MASIH ingat Satya Graha? Perupa kelahiran Malang 1948 ini pada 1977 muncul dalam pameran kelompok Gerakan Seni Rupa Baru. Ia membuat patung lunak. Dalam buku Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia (Gramedia, 1979), dapat dilihat beberapa foto patungnya. Sosok manusia empuk dan lemas, antara maya dan nyata, berada dalam lingkungan kongkret: duduk di kloset, berbaring melintang di rel kereta api, duduk terongok di tepi jalan, tergelantung di ruangan. Ketika sesudah 1980 kelompok Gerakan Seni Rupa Baru menguap, Satya Graha ikut pula menguap. Rupanya ia berada di Jerman Barat, 1980-1984. Sepulang dari sana, alumnus FSRD (Fakultas Seni Runa dan Desain) ITB itu menjadi kawula Ngayogyakarta, dan mengajar di FSRD ISI, sejak 1986. Tiba-tiba ia memamerkan 28 "lukisan pensil" di Bentara Budaya Yogyakarta (20-27 Mei) dan di Galeri Sumardja Bandung, 30 Mei-7 Juni. Ini pekerjaan dalam jangka 1981-1989, lebih dari setengahnya dalam tiga tahun terakhir. Semua hitam-putih, kecuali satu-dua yang menggunakan pensil berwarna. Kebanyakan pelukis, tentu saja, ada waktunya membuat coretan hitam-putih, terutama sebagai sketsa catatan dan sketsa rancangan lukisan. Bahkan tidak sedikit karya selesai (tidak dimaksud sebagai catatan atau rancangan, atau latihan) yang memang hitam-putih. Dalam keadaan bahan lukis susah didapat atau tak terjangkau seperti di masa lalu, karya hitam-putih mempunyai cukup popularitas di kalangan pelukis. Masa 1950-1960 barangkali dapat dicatat sebagai masa subur hitam-putih dalam seni lukis kita. Di antara medium hitam-putih, pensil lebih jarang ditampilkan dalam pameran-pameran, dibandingkan tinta yang memungkinkan kepekatan tinggi tetapi juga nuansa yang kaya, serta arang atau konte yang dapat memberikan kepekatan dan corengan lebar. Pameran Satya Graha, karena itu, dapat dipandang sebagai upaya menempatkan pensil sebagai medium lukis yang sah dan terhormat, bukan medium "minor" atau "inferior". Pilihan sosok manusia sebagai pokok karyanya boleh jadi bertalian dengan latar belakang perupa ini sebagai pematung. Begitu pula cara melihat yang terlibat dalam proses bekerja, seperti ditulisnya dalam katalog: "Dalam bekerja, saya berangkat dengan menggambar manusia sekongkret ia muncul. Guna menarik ke luar yang tertutup kulit, saya lalu merusaknya membuatnya transparan, menghapus yang berlebih, menjelaskan bekas-bekas yang tersisa, lagi dan lagi, hingga muncul, hingga kena. " Pematung menerobos kulit sebab ia berkepentingan dengan massa, struktur, gaya berat, dan gaya lainnya. Pada permukaan gambar sosok manusia Satya Graha, kita melihat bagian yang terhapus. Pada hapusan itu ditimpakan "tambahan" atau "penjelasan" berupa coretan halus ataupun tegas-tajam -- dan kita melihat gumpalan otot, benjolan, atau bahkan konstruksi tulang. Sosok, dengan cara demikian, terkupas, meski tidak seluruhnya. Tetapi pengupasan ini bukankah cara kerja kematian: menghancurkan rias dan kulit, untuk memperlihatkan apa akhirnya sebenarnya, yaitu tulang-belulang? Cara kerja Satya Graha membimbingnya melihat kematian, atau penglihatan akan kematian membimbingnya kepada pilihan cara kerja. Bila sosok manusia adalah pokok yang dipilihnya untuk dicitrakan, kematian adalah tema yang digarapnya dalam kebanyakan karyanya. Kematian terbayang pada wajah orang (Wajah, Lelaki Berdasi Kupu-Kupu), maut merangkul orang muda (Ajal II, III), kematian membayang dan menyertai kehidupan. Menakutkan? Apa boleh buat, itu yang dilihat Satya Graha. Pesimistis dan murung melihat kehidupan? Manusia perlu hiburan, bagaimanapun juga? Barangkali ada hiburan. Tetapi hiburan ini ditawarkan -- dalam karya Satya Graha -- dalam wujud yang tidak kurang murung dan menakutkan. Barangkali ada hiburan, dibawakan oleh sosok terluka yang berjalan itu (Berjalan I dan II), oleh sosok yang disalibkan, menyatu dengan salib (Salib I, II, III), ada hiburan dalam penebusan dosa? Juga Satya Graha memberikan hiburan bagi para pencerap yang peka dan cerdas. Menggunakan bermacam pensil (dari 2B hingga 6B) dan penghapus, ia menyajikan semacam "musik hitam-putih" dan semacam lirik tentang kondisi atau takdir manusia, yang boleh menjadi pangkalan bertolak renungan siapa saja, apa pun keyakinannya. Yang pasti, ia tidak memberikan hiburan ringan. Karyanya bukan untuk mereka yang hanya mencari kenyamanan dan kilau, yang beranggapan bahwa kanvas lebih berharga dari kertas, dan bahwa cat lebih bermutu dari pensil.Sanento Yulimaan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini