UNTUK para penduduk yang tanahnya digenangi proyek waduk, kini ada kabar gembira. Di Dyke (bendungan) E Waduk Saguling, Jawa Barat, bulan lalu pengujian sistem kolam jaring (SKJ) dinilai layak dikembangkan. Bahkan, "Keberhasilan uji coba ini memberi prospek cerah bagi penduduk yang akan mengalihkan profesinya dari petani menjadi peternak ikan," ujar gubernur Jawa Barat Aang Kunaefi. Caranya? Danau dimanfaatkan sebagai lahan peternakan ikan. "Terutama yang airnya tidak bergelombang, dan tidak berangin kencang," kata Syamsudin A.R., kepala Laboratorium Akuakultur Universitas Padjadjaran (Unpad), kepada TEMPO, pekan silam. Bersama 24 petani yang sudah dilatih lebih dulu, Syamsudin, 39, menguji SKJ ini sejak akhir tahun lalu. Sistem ini meliputi konstruksi bambu, atau besi, dengan dua jaring polyethylene berukuran 7x7x2 meter. Untuk mengapungkan konstruksi dan jaring, dipakai drum bekas, yang kemudian dipasangi jangkar, agar "kolam" tidak hanyut. Di atas "kolam" juga direntangkan jaring, supaya ikan tidak berlompatan keluar. Syamsudin, dosen Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian Unpad itu, menyiapkan 10 petak ("kolam") untuk percobaannya yang didukung Dinas Perikanan Jawa Barat, Balai Penelitian Perikanan Bogor, Unpad, dan proyek PLTA Saguling. Tiap petak diisi 1.553 ikan emas, beberapa petak diisi ikan nila (Nilautica mossambica). Tadinya, gurami juga diikutsertakan. Belakangan, karena pertumbuhannya dinilai lambat, gurami dicoret dari daftar. Untuk sistem ini, suhu air ideal diharapkan 22C-26C. Kandungan oksigennya sekitar 4 ppm, dan ph-nya 6. Kadar amoniak jangan melebihi 0,1 ppm. Kedalaman air disarankan minimal 5 meter, agar kesehatan ikan tidak terganggu oleh mikroba yang hidup di sekitar dasar danau. Ke dalam jaring, yang tenggelam 1,5 meter dan menonjol 0,5 meter dari permukaan air, ditebarkan bibit ikan dengan "dosis" 300 kg per m2. Tiap bibit rata-rata berbobot 100 gram. Makanan buatan (pelet) diberikan tiga kali sehari, dalam jumlah 3% berat ikan. Berdasarkan pengamatan, setiap hari berat ikan bertambah 1,5% dari berat semula. Kolam dipanen setelah empat bulan. Pada saat itu, bibit yang 300 kg tadi sudah berkembang menjadi 1.500 kg. Kolam sekaligus bisa digunakan untuk pembenihan dan pendederan. Syamsudin percaya, dalam beberapa hal, SKJ lebih efisien dari sistem kolam air deras (SKAD). Pada SKAD, katanya, untuk mendapatkan 1 kg ikan diperlukan 3 kg pelet, karena makanan banyak yang hanyut. SKJ hanya memerlukan 2,5 kg pelet untuk mendapatkan 1 .kg ikan. Panen SKAD yang dilakukan dengan menguras air, membutuhkan banyak tenaga dan waktu. Panen SKJ cukup dilakukan dua orang, dengan sekadar menarik jala dalam waktu beberapa menit. Satu unit SKJ, yang meliputi 10 petak berukuran masing masing 7x7 meter, memerlukan biaya total Rp 2,5 juta. "Ini menghemat 50% dari biaya SKAD dalam ukuran luas yang sama," kata Syamsudin, tanpa merinci perhitungannya. Yang jelas, SKAD membutuhkan lahan tanah strategis. sementara SKJ cukup dengan izin penggunaan lokasi. Dari mana Syamsudin beroleh gagasan ini? "Setelah meninjau setengah tahun di Jepang, pada 1976," katanya. Di sana, sarjana perikanan FP Unpad (1973) itu melihat kolam jaring diterapkan di laut tenang. Pada 1982 ia memulai percobaan di Danau Lido, Sukabumi. Tahun berikutnya di Jatiluhur. Terakhir di Waduk Saguling. Kini, konsultan Proyek Induk Pembangkit Hidro (Pikitdro) Saguling itu siap melibatkan 1.020 kepala keluarga untuk proyek SKJ. Bahkan pesantren Arafah, yang "lahan"-nya bakal terendam oleh Waduk Saguling, berniat menggalakkan SKJ. "Lima puluh santri kami sudah siap mengikuti latihan SKJ," kata Syarif Mahmud, pimpinan Arafah. Di lokasinya yang baru, seluas 10 hektar, pondok pesantren itu kelak tepat menghadap ke Waduk Saguling.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini