Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Presiden Joko Widodo menunjuk Komisaris Jenderal Suhardi Alius sebagai Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) pada 20 Juli lalu. Suhardi menggantikan Tito Karnavian, yang menjadi Kepala Kepolisian RI.
Tak lama setelah dilantik, Suhardi terbang ke Poso, Sulawesi Tengah, untuk melihat jenazah Santoso. Buron tersangka teroris itu ditembak satuan tugas Tinombala—gabungan polisi dan tentara—di wilayah pegunungan Desa Tambarana, Pesisir Utara, Poso.
Karier Suhardi "hidup" kembali setelah ia terlempar dari jajaran elite kepolisian, satu setengah tahun lalu. Di tengah konflik Kepolisian dan Komisi Pemberantasan Korupsi, yang mencuat setelah Komisaris Jenderal Budi Gunawan dijadikan tersangka gratifikasi, Suhardi dicopot dari kursi Kepala Badan Reserse Kriminal Polri pada Januari 2015. Ia dituduh terlalu dekat dengan komisi antikorupsi.
Suhardi digeser ke Sekretaris Utama Lembaga Ketahanan Nasional. "Seorang wartawan mengatakan saya terlempar ke Lemhannas. Saya jawab: Lemhannas itu tempat terhormat. Itu tempat mendidik calon pemimpin nasional," ujar Suhardi dalam wawancara di kantor Tempo, Rabu malam pekan lalu.
Di posisi barunya, Suhardi mengatakan lembaganya harus bekerja keras mengantisipasi segala bentuk aksi terorisme. Termasuk terorisme gaya baru dengan modus menabrakkan mobil ke kerumunan orang seperti di Nice, Prancis, 14 Juli lalu.
Dalam perbincangan sekitar dua jam, mantan Kepala Kepolisian Daerah Jawa Barat itu menjelaskan berbagai hal, dari peran BNPT ke depan, antisipasi terorisme gaya baru, hingga hubungannya dengan sejumlah petinggi Polri, termasuk Budi Gunawan.
Setelah Santoso tewas, apa ancaman terorisme sekarang?
Pengaruh Santoso masih ada. Buktinya, masih ada tuh pengikutnya.
Berapa anggota kelompok Santoso yang masih bertahan?
Delapan belas orang, dan itu berarti ada 18 komunitas yang harus didekati. Yang keluarganya masih ada, harus dijaga komunikasinya.
Benarkah kantong-kantong teroris tak berubah dari dulu—seperti beberapa daerah di Jawa Barat?
Itu yang harus diwaspadai. Saya bilang harus dipertajam, kan ada pesantren yang belum terpantau. Faktanya, ada guru yang tak mengizinkan hormat bendera atau larangan menyanyi lagu Indonesia Raya. Tapi tidak mungkin saya yang masuk, karena mereka akan apriori. Lalu saya minta bantuan PBNU dan Muhammadiyah. Ini bukan pekerjaan ringan. Ini tanggung jawab sosial seluruh masyarakat.
Jadi lebih ke pencegahan?
Ya, dalam konteks menyelamatkan anak bangsa yang kemungkinan terpapar oleh radikalisme. Deradikalisasi untuk orang yang sudah kena, bukan cuma narapidana, keluarganya juga.
Saya bilang ke Pak Presiden: kalau ada seratus teroris, ada seratus komunitas yang harus kita lihat karena mereka pasti punya konsep radikal, hanya tak melakukannya. Nah, ini harus digarap dulu. Siapa yang urus? Semuanya, tak bisa sendirian. Makanya kami ketemu dengan ulama NU, Muhammadiyah.
Efektifkah pemblokiran situs radikal yang dilakukan selama ini?
Tidak bisa semuanya, karena mereka bikin baru lagi. Contohnya ada sekitar 600 narapidana terorisme keluar, 200 masih di dalam (pengawasan), selebihnya 400 orang itu siapa yang mengawasi? Di mana mereka berada? Survei membuktikan 20 persen mengulangi perbuatannya. Jadi mesti dipetakan tempat tinggalnya dan keluarganya juga harus didekati, karena bisa berpotensi radikal. Kemarin kami diskusi dengan Dirjen Pemasyarakatan (Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia), ada 72 lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan yang takut pada doktrin dan ideologi radikal. Petugas jaga juga terbatas.
Bagaimana Anda melihat teknologi informasi yang digunakan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS)?
Itulah beda teroris lama dan baru. Teroris lama kan mesti ketemu secara fisik, kekerabatan, kekeluargaan. Dulu dibaiatnya secara fisik, sekarang banyak di dunia maya. Perintahnya sudah dengan Internet. Yang Bahrun Naim (terduga dalang bom Thamrin) itu, saya dengar perintah dari ISIS untuk melakukan amaliah.
Sekarang teroris sendirian, siapa yang bisa mengira? Lewat Internet dicuci otaknya, dia akan mencari tindakan amaliah sendiri seperti apa, waktunya bagaimana. Sama seperti di Nice, Prancis, itu. Dia enggak punya bom, tapi menggunakan truk untuk menabrak orang. Hal-hal seperti itu harus diwaspadai, makanya antisipasinya harus cukup.
Bagaimana BNPT memantau ISIS?
Sekarang ada foreign terrorist fighters, yang tidak terjangkau oleh hukum kita. Kalau ada yang pulang dari latihan perang, kami tidak boleh menangkapnya, karena tak ada hukumnya.
Belum masuk Undang-Undang Terorisme?
Dulu semua undang-undang dibatasi ruang dan waktu, belum dirasa perlu. Tapi sekarang dirasa perlu, sudah ada dinamikanya di depan mata kita. Masyarakat bilang, kok dibiarin? Tapi kami belum ada hukumnya dan nanti kami disebut berbuat sewenang-wenang dan melanggar hak asasi.
Ada pemetaannya? Misalnya, berapa yang pulang dari Suriah dan membawa keluarganya?
Sampai sekarang masih dalam penelitian. Ini hukumnya sedang diatur, biar kalau dia pulang bisa ditanya.
Berapa WNI yang bergabung dengan ISIS di luar negeri?
Pernah dirilis 600 orang. Kalau identitasnya ada, kami bisa melacak keluarganya di sini.
Berapa orang yang tergabung dengan ISIS di Indonesia?
Jumlahnya tidak terdeteksi. Tapi yang sudah terjadi paling banyak anak seumur siswa SMA, sekarang sudah naik ke mahasiswa. Bukan berarti brain washing di bawah SMA tidak ada. Komnas HAM bilang sudah masuk ke sekolah-sekolah favorit juga. Kalau tidak mencari yang pintar, mereka cari yang besar gaungnya. Survei menunjukkan radikalisasi itu berkembang juga di ekstrakurikuler, di perkumpulan.
Ada pengakuan napi bahwa deradikalisasi tak efektif karena petugas BNPT hanya datang sesekali.
Harus dijadwalkan tiap hari. Anggota kami terbatas, psikolog, ulama, tidak bisa setiap hari. Pada 2010, Santoso ikut program deradikalisasi. Mungkin intensitas untuk merawatnya yang lepas. Tapi, menurut saya, Poso ada kelebihan sendiri, karena ada situasi konflik di belakangnya. Harus ada perlakuan khusus, seharusnya ada pendekatan teknis bukan hanya pendekatan agama.
Apa yang akan ditempuh BNPT untuk mencegah penyebaran di lembaga pemasyarakatan, seperti di Nusakambangan dan Cipinang?
Yang masuk ke sana sudah kakap. Dipisahkan.
Dalam program deradikalisasi, apakah cukup ampuh mempertemukan napi dengan bekas teroris?
Bagi teroris pemula cukup ampuh ketika dipertemukan dengan mantan teroris yang sebelumnya menjadi amir. Tapi, untuk aktor intelektual, tinggal diadu dengan yang berilmu. Kami perlu bekerja sama dengan Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, karena mereka punya jaringan untuk mempertemukan dengan tokoh-tokoh masyarakat dan agama.
Bagaimana dengan Aman Abdurrahman, yang sudah beberapa kali berhasil mempengaruhi orang?
Masih kami cari pendekatan yang paling pas ke dia. (Aman Abdurrahman ditangkap pada 2010 dan dihukum 9 tahun penjara setelah terbukti menyokong pelatihan militer di Aceh. Kini ia mendekam di LP Nusakambangan.)
Mengapa dia tidak diisolasi saja?
Nanti kena pelanggaran hak asasi lagi. Kalau diisolasi kan tidak bisa kontak dengan keluarganya.
Bagaimana dengan metode paham tandingan, seperti membuat pesantren yang moderat?
Kami sudah membuat, ada satu di Medan. Ideologi harus dihadapi dengan ideologi dalam koridor yang jelas, tidak bisa kita cuci otak.
Persoalannya tidak bisa diatasi dalam waktu singkat?
Tidak bisa. Mengubah mindset seseorang perlu intensitas, kami rangkul keluarganya. Anaknya Imam Samudera (terpidana mati kasus Bom Bali 2002) sewaktu kejadian umur 10 tahun. Sepuluh tahun kemudian dia berangkat ke Suriah dan mati di sana.
Para bekas teroris yang direkrut untuk membantu program deradikalisasi mendapat insentif?
Anggarannya tidak ada. Paling mendapat honor pembicara.
Selama ini aparat dikritik karena selalu menembak mati orang yang baru diduga terlibat terorisme.
Saya tak melihat prosesnya, tapi kan ada prosedurnya. Tidak tiba-tiba. Kami ada urut-urutannya.
Maksudnya?
Ekspektasi rakyat itu naik terus. Dulu ketika bom meledak, kita harus selesaikan segera. Sekarang, permintaan masyarakat tak mau ada bom. Kalau ada bom, berarti aparat tidak sukses. Karena tak mau kebobolan, kami bekerja tak henti-henti.
Ada faktor psikologi aparat di lapangan?
Anggota Detasemen Khusus itu banyak yang tak pulang berbulan-bulan. Kita juga perlu melihat dengan jernih bahwa apa yang kami kerjakan ini untuk merawat hak asasi orang banyak.
Soal Siyono, yang ditembak mati di Klaten, kematiannya diinvestigasi Muhammadiyah. Bagaimana itu?
Saya tidak tahu cerita pastinya. Siapa sih yang sempurna? Pasti ada kekurangan. Tindakan kami ini untuk melindungi orang banyak. Tapi mungkin prosedurnya yang harus diperbaiki.
Ketika Siyono ditangkap, di dekatnya ada anak-anak. Bagaimana kalau mereka dendam kepada aparat?
Justru itu yang harus dirangkul sekarang, jangan dimarginalkan.
Benarkah BNPT sebenarnya lebih berperan dalam koordinasi?
Ya, ada tiga deputi di BNPT, yaitu pencegahan, penindakan, dan kerja sama. Kami masih butuh bantuan Densus 88 untuk penindakan terorisme. Kami tidak punya kekuatan begitu. Kami bekerja sama juga dengan Komnas HAM untuk memberikan pengarahan agar tidak melanggar hak asasi.
Berapa banyak personel BNPT?
Ada dua ratusan. Itu plus pengamanan segala macam. Kalau yang mengelola seratusan, tapi pekerjaan besar ada di situ. Jadi kami sampaikan ke Presiden bagaimana kementerian ikut merasa memiliki program ini.
Apa yang dilakukan BNPT untuk mendekati orang-orang yang radikal?
Salah satu program kami dalam menetralkan radikalisasi adalah melibatkan para mantan fighter-nya yang sudah sadar, seperti Ali Imron, Nasir Abbas, Ali Fauzi. Supaya ditunjukkan dan menanyakan konsepnya apa. Jadi pola pikirnya dilihat dulu, kalau dikasih ke ulama padahal pola pikirnya lain, misalnya, punya luka lama. Pendekatan secara kultur juga bisa.
Bahrun Naim akan diapakan kalau kembali?
Ada janji Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, kalau dia kembali untuk menyerahkan diri, mungkin ada keringanan dan sebagainya.
BNPT merilis 19 pesantren yang terindikasi mengajarkan radikalisme, termasuk Ngruki. Apakah itu masih terjadi sampai sekarang?
Masih. Sentuhannya masih konvensional, tidak ada konsep kebangsaan.
Bagaimana strategi menghadapi pesantren-pesantren tersebut?
Kami sudah susun rencana. Kami libatkan ulama segala macam. Kalau tidak bisa langsung, kami ada jembatan.
BNPT punya daftar dai yang menyebarkan kebencian?
Kami pantau mereka dari media sosial.
Bagaimana koordinasi dengan Badan Intelijen Negara?
Bagus. Sekarang dengan Menkopolhukam kan sudah satu desk. Deputi 1 BNPT kan tentara, deputi kerja samanya Marinir.
BNPT juga bekerja sama dengan negara-negara tetangga?
Di regional, mungkin tipe permasalahan sama. Pak Tito (Kapolri) berpesan, yang perlu pendalaman lebih detail adalah Filipina, Thailand, Malaysia, dan sedikit Singapura. Ada kemiripan latar belakang perjuangan di negara-negara tersebut. Dunia internasional paling banyak minta pendapat kita, karena kita dianggap paling berhasil dalam "melakukan proses hukum dan legislasi". Mereka belajar dari kita walaupun permasalahannya berbeda.
Anda berlatar belakang reserse tapi menangani terorisme.
Saya dulu mengenal pekerjaan ini walaupun tidak secara langsung. Kasus terorisme yang ditangani Densus ketika masuk penyidikan berhubungan dengan kami (reserse). Memang dulu pejabat BNPT selalu dari Densus, saya ini pertama kali yang tidak berlatar belakang Densus.
Enak di BNPT atau Bareskrim?
Enak di Lemhannas, pulang cepat, kumpul keluarga.
Sorotannya lebih banyak di Bareskrim?
Sorotannya beda-beda. Kalau di BNPT kan koordinasi dengan kementerian, harus selalu ada inovasi. Tantangannya lebih besar.
Anda kaget karier Anda "hidup" kembali?
Saya tidak menyangka. Dijalani saja. Sewaktu saya tidak menjabat Kabareskrim, seorang wartawan pernah mengatakan bahwa saya terlempar ke Lemhannas. Lalu saya bilang Lemhannas adalah tempat terhormat. Itu tempat mendidik calon pemimpin nasional. Saya justru bersyukur di situ bisa memberi sentuhan.
Sebagai Kepala BNPT, Anda tinggal di safe house?
Tidak. Zaman Pak Tito Karnavian, dia di safe house. Kami lihat sekarang ancamannya berbeda.
Tapi pengamanan terhadap Anda meningkat?
Ya, sekarang juga dikawal.
Mobil Anda tahan peluru?
Enggak. Biasa saja.
Suhardi Alius Tempat dan Tanggal Lahir: Jakarta, 10 Mei 1962 | Pangkat: Komisaris jenderal | Pendidikan: Akademi Kepolisian (1985) | Karier: Kepala Kepolisian Resor Metro Depok (2002), Wakil Direktur Kriminal Umum Kepolisian Daerah Metro Jaya (2003), Kepala Polres Metro Jakarta Barat (2004), Direktur Reserse Kriminal Polda Metro Jaya (2005), Direktur Minwa PTIK (2009), Direktur Tindak Pidana Tertentu Badan Reserse Kriminal (2009-2010), Wakil Kepala Polda Metro Jaya (2011), Kepala Divisi Humas Polri (2012), Kepala Polda Jawa Barat (2013), Kepala Bareskrim Polri (2013), Sekretaris Utama Lemhannas (2015-2016), Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (Juli 2016-sekarang) | Karya buku: Mengubah Pelayanan Polri dari Pimpinan ke Bawahan (2013) |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo