberapa kesulitan di beberapa bandara di Sumatera dan Kalimantan. Di kawasan itu, kabut asap membuat pilot harus ekstrahati-hati. Bandara Sultan Thaha Syaifuddin di Jambi dan Bandara Supadio di Pontianak, Kalimantan Barat, termasuk yang kerap diselimuti kabut asap sehingga penerbangan sering dibatalkan. ”Jika asap datang, bandara harus ditutup de-mi keamanan,” kata Sudaryanto, Sekretaris PT Angkasa Pura II.

Pesatnya pembangunan kawasan permukiman yang kian mendekati bandara juga memunculkan hambatan. Ini terjadi di kota besar seperti Surabaya, Medan, dan Yogyakarta. Jika mendarat di Bandara Juanda Surabaya, misalnya, pesawat seperti akan menyentuh atap bangunan-bangunan yang dilewati.

Bangunan (rumah maupun tempat usaha) di dekat bandara selama ini dianggap memiliki nilai lebih. Pengembang akan bangga berpromosi jika lokasi perumahannya dapat ditempuh 15 menit dari bandara. ”Jadi, semua mendekat ke bandara,” kata Albertus.

Idealnya, Albertus menambahkan, ban-dara yang aman harus bebas hambatan pada radius 40 kilometer. Jangan ada pegunungan atau bangunan yang tingginya lebih dari dua tingkat. Dengan demikian, tak ada gedung yang lebih tinggi dari menara pengatur lalu lintas udara.

Sampai saat ini Bandara Internasional Soekarno-Hatta masih merupakan bandara terbaik di Tanah Air—meski masih sering terganggu layang-layang. Di kawasan tengah Indonesia, Bandara Ngurah Rai di Denpasar merupakan yang ideal. Di kawasan timur, yang terbaik adalah Bandara Frans Kaisiepo di Biak, Papua. Ketiga bandara ini memiliki landasan pacu di atas 2.900 meter.

Bambang tampaknya lebih optimistis dalam melihat nasib bandara di Indonesia. Menurut dia, selama memiliki izin penerbangan sipil, sebuah lapangan terbang sebetulnya sudah memenuhi persyaratan untuk didarati. Syarat kelaikan itu dikeluarkan oleh Departemen Perhubungan maupun Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO). ”Jika bandara-bandara itu memang membahayakan, tentu ribuan pesawat telah jatuh,” katanya.

Adek Media

Perlu Ekstra-awas

Bandara Adisutjipto, Yogyakarta, kurang nyaman untuk pendaratan. Ini pendapat perancang bandara Albertus Eliyeda dan Ketua Asosiasi Pilot Garuda Stefanus Geraldus. Alhasil, para pilot harus sangat berhati-hati saat mendarat. Ternyata sikap ekstra-awas ini bukan hanya diperlukan di Adisutjipto, tapi juga di sejumlah bandar udara lainnya di Indonesia. Berikut beberapa contoh berbagai hambatan ”spesifik” di beberapa bandara besar kita:

Polonia (akan segera pindah lokasi) Status: Internasional Lokasi: Medan, Sumatera Utara Landasan pacu: 2.900 m Hambatan: Permukiman padat, pegunungan, dan kabut asap

Sultan Mahmud Badaruddin II Status: Internasional Lokasi: Palembang, Sumatera Selatan Landasan pacu: 2.500 m Hambatan: Landasan pacu bergelombang dan kabut asap

Halim Perdanakusumah Status: Domestik dan VVIP Lokasi: Jakarta Landasan pacu: 3.000 m Hambatan: Gesekan frekuensi radio

Ahmad Yani Status: Internasional Lokasi: Semarang, Jawa Tengah Landasan pacu: 2.252 m Hambatan: Air laut pasang, landasan bergelombang

Juanda Status: Internasional Lokasi: Surabaya, Jawa Timur Landasan pacu: 3.000 m Hambatan: Permukiman padat di sekitar bandara

Hasanuddin Status: Internasional Lokasi: Makassar, Sulawesi Selatan Landasan pacu: 2.500 m Hambatan: Landasan pacu licin karena kandungan karet

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus