Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Mengembalikan Pesona Kreol Tugu

Bahasa kreol Tugu yang sudah punah dihidupkan kembali. Dukungan datang dari komunitas Portugis di Asia.

8 Agustus 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Iste korsang yo kere intra
Buska filu yo kere kaja

—Gatu Matu, Keroncong Tugu Cafrinho

TEPUK tangan lebih dari 200 penonton bergemuruh di halaman tengah Museum Bank Indonesia di kawasan Kota Tua, Jakarta Barat, ketika grup Keroncong Tugu Cafrinho menyelesaikan lagu pembuka, Gatu Matu, pada akhir Juli lalu. Sore itu, lagu-lagu cinta berbahasa kreol Tugu dinyanyikan dengan iringan gesekan biola dan cello, barisan gitar macina (gitar bersenar empat), jiteira (bersenar enam), dan prounga (bersenar enam dengan ukuran lebih kecil), serta betotan kontrabas. Syairnya terdengar asing memang, tapi penonton tampak menikmati.

Bahasa kreol Tugu yang dipakai dalam lirik lagu tersebut memang tak lagi punya penutur di Kampung Tugu, Jakarta Utara. Bahasa yang merupakan percampuran bahasa Portugis dan Melayu itu lebih banyak ditemukan lewat musik keroncong yang kini masih bisa dijumpai di kawasan Kota Tua, Jakarta. Pada syair-syair keroncong itu, misalnya, banyak kemiripan bunyi antara bahasa Portugis dan kreol Tugu. Perbedaannya terdapat dalam penulisan huruf, misal "o" dan "c" yang dalam bahasa kreol ditulis "u" dan "k". Kata gato (kucing), misalnya, dalam bahasa kreol Tugu akan menjadi gatu. Atau corto (muka) menjadi korto.

"Tapi fungsi komunikasi bahasa kreol Tugu punah lantaran tak diturunkan secara aktif ke generasi berikutnya. Juga kalah bersaing dengan bahasa Indonesia," ujar Lilie Suratminto, pakar linguistik kreol Tugu sekaligus ketua tim peneliti Laboratorium Leksikologi dan Leksikografi Universitas Indonesia. Lilie dan timnya melakukan penelitian tentang kepunahan fungsi komunikasi bahasa kreol Tugu ini pada Agustus-Desember 2014. Laporan berjudul Kepunahan Bahasa; Bahasa Kreol Tugu yang Punah dalam Pemertahanan Budaya Tugu dibukukan pada akhir Mei lalu.

Bahasa kreol tercipta saat terjadi kontak antara penduduk asli dan pendatang yang berbeda bahasa. Di Kampung Tugu, cikal-bakal bahasa ini berasal dari orang-orang berbahasa Portugis dari berbagai koloni Portugis di Malaka, Pantai Malabar, Kalkuta, Surate, Koromandel, Goa, dan Cey­lon (Sri Lanka). Pada pertengahan abad ke-17, mereka diboyong ke Batavia sebagai tawanan perang untuk dijadikan pekerja atau serdadu VOC. Mulanya mereka ditempatkan di sekitar Portugeesche Buitenkerk atau Gereja Portugis, sekarang bernama Gereja Sion di Jalan Pangeran Jayakarta.

Sejumlah pekerja yang dibebaskan dari perbudakan dipaksa memeluk agama Kristen Protestan aliran Calvinisme. Mereka lalu diasingkan ke tenggara Batavia di Kampung Tugu, yang pada saat itu jauh dari keramaian. Lantaran Kampung Tugu terisolasi dengan daerah sekitarnya, mereka dapat mempertahankan bahasa kreol Portugis selama hampir tiga setengah abad. Bahasa itu bertahan sebagai bahasa vernacular atau sarana komunikasi antarwarga masyarakat di Kampung Tugu. Sistem masyarakat yang tertutup membuat bahasa ini tidak mudah dipengaruhi bahasa lain.

Hingga akhir abad ke-20, beberapa generasi tua Kampung Tugu masih fasih berbahasa kreol Portugis. Namun jumlahnya terus berkurang. Mereka tak mampu menurunkan bahasa itu kepada generasi penerus. Dua penutur asli terakhir bahasa ini telah meninggal. Pada 2012, Oma Mimi Abrahams, warga Kampung Tugu, Kelurahan Semper Barat, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara, tutup usia pada umur 80 tahun. Dua tahun setelahnya, Fernando Quiko, pemuka Kampung Tugu dan salah satu pegiat Keroncong Tugu, menyusul berpulang. Kini tak ada lagi warga keturunan Portugis di Kampung Tugu yang menguasai bahasa tersebut. Warga keturunan Portugis di kampung ini pun kini cuma tersisa satu RW.

l l l

"Aku ingin masuk ke hatimu, kau yang akan menikah denganku," Guido Quiko, pemimpin Keroncong Tugu, menuturkan arti petikan lagu Gatu Matu (Kucing Hitam). Meski merupakan keturunan Portugis generasi keempat, pria 47 tahun ini tak bisa berbahasa kreol Tugu. Lebih dari 25 tahun Guido menyanyikan lagu-lagu berbahasa kreol Tugu tanpa mengerti maknanya. Ia baru paham arti lirik lagu Gatu Matu setelah diberi tahu tim peneliti dari Laboratorium Leksikologi dan Leksikografi Universitas Indonesia. Begitu juga empat lagu lain, Yan Kage Leti, Nina Bobo, Cafrinho, dan Moresco.

Meski tak lagi berkomunikasi dengan bahasa kreol Tugu, warga Kampung Tugu masih menjaga tradisi kakek-nenek mereka. Soal panggilan dalam sistem kekerabatan, misalnya, mereka masih menggunakan tuturan seperti tata grandi (kakek buyut), encang (nenek), om (paman), tante (bibi), sinyo (saudara laki-laki), dan nina (saudara perempuan). Dalam pemakaian nama marga, ada Salomon, Abrahams, Michiels, Andries, dan Quiko, yang sudah ada sejak 1661. Atau juga dalam upacara keagamaan, seperti Bisingku untuk mengucapkan selamat Natal. Paling mencolok adalah penggunaannya di lirik lagu grup Keroncong Tugu Cafrinho itu.

Lima lagu yang sering dibawakan Guido dan Keroncong Tugu merupakan lagu turun-temurun sejak 1925. Mulanya Joseph Quiko, kakek Guido yang masih menguasai bahasa kreol Tugu, membentuk grup ini dengan nama Orkes Poesaka Krontjong Moresco Toegoe Anno 1661—tahun pembebasan tawanan Portugis oleh Belanda. Grup ini sempat mati selama hampir 30 tahun karena perang, tapi berhasil dibangkitkan kembali pada 1970 oleh anak-cucunya, Jacobus dan Samuel Quiko. Keduanya menguasai bahasa kreol Tugu. Sejak 2006 hingga sekarang, grup ini dipimpin Guido, putra Samuel.

Guido bercerita, sebetulnya upaya pelestarian bahasa kreol Tugu sudah dilakukan oleh kakeknya, Jacobus, bersamaan dengan dikembangkan kembali Keroncong Tugu. Ikhtiar tersebut dilakukan melalui dua cara, yakni mendaftarkan kosakata bahasa kreol Tugu, dibantu Felix Noel, keturunan Portugis di Malaka, melalui korespondensi. "Ada lebih dari 3.300 kata yang Kakek dapat," ujarnya. Hingga kini Guido masih menyimpan rapi dokumen tersebut.

Cara lain adalah dengan membuka Escola Papia Tugu, sekolah yang mengajarkan bahasa kreol Tugu kepada anak-anak setempat. "Sayangnya, sekolah ini berhenti," kata Venansia Ajeng Surya Ariyani Pedo, anggota tim peneliti dari Universitas Indonesia. Penyebabnya, kalah bersaing dengan sekolah formal yang memakai bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar.

Saat Lilie, Venansia, dan tim melakukan penelitian, warga keturunan Portugis di Kampung Tugu yang jumlahnya tak sampai 200 orang itu merasa sangat dihargai. "Kebanggaan kami sebagai keturunan bangsa Portugis bangkit," kata Guido. Hasrat untuk melestarikan budaya dan bahasa kreol Tugu pun tumbuh.

Pada Juni lalu, Guido dan beberapa warga Kampung Tugu hadir dalam konferensi komunitas Portugis Asia yang digelar di Malaka, Malaysia. Sebanyak 550 orang datang mewakili 10 negara, termasuk Indonesia, Timor Leste, dan delegasi dari Portugal. Dalam pertemuan itu, menurut Guido, disepakati untuk mengembangkan kekhasan tiap masyarakat keturunan Portugis yang ada di Asia. Salah satunya dengan mendirikan pusat bahasa kreol Portugis.

Agar bisa membangkitkan kembali bahasa kreol Tugu, Guido sadar bahwa warga Kampung Tugu harus memulainya dari nol. Karena itu, dia berencana membuka kembali Escola Papia Tugu dan melatih warga Kampung Tugu untuk mengajarkan bahasa kreol Tugu di sekolah tersebut. Selain itu, dia mulai membuat sendiri lagu-lagu keroncong dengan lirik bahasa kreol Tugu sambil belajar bahasanya sedikit demi sedikit.

Dalam upaya menghidupkan kembali bahasa kreol Tugu, warga Kampung Tugu tak akan bergerak sendiri. Konferensi di Malaka juga menyepakati soal pendanaan untuk pengembangan bahasa kreol di Indonesia. Tak hanya itu, konferensi ini juga berencana mengajak negara-negara berbahasa Portugis bekerja sama dalam misi kesenian dan kebudayaan. Misalnya membantu pendistribusian penjualan lagu-lagu karya Keroncong Tugu.

Menjelang malam tiba, anggota Keroncong Tugu kian larut dalam irama musik yang mereka mainkan. Sebagai penutup, mereka membawakan lagu Cafrinho (Bersama-sama). "Cafrinho kere anda kaju, tira terban nadi sako," semua anggota keroncong bernyanyi. "Kami beramai-ramai mau permisi pulang, angkat topi beri selamat." Lagu ini seolah-olah menjadi penyemangat bahwa mereka pernah memiliki sesuatu yang oleh teolog Jerman, Rudolf Otto, disebut de fascinans: yang mem­pesona. AMRI MAHBUB

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus