MENGENDURNYA ketegangan Timur-Barat belakangan ini, ternyata, tak membuat para ahli militer Amerika bisa ongkang-ongkang kaki. Para pakar pertahanan di Pentagon masih terus saja sibuk putar otak membuat rancangan alat-alat perang yang lebih sakti. Salah satu proyek yang sedang mereka garap kini adalah pesawat pemburu kapal selam. Pesawat patroli jarak jauh ini akan menggantikan pengawal pantai jenis P-3C Orion, buatan perusahaan Lockheed, yang mulai dioperasikan pada 1976 dan bakal memasuki masa pensiun pertengahan 1990-an nanti. Sebagai pemburu kapal selam, pesawat seri P-3 kini telah dianggap ketinggalan zaman, tak sanggup lagi mengendus kapal-kapal selam Uni Soviet yang makin pintar menyusup lebih dalam ke bawah laut tanpa banyak menimbulkan getaran, seperti kapal selam The Red October yang dilukiskan dalam novel dan film yang beken itu. Para pakar militer Pentagon telah mematok sejumlah syarat bagi calon pengganti P-3 Orion. Pesawat baru itu diharapkan sanggup terbang terus-menerus paling kurang empat jam, dengan menempuh jarak maksimal 2.500 km. Pesawat patroli itu harus pula berbadan lebar, agar sanggup menggendong dua pucuk rudal Harpoon, empat buah torpedo Mk-50, dan 150 biji suar pelampung pencari jejak kapal selam, plus sejumlah ranjau laut Syarat lainnya, harga pesawat ini tak boleh lebih dari Rp 64 milyar. Proyek ini membuat sibuk perusahaan-perusahaan raksasa seperti McDonnell Douglas, Lockheed, Gulfstream Aerospace (GA), dan Boeing, bersaing merebut tender bergengsi itu. Namun, pagi-pagi GA telah tersisih. Proposal GA, yang mengajukan pesawat berbadan lebar Gulfstream-4, sebagai pengawal pantai, telah resmi ditolak. McDonnell dengan calonnya MD-87 sebetulnya memenuhi kualifikasi dasar yang diperlukan. Hanya saja, karena perusahaan ini memasang harga terlalu tinggi untuk calonnya, Pentagon menampiknya. Hingga kini, hanya Boeing dan Lockheed yang masih bersaing ketat. Boeing memang punya pengalaman segudang dalam soal membangun pesawat militer. Lihat saja pesawat Awacs (Airborne Warning and Control Systerns), yang hingga kini masih tetap bertahan sebagai primadona "mata-mata" di angkasa. Pada kompetisi tender pesawat patroli laut itu, Boeing mengajukan calon pesawat B-757. Dibanding P-3 Orion, Boeing 757 jelas tampak lebih gagah. Rentangan sayapnya 38 meter, 8 meter lebih lebar dari P-3 Orion. Maka, B-757 pun sanggup mengangkut jumlah rudal, torpedo, dan pelampung penyidik, sebanyak yang dikehendaki Pentagon. Dengan memodifikasi sayap, Boeing menjanjikan bahwa B-757-nya bakal sanggup membuat manuver yang pesawat jet badan lebar merk lain tak mampu melakukannya. Dalam pengujian, B-757 itu sanggup meliuk ke samping 45 derajat, hanya pada beberapa detik setelah lepas landas. Lantas, sambil menanjak ke ketinggian 500, tubuh pesawat itu membuat gerak menikung 60 derajat. Namun, harga B-747 ini melesat jauh di atas plafon anggaran Pentagon. Dengan berat hati, proposal Boeing ditolak. Maka, tender pesawat patroli yang sering disebut LRAACA (Long-Range Air Antisubmarine Warfare Capable Aircraft) itu jatuh ke tangan Lockheed. "Sebab, hanya kami yang memiliki teknologi yang matang tapi murah," ujar Lyle Schaefer, manajer proyek LRAACA di Lockheed. Sepintas, tongkrongan LRAACA ini mirip betul dengan P-3 Orion. Keduanya juga sama-sama punya empat mesin. "Tapi hanya 20% suku cadang Orion yang bisa dipakai dalam LRAACA," tutur Lyle Schaefer. Ukuran kedua pesawat itu berbeda, LRAACA sekelas dengan Boeing 757. Pesawat patroli jenis baru itu menggunakan empat buah mesin turboprop GE-38, buatan General Electric. Tiap mesin GE-38 menyumbang daya yang besarnya sekitar 6.000 tenaga kuda. Jauh lebih besar dibanding mesin Allison T56-A pada P-3 Orion yang hanya berkapasitas 4.500 tenaga kuda. Burung penjaga pantai ini sanggup membawa dua pucuk Harpoon, 8 buah torpedo, sejumlah ranjau, dan 300 pelampung pencari jejak kapal selam. Pesawat LRAACA ini, "Bukan cuma punya telinga elektronik yang peka, tapi dia juga bagai burung raksasa yang punya cakar dan taring," kata Schaefer bangga. Pilot yang berada di dalam kokpit LRAACA ditanggung aman dari ranjau "laser", jenis senjata pembuta mata yang kini mulai diproduksi, baik oleh blok Barat maupun Timur. Kaca kokpit sanggup menangkal serbuan laser. Instrumen antipengacau radar juga tersedia dalam LRAACA itu. Instrumen IRDS (InfraRed Detection Systems) pada LRAACA jauh lebih peka dibanding pada P-3 Orion. Dengan instrumen ini, pesawat patroli itu mampu "membaui" kapal selam yang sedang ngumpet di dasar laut. Untuk memblokade kapal selam itu, LRAACA bisa menjatuhkan sejumlah ranjau laut. Melalui hubungan satelit, pesawat patroli itu leluasa berhubungan dengan markas induknya. Jika diperintahkan menyerang, dia akan menjatuhkan pelampung-pelampung suar, yang sebetulnya merupakan detektor kapal selam. Hasil pelacakan itu dilaporkan kembali ke kabin pesawat, dan diolah oleh komputer yang ada. Hasilnya adalah gambaran rinci tentang posisi kapal selam itu. Lantas, dia akan menembakkan torpedo Mk-50-nya, jenis torpedo yang dirancang untuk memburu kapal-kapal selam cangih. Pada kepala torpedo yang akan diprouksi beberapa tahun mendatang itu, terdapat sensor inframerah yang bisa mencari sasaran secara otomais. Torpedo jenis ini sanggup melaju dengan kecepatan melebihi 1.500 km/jam di udara, dan sekitar 160 km/jam di dalam air. Siapa yang menembak? Siapa yang ditembak? Agaknya pertanyaan itu tak penting bagi Amerika. Sebab, kenyataannya, perlengkapan militer adalah juga komoditi ekspor. Tahun lalu, kabarnya, Amerika meraup devisa lebih dari Rp 16 trilyun dari ekspor persenjataan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini