NAMANYA tertera dalam berbagai legenda serta kitab suci. Dan ia dikenal sebagai ratu. Dalam legenda Yunani, wanita itu dikenal sebagai Nikaule. Menurut sejarah Arab kuno, ia disebut Bilqis. Di kalangan rakyat Etiopia, ia terkenal dengan nama Makeda, dan dianggap cikal bakal bangsa itu. Sedangkan dalam Injil, ia dituliskan sebagai Ratu dari Sheba, dan pada mulanya datang ke Israel untuk menguji kearifan Raja Sulaiman. Tapi, benarkah, sang ratu itu pernah ada? Di kalangan para arkeolog, pertanyaan itu sudah lama tak memiliki jawaban pasti. Dari kisah, cerita, dan legenda, Ratu, yang disebut kaya-raya, cerdas, dan memiliki kebudayaan maju itu, diperkirakan berkuasa di Kerajaan Sheba (Saba) yang berpusat di Marib -- terletak di perbatasan Arab Saudi dan Yaman. Namun, tak ada data arkeologi cukup kuat yang bisa mendukung keyakinan itu. Kerajaan Saba, dalam arkeologi, memang diakui ada. Tetapi, hasil penelitian menunjukkan bahwa data paling tua mengenai kerajaan di kawasan itu berasal dari abad ke-13 Sebelum Masehi. Sementara itu, Israel, menurut kitab suci, diperintah Sulaiman sekitar abad ke-10 SM. Jadi, ada perbedaan waktu sepanjang 300 tahun. Bagaimana mungkin Ratu dari Saba mengunjungi Sulaiman? Di samping itu, pada berbagai kisah dalam catatan kuno berbahasa Arab, tak pernah disebutkan ada ratu yang berkuasa di selatan Jazirah Arab. Teka-teki Ratu dari Saba itu, kini telah membuka lagi mata para arkeolog. Pasalnya, belum lama ini, arkeolog Amerika Dr. James A. Sauer menemukan data yang mengejutkan mengenai misteri Ratu dari Saba itu. Setelah menggali lembah kering Wadi al-Jubah, Yaman, selama lima tahun, ia menemukan beberapa benda purbakala yang diduga bisa mengungkapkan teka-teki Ratu Bilqis. Pengujian atas benda-benda purbakala itu dengan menggunakan unsur radioaktif, Carbon 14, menunjukkan bahwa artefak di lembah itu berasal dari abad ke-10 sampai abad ke-11 SM -- kira-kira sama dengan masa kekuasaan Raja Sulaiman. Selain itu, Sauer juga menemukan pecahan keramik yang diduga berasal dari abad ke-7 SM di perbukitan Hajar ar-Rayhani. Hal lain yang memperkuat pendapat adanya Kerajaan Saba dan Ratu Bilqis bahwa penemuan-penemuan Sauer itu tertimbun sekitar 70 kilometer dari Marib. Sauer mengemukakan bahwa hal penting dari penemuannya adalah gugurnya pendapat yang mengatakan pada abad ke-10 SM, kerajaan-kerajaan di selatan Jazirah Arab tak memiliki kebudayaan cukup tinggi untuk mengunjungi Yerusalem. Teori Sauer hampir tak berbeda dengan isi Alkitab, yang mengatakan Ratu dari Sheba datang ke Yerusalem dengan membawa sejumlah unta dan emas permata, lalu memberondong Sulaiman dengan sejumlah pertanyaan pelik, dan kemudian pergi secara misterlus sebagaimana ia datang. Bila teori Sauer ini bisa dipertahankan, maka beberapa teori kebudayaan di Timur Tengah bisa gugur. Dan, sejumlah persepsi bahkan bisa terbongkar sama sekali. Penelitian tentang kebudayaan-kebudayaan di selatan Jazirah Arab sebetulnya sudah dimulai sejak 1920. Sejak itu lahir teori yang disusun cendekiawan Belgia Jacqueline Pirenne, bahwa kebudayaan Arab Selatan adalah hasil adaptasi kebudayaan Yunani, yang berkembang pada abad ke-13 SM. Menurut teori ini, Ratu dari Saba yang mengunjungi Sulaiman termasuk Ratu yang memiliki latar belakang kebudayaan beralfabet Yunani. Tiga dekade kemudian teori Pirenne itu ditentang banyak ilmuwan, terutama teoretisi dari Amerika. Teori Pirenne oleh para penentangnya disebutkan telah mengabaikan kebudayaan Semit -- akar kebudayaan Timur Tengah yang menurunkan agama Kristen, Islam, dan Yahudi. Menurut teoretisi Amerika itu, kebudayaan Semit memiliki akar perkembangan sendiri, dan bisa sama tuanya dengan kebudayaan Yunani -- yang memang lebih terkenal dan bukannya tidak mungkm sahng mempengaruhi. Kebudayaan Yunani yang sanga maju itu menumpukkan beberapa dasar teorinya dalam ilmu pengetahuan pada kebudayaan Semit khususnya ilmu perbintangan. Kenyataannya, kebudayaan Semit memang menjadi penghubung antara kebudayaan Yunani dan kebudayaan Renaissance (abad ke15-16 M), yang merupakan akar kebudayaan Barat modern. Tanpa pengembangan pada jajaran kebudayaan Semit, berbagai dasar ilmu pengetahuan dari kebudayaan Yunani mungkin musnah. Kemampuan kebudayaan Semit mengimbas, dan perkembangannya yang kontinu, membangun asumsi bahwa kebudayaan itu memiliki usia perkembangan yang cukup lama. Masih di sekitar 1950, Arkeolog Dr. Van Beek dari Amerika menemukan berbagai peninggalan di dataran Hajar Bin Humaid, Yaman, dan memperkirakannya berasal dari abad ke-13 SM. Dari berbagai penemuannya, Van Beek membangun teori bahwa kerajaan-kerajaan di Arab Selatan, khususnya di lembah Tigris dan Euphrate, sudah memiliki kebudayaan tinggi paling tidak sejak abad ke-10-11 SM. Sayang, penelitian Van Beek itu terputus dengan munculnya perang saudara di Yaman. Dan, penelitian lanjutan semakin sulit dilakukan sejak Yaman Selatan menjadi negara Marxistis. Berdasarkan penelitian, terakhir Sauer mengemukakan, Kerajaan Saba pada abad ke-7-10 SM sudah merupakan sebuah kerajaan yang memiliki kebudayaan sangat maju. Pada masa itu, mereka sudah mengenal sistem pertanian yang teratur, termasuk membangun bendungan dan sistem irigasi, khususnya untuk mengalirkan air dari pegunungan di sisi barat. Kerajaan ini, kata Sauer, telah melakukan perdagangan dengan Mesir, Mesopotamia, kerajaan-kerajaan di Afrika Timur, dan tentunya juga dengan Israel. Israel, menurut Sauer, di masa itu memiliki letak yang strategis: di tengah kerajaan-kerajaan di Timur Tengah. Karena itu, kunjungan seorang penguasa Saba ke Yerusalem, secara teoretis sangat masuk akal. Tapi Sauer, yang merasa sudah menemukan bukti-bukti yang penting mengenai Kerajaan Saba, belum dapat membuktikan bahwa penguasa yang mengunjungi Yerusalem adalah seorang ratu. Jim Supangkat Bahan: dari the New York Times
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini