Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Sari manok menantang badai

Ekspedisi perahu sari manok berhasil sampai ke madagaskar. membuktikan bahwa nenek moyang indonesia pernah berlayar ke sana sekitar 2.500 thn silam & adanya hubungan etnis indonesia-madagaskar.(ilt)

1 Maret 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Beta Pattirajawane Titisan laut, berdarah laut .... Sajak (Cerita buat Dien Tamaela -- Chairil Anwar) SEJARAWAN terkenal Muhammad Yamin, di awal 1940-an, pernah mengimpikan wilayah Indonesia itu meliputi Madagaskar, yang terletak di lepas pantai tenggara Afrika. Alasannya, ada persamaan ras antara rakyat Indonesia dan penduduk setempat. Dan itu hanya dimungkinkan bila nenek moyang bangsa Indonesia, yang terkenal sebagai pelaut ulung itu, memang pernah lego jangkar di sana. Betulkah? Sebuah kapal kayu primitif bernama Sari Manok yang bertolak dari pelabuhan Padang Bai, Bali, awa Juni tahun lalu, telah membuktikannya. "Kami telat menyumbangkan identitas sejarah bagi Madagaskar," kata antropolog Jerman Barat Albert Schaefer, salah seorang awak Sari Manok. Ia bersama tujuh ilmuwan lainnya telah mengarungi Samudra Hindia, sejauh 7.000 km dengan cuma mengandalkan bintang dan matahari sebagai pedoman. Tujuannya: misi ini ingin membuktikan bahwa Samudra Hindia, antara Indonesia dan Madagaskar, bisa diarungi dengan perahu sederhana, seperti Sari Manok. Bukti ini diperlukan Antropolog Schaefer dan kawan-kawan untuk mengungkapkan misteri banyaknya kemiripan antara penduduk Indonesia dan Madagaskar. Dan, mengapa penduduk asli Madagaskar, pulau keempat terbesar di dunia, berbeda dengan penduduk benua Afrika, yang cuma dipisahkan laut selebar 800 km. Padahal, mereka dengan Indonesia terpisah sembilan kali lebih jauh. Kesamaan etnis itu pertama kali ditemukan oleh peneliti Belanda Hadrian Reland, pada 1706. Kemudian etnolog Jerman Otto Dempwolff memperkuatnya lewat studi perbandingan bahasa Proto Austronesian. Dempwolff, yang karya-karyanya diterbitkan antara 1920 dan 19387 membuktikan adanya kesamaan bahasa dalam wilayah yang mencakupi Madagaskar sebagai batas paling Barat, Pulau Paskah (Timur), Taiwan (Utara), dan Selandia Baru (Selatan) (lihat peta). Adanya kesamaan akar budaya di wilayah itu menunjukkan bahwa mereka berasal dari satu tempat yang sama. Para ahli memperkirakan asal muasal nenek moyang bangsa ini bermukim di sekitar Asia Timur. Sedangkan bahasa aslinya Proto Austronesian. Apakah bahasa Proto Austronesian benar-benar ada atau sekadar hipotetis masih merupakan ajang perdebatan. Kehadirannya, walaupun masih hipotetis sifatnya, cukup bermanfaaat. Dengan memperhatikan perbedaan bahasa di tempat tertentu dengan bahasa Proto Austronesian, para ahli dapat memperkirakan kapan suku bangsa itu meninggalkan daerah nenek moyangnya, dan bermukim di tempat baru tersebut. Teknik penjejakan bahasa ini dikenal sebagai Glottochronology. Melalui Clottochronology diperkirakan nenek moyang penduduk Madagaskar mulai bermukim di pulau penghasil cengkih itu sekitar 2.000 hingga 2.500 tahun silam. Berdasarkan kesamaan bahasa, mereka diduga berasal dari Kalimantan Selatan -- dari suku berbahasa Maanyan. Sebab, 45 persen perbendaharaan kata-katanya serupa dengan bahasa resmi Madagaskar, Merina. Bagaimana cara nenek moyang bangsa Indonesia itu berlayar ke Madagaskar? Mengingat 2.500 tahun lalu belum ada kapal modern, belum ada kompas magnet, belum ada peta, belum ada kain layar, atau pisau pemotong logam, para ahli berpendapat bahwa pelaut pelopor itu berlayar mengikuti garis pantai Afrika. Suatu rute berjarak 1.800 km. Tapi, awak Sari Manok percaya bahwa pelaut purba Indonesia menempuh jalan pintas. Walaupun pola arus angin dan arus laut mendukung teori tersebut, banyak ahli meragukannya. Terutama karena kemampuan teknologi bahari zaman itu guna mengarungi Samudra Hindia, yang terkenal ganas, meragukan sekali. Untuk menghilangkan keraguan itulah ekspedis Sari Manok dilakukan. "Kami membuktikan bahwa suku Melayu kuno memiliki kemampuan bahari mengarungi samudra," kata Bob Hobman, 45, pimpinan ekspedisi Sari Manok. Karena itu, Sari Manok dibuat semirip mungkin dengan perahu pada masa 2.500 tahun silam. "Prototip perahu ini digali dari khazanah Asia Tenggara -- khususnya Indonesia, Filipina, sampai Kepulauan Melanesia di Pasifik," tutur Hobman, warga negara Australia yang fasih berbahasa Indonesia itu. Penelitian prototip itu menghasilkan Sari Manok dibuat dari kayu log sepanjang 20 meter dengan cara melubanginya. Untuk melindunginya dari amukan gelombang, digunakan sepasang cadik terbuat dari bambu. Kemudian di rangka cadik itu dipasang dek selebar 2,5 m, dan tiang layar setinggi 14 m. Sari Manok dipesan Hobman dari seorang pembuat perahu tradisional di Filipina. Maka petualangan delapan pria dan seorang wanita menuju Madagaskar ini dimulai dari Tawi-tawi, Filipina Selatan. Selama perjalanan dari Tawi-tawi ke Bali, seorang awak meninggal dan perahu mengalami kebocoran hingga harus "naik dok" di Padang Bai. Dengan diiringi upacara adat Bali, setelah hampir sebulan "naik dok", Sari Manok melanjutkan perjalanannya dari Padang Bai, awal Juni lalu. Perahu primitif ini diarahkan dengan melihat jam surya oleh Navigator Bill McGrath. Begitu layar karbal dikembangkan, dan perahu melaju ke arah barat, maka terputuslah hubungan mereka dengan warga dunia lainnya. Mereka tak membawa radio. Satu-satunya perangkat modern di Sari Manok adalah pemancar satelit Argos tracker, yaitu perangkat elektronik yang memancarkan sinyal radio ke angkasa, ditangkap oleh satelit Argos, kemudian dipancarulangkan ke Marseilles, Prancis. Sehingga Piere Jes Manguin, petugas pemantau sinyal satelit, selalu dapat mengetahui posisi Sari Manok. Untuk memastikan bahwa peralatan ini hanya digunakan dalam keadaan darurat, maka bersama alat bantu navigasi modern lainnya, seperti sextant, peta, dan kompas, semuanya dimasukkan ke dalam sebuah kotak, dan disegel di depan petugas duane Bali. Awak Sari Manok berusaha keras agar tak membuka segel peralatan modern itu. Padahal, alasannya sudah muncul tiga hari kemudian, ketika Colin Putt, yang berasal dari Selandia Baru, jatuh sakit. Toh petualang berusia 59 itu, yang sudah dua kali menjelajah Kutub Selatan, mencoba bertahan. "Hujan yang terusmenerus, yang mengakibatkan dek tak pernah kering, tak membuat Colin kehilangan semangat humornya," cerita Hobman. Tapi, ketika keadaan petualang tua itu makin gawat, akhirnya awak Sari Manok membuka juga segel kotak darurat pada hari kedelapan guna mengarahkan perahu. Mereka berniat membawa Colin ke rumah sakit terdekat, di Pulau Natal, sekitar 1.000 km sebelah barat Bali. "Jadi, niat berlayar nonstop diubah," kata Hobman. Tapi, cobaan belum berakhir Sari Manok terserang badai, dan sextant tak dapat digunakan. Terpaksa perahu diarahkan ke Kepulauan Cocos, sekitar 130 km di selatan Pulau Natal. Mereka mendarat pada hari ke-13, dan tingga di sana selama 19 hari untuk memperbaiki perahu. Pada 6 Juli 1985 perjalanan diteruskan. Sekalipun dua belas jam kemudian angin menghancurkar layar utama, dengan mengandalkan 3 layar bantu, Sari Manok yang berlayar mengikuti arah angin sanggup menjelajahi jarah 200 km sehari. Berlayar dibawa angin, risikonya juga tinggi. Layar terus-menerus robek, hingga harus terus-menerus pula ditambal Belum lagi terpaan hujan, hingga para awak tak pernah kering. Kabarnya, tak kurang dari 70 ribu ember air laut ditimba dari San Manok untuk mempertahankannya tetap terapung. Lama perjalanan tercatat 50 hari pelayaran -- 44 hari di antaranya di bawah hujan. Akibat rembesan air laut persediaan lauk-pauk membusuk, air di kendi dan kantung kulit tercemar air asin Dan perabotan memasak luluh karena guncangan kapal. Soalnya, semua makanan dan peralatannya dibuat semirip mungkin seperti 2.500 tahun silam. Untungnya, mereka tak pernah kekurangan air tawar, karem hujan yang terus-menerus. Mulanya, awak Sari Manok menyangka bahaya akan muncul dari ringkihnya cadik bambu menghadapi keganasan ombak. Itulah sebabnya mereka rajin memperbaikinya Ketika Sari Manok berada sekitar 2.000 km dari Madagaskar, tugas memperbaiki cadik jatuh pada Don King, fotografer AS, yang baru berusia 25 tahun. Dengan tenang pemuda ini segera bertengger di atas cadik sebelah kanan, sambil membuat ikatan baru dari rotan. Merasa melakukan pekerjaan rutin, Don King tak menyadari kedatangan ombak besar yang bergulung tiba-tiba. Cuma naluri pesilancarnya saja yang membuat pemuda ini bereaksi secara tepat ketika ia terjungkal ke laut. Tangannya segera menggapai, dan berhasil menggamit juntaian rotan di belakang perahu. Kalau gagal entah bagaimana nasibnya. "Walau Don King seorang perenang tangguh, tak mungkin ia dapat menyusul perahu. Karena desain perahu dan keadaan angin tak memungkinkan kami berbalik arah," cerita Hobman di majalah Asian Magazine terbitan Januari lalu. Sekitar 1.000 km menjelang Madagaskar, cadik perahu sebelah kanan akhirnya terlepas. "Kami pikir perahu akan tenggelam," kata Hobman. Ternyata, tidak. Sari Manok masih mampu meluncur ke Teluk Diego Suarez, tempat tujuannya, dan berhasil mendekatinya pada 7 Agustus 1985. Tapi, kegembiraan awak Sari Manok, yang mengira perjalanan sudah berakhir, tiba-tiba berbalik 180 derajat. Ombak besar menghanyutkan perahu itu ke selatan. Setelah menunggu 12 jam, akhirnya Hobman menyalakan sinyal radio darurat. Dua hari kemudian, sebuah kapal patroli Angkatan Laut Prancis, yang menangkap sinyal itu, mendekati Sari Manok. Dengan biaya US$ 10 ribu perahu ini diseret selama 30 jam ke Lagun Mayotte, sekitar 130 km Madagaskar. Setelah diperbaiki, Sari Manok masih membutuhkan 6 hari untuk menempuh jarak 300 km ke Teluk Diego Suarez, karena perjalanan melawan angin. Begitu Sari Manok merapat, ribuan rakyat Madagaskar mengelu-elukannya. Para awak dianugerahi medali Chevalier d'Ordre Nationale,'penghargaan tertinggi negara itu, dalam sebuah resepsi kenegaraan yang meriah. Tak heran jika tawaran museum maritim Fort Jesus, Kenya, untuk membeli Sari Manok dengan harga tinggi ditolak Hobman, anggota Royal Geographical Society Inggris, yang menjadi sponsor utama ekspedisi ini. "Saya memilih untuk menyerahkannya kepada bangsa yang telah melahirkan pelaut pertama yang berhasil mengarungi Samudra," kata Hobman. Sari Manok kini disimpan di museum nasional Nosy Be, Madagaskar. Bambang Harymurti Bahan: Asia Magazine, Reuter

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus